Keluarga Bayi "Gastroschisis" asal Mandailing Natal Kesulitan Biaya
Keluarga Sartika Lase, bayi yang lahir dengan kelainan usus di luar atau gastroschisis asal Mandailing Natal, Sumatera Utara, kesulitan membiayai pengobatan.
Oleh
YOLA SATRA
·3 menit baca
PADANG, KOMPAS - Keluarga Sartika Lase, bayi yang lahir dengan kelainan usus di luar atau gastroschisis asal Mandailing Natal, Sumatera Utara, kesulitan membiayai pengobatan. Keluarga pasrah dan sempat dua kali berupaya membawa pulang bayi perempuan berusia dua hari itu.
Jojor Marbun (47), nenek Sartika dari pihak ayah, di Padang, Sumatera Barat, Minggu (10/11/2019) siang, mengatakan, mereka tidak punya biaya karena termasuk keluarga miskin di Batang Lobung, Desa Simpang Durian, Lingga Bayu, Mandailing Natal. Ayah bayi pekerja di salah satu perusahaan perkebunan sawit di desa terpencil, sedangkan ibunya mengurus rumah tangga.
Ibu dan sang bayi tidak mengikuti program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) untuk mendapatkan pengobatan gratis. Mereka tidak memiliki KIS, karena ibu bayi tidak kunjung mendapatkan KTP karena persoalan blangko kosong ataupun mesin pencetak KTP rusak.
"Pengin kubawa pulang bayi itu tadi pagi. Kata orang rumah sakit (di Padang), biayanya sampai Rp 70 juta kalau tidak punya kartu BPJS (Kesehatan). Kami sudah ikhlas, pasrah, tidak ada uang," kata Jojor.
Keinginan membawa pulang juga sempat terpikir oleh Jojor, ketika cucunya itu dibawa ke RSUD Panyabungan, Sabtu (9/11) sore. Namun, pihak rumah sakit meyakinkannya untuk meneruskan pengobatan sang cucu. Rumah sakit, katanya, berjanji menguruskan pendaftaran BPJS Kesehatan.
Menurut Jojor, cucunya sekarang masih dirawat di ruangan khusus RSUP Dr M Djamil dan keluarga tidak diperbolehkan berada di ruangan. Sartika rencananya akan dioperasi untuk memasukkan ususnya, tetapi belum diketahui jadwal pastinya.
"Kata orang rumah sakit, bisa jadi dioperasi Senin, Selasa, atau Rabu. Inkubator di rumah sakit penuh, jadi belum bisa dioperasi. Sesudah dioperasi, bayi harus masuk ke inkubator. Jika tidak akan kedinginan katanya," ujar Jojor.
Pejabat Pembuat Informasi dan Dokumentasi RSUP Dr M Djamil Gustafianof menjelaskan, bayi dengan kelainan gastroschisis itu masih dirawat di ruang khusus. Namun, tindakan operasi belum dapat dilakukan karena ruangan Unit Perawatan Intensif Neonatal atau NICU tempat persiapan penanganan pascaoperasi masih penuh.
"Sebelum dirujuk, pihak RSUP Dr M Djamil sudah memberitahukan kalau ruang NICU sedang penuh, tetapi pasien tetap dirujuk. Kami tetap melayani pasien menunggu adanya ruang NICU yang kosong. Kami tidak mungkin mengurangi hak pasien yang ada di ruang NICU sekarang," kata Gustafianof.
Gustafianof belum dapat memastikan kapan operasi akan dilakukan. Walakin, Sartika termasuk pasien prioritas jika sudah ada ruangan NICU yang kosong.
Di RSUP Dr M Djamil, terdapat 15 ruang NICU. RSUP Dr M Djamil merupakan rumah sakit rujukan terakhir tersier, yang tidak hanya melayani Sumbar, tetapi juga Riau, Jambi, Bengkulu, serta Sumatera Utara bagian selatan, seperti Panyabungan.
Sartika merupakan anak kedua dari pasangan BJ Lase (27) dan SR Simanjuntak (20). Tanpa bantuan tenaga medis, ia dilahirkan di rumah, Sabtu (9/11) sekitar pukul 07.30, dengan berat 2,8 kg. Sabtu sore, Sartika sampai di RSUD Panyabungan setelah menempuh perjalanan sekitar 3,5 jam dari Batang Lobung.
Keluarga kecil Lase bekerja dan tinggal di areal perkebunan di Batang Lobung. Sebelumnya, Kepala Dinas Kesehatan Mandailing Natal Syarifuddin Lubis menyebutkan, orangtua Sartika merupakan pekerja tambang emas rakyat di Lingga Bayu. Aktivitas tambang yang menggunakan zat kimia itu diduga turut berpengaruh terhadap kondisi Sartika.
Namun, Minggu (10/11) siang, Syarifuddin mengoreksi pernyataannya. "Orangtuanya bekerja di perkebunan. Namun, di sekitar tempat tinggal mereka memang ada aktivitas tambang," kata Syarifuddin. Untuk menyimpulkannya, kata Syarifuddin, harus ada kajian lebih lanjut. Ada rencana pihak provinsi turun untuk mengecek lokasi.