Unjuk rasa di Irak sebulan terakhir telah menelan lebih dari 260 korban jiwa. Pemerintah Irak diharapkan mengendalikan pasukannya.
BAGHDAD, MINGGUPemerintah Irak memiliki kewajiban untuk melindungi hak hidup, hak untuk berkumpul dan berekspresi, serta menyampaikan pendapat warganya. Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Amnesty International Timur Tengah dan Afrika Utara Heba Morayef, Minggu (10/11/2019).
Sehari sebelumnya, Sabtu (9/11), pasukan keamanan Irak membunuh enam pemrotes antipemerintah dan melukai lebih dari 100 orang lainnya saat berupaya mendorong mereka yang mencoba mendekati tiga jembatan di Sungai Tigris di Baghdad bagian tengah.”Pertumpahan darah ini harus dihentikan sekarang dan mereka yang bertanggung jawab terhadap kejadian tersebut harus diadili,” kata Morayef.
Amnesty International memakai istilah ”pertumpahan darah” terkait unjuk rasa dan kerusuhan di Irak yang telah merenggut lebih dari 260 korban jiwa. Pasukan keamanan telah menggunakan peluru tajam, peluru karet, dan gas air mata untuk membubarkan demonstrasi. Mencermati kondisi itu, Amnesty International menyerukan agar Pemerintah Irak segera mengendalikan pasukan keamanan untuk mengakhiri ”pertumpahan darah”.
Tindakan keras pasukan keamanan dalam menangani pengunjuk rasa mencerminkan sikap keras kepala pemerintah. Mereka tidak memberikan banyak pilihan kepada pengunjuk rasa yang turun di jalan-jalan di Baghdad dan kota-kota utama di Irak selatan. Pihak berwenang pun telah beberapa kali menutup akses internet dan memblokir media sosial.
Hari Minggu, pasukan keamanan menutup jalanan dekat Khilani Square dengan beton setinggi satu meter untuk menghalangi pemrotes yang akan menuju Lapangan Tahrir dan Jembatan Sanak. Di kota Nasiriyah di selatan, pasukan keamanan dan petugas medis menyatakan, 31 orang terluka dalam bentrokan di luar kantor pendidikan. Di antara mereka yang terluka terdapat dua pelajar.
Korban jiwa berjatuhan ketika unjuk rasa menentang pemerintah kian intensif pada sore hari. Setiap hari mereka terus mencoba mencapai tiga jembatan tersebut untuk sampai ke zona hijau yang merupakan pusat perkantoran pemerintah.
Situasi buruk
Para pengunjuk rasa mengeluhkan meluasnya korupsi, minimnya lapangan kerja, dan buruknya pelayanan publik dasar, termasuk pemadaman rutin, meski Irak memiliki cadangan minyak yang banyak. Mereka menolak rencana pemerintah yang akan membatasi reformasi ekonomi dan meminta para pemimpin politik negara itu mundur, termasuk Perdana Menteri Irak Adel Abdul Mahdi.
Pemerintah Irak menjanjikan reformasi untuk mengakhiri krisis yang terjadi. Mahdi mengatakan, partai politik telah ”melakukan kesalahan” dalam menjalankan tugas negaranya.
Irak yang lelah dengan konflik dan sanksi selama puluhan tahun menikmati situasi yang relatif tenang setelah Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) kalah tahun 2017. Namun, pemerintah tidak mampu menemukan jawaban atas protes oleh mayoritas anak muda yang merasa tidak ada perbaikan di Irak meski di masa damai. (AP/AFP/REUTERS/ADH)