Memilah Sampah, Memungut Rezeki
Sampah yang diproduksi manusia memang menjadi masalah bagi manusia itu sendiri. Namun, dengan pengelolaan yang benar, sampah bisa menjadi berkah dan sumber penghasilan baru bagi masyarakat.
Sampah yang diproduksi manusia memang menjadi masalah bagi manusia itu sendiri. Namun, dengan pengelolaan yang benar, sampah bisa menjadi berkah dan sumber penghasilan baru bagi masyarakat. Setidaknya itu yang dialami oleh 84 warga di Tembokrejo, Kecamatan Muncar, Banyuwangi.
Istiqomah (41), warga Tembokrejo, sudah delapan tahun bekerja sebagai buruh di industri pengalengan ikan di Kecamatan Muncar. Kecamatan itu memang menjadi salah satu sentra pengalengan ikan terbesar di Indonesia dengan komoditas lemurunya. Namun, anjloknya produksi lemuru membuat sejumlah pengalengan tutup atau masih berusaha bertahan dengan kapasitas kecil.
Bukanya pun hanya kalau ada limpahan ikan hasil tangkapan nelayan. Dampaknya, penghasilan Istiqomah dan rekan-rekan seprofesinya tak menentu. Kini ia bekerja di tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) yang ada di desanya. Istiqomah bertugas memilah sampah plastik. Tanpa rasa jijik, jemari dalam sarung tangannya memilah satu per satu sampah.
”Dulu upah saya di pengalengan Rp 44.000 per hari atau maksimal Rp 1,32 juta per bulan kalau lagi banyak ikan dan pabrik buka satu bulan full. Di TPST saya dapat 1,5 juta per bulan. Walaupun awalnya jijik yang penting penghasilan saya lebih tinggi dan lebih pasti, tidak tergantung tangkapan nelayan,” tuturnya.
Hal yang sama dirasakan Muswati (60). Bekerja di pengalengan membuatnya tidak mendapat penghasilan yang tetap. Kadang ia tidak dapat uang sama sekali karena tidak ada ikan. Lagi pula, di pengalengan ia capai harus bekerja berdiri dari pukul 07.00 hingga 17.00. ”Di sini memang kotor, tapi uangnya kan tidak kotor. Sampah kalau ditelateni ternyata bisa jadi rezeki bagi kami,” tutur Muswati.
Desa Tembokrejo terletak di Pesisir Selatan Banyuwangi. Letaknya yang berada di muara membuat daerah tersebut kerap menjadi tempat ’kiriman’ sampah, baik dari daerah bagian hulu maupun dari sampah yang sudah terbuang ke laut lalu terdampar lagi ke pesisir.
Tak mengherankan, daerah tersebut pernah dinobatkan sebagai daerah terkotor se-Banyuwangi. Namun, perlahan stigma tersebut luntur berkat pengolahan sampah yang digagas oleh Systemiq dengan cara memberdayakan masyarakat setempat.
Systemiq ialah perusahaan asing yang bergerak pada inisiasi pengolahan sampah dan inkubasi kehutanan nonkayu. Salah satu program mereka ialah ”Project Stop Ocean Plastic”. Di Banyuwangi, program tersebut diwujudkan dengan membangun tempat pengolahan sampah terpadu di Tembokrejo, Kecamatan Muncar.
”Saat ini kami mengelola sampah dari 10.000 rumah di Desa Tembokrejo. Per hari sedikitnya 12 ton hingga 14 ton sampah yang masuk ke TPST Tembokrejo kami sortir berdasarkan jenisnya. Tidak hanya organik dan organik, tetapi juga disortir berdasar tipe sampah anorganik,” tutur Technical Facility Officer Systemiq Putra Perdana Kusuma.
Sampah-sampah tersebut dikumpulkan petugas dari rumah-rumah warga, dari depo (titik) pengumpulan sampah, dan juga dari sungai ataupun pesisir pantai di sekitar Kecamatan Muncar yang masuk dalam wilayah Desa Tembokrejo.
Masuk ke TPST, sampah diletakkan pada conveyor belt atau sabuk dengan roda berjalan. Di sisi kanan dan kiri conveyor belt Muswati-Istiqomah dan sejumlah perempuan lainnya duduk dan dengan jeli memisahkan satu per satu sampah berdasarkan jenisnya, plastik saset, plastik bening, tas keresek dan lainnya.
Mereka hanya mengambil sampah plastik. Sampah plastik tersebut nantinya akan dijual kembali kepada pengepul. Sementara sampah organik berupa sisa makanan, daun, potongan ranting dibiarkan terus berada di conveyor belt hingga penampungan di bagian akhir di ujung.
Sampah organik tersebut ditampung lagi untuk kemudian diolah menjadi pupuk kompos. Pengolahan pupuk kompos menggunakan teknologi pengurai sampah dengan bantuan lalat tentara hitam atau black soldier fly (Hermetia illucens).
”Dari total sampah yang dikumpulkan per hari, 30 persen merupakan sampah plastik, sedangkan 70 persen sisanya sampah organik rumah tangga dan sisa perkebunan. Dari sampah organik tersebut, kami dapat memproduksi bahan kompos hingga 18 ton per bulan,” ujar Putra.
Tak hanya memproduksi kompos, maggot atau belatung lalat tentara hitam juga bisa menjadi bahan pakan ternak karena kandungan proteinnya yang tinggi. Dengan demikian, pemilahan dan pengolahan sampah di TPST menghasilkan plastik untuk dijual kepada pengepul, sedangkan bahan kompos untuk pertanian dan pakan ternak.
Putra mengakui tidak semua sampah bisa dipilah dan diolah. Ada sejumlah sampah yang bisa dipilah untuk kemudian diolah atau dijual kepada pengepul. Namun, ada sekitar 40 persen sampah yang tidak bisa diolah sehingga harus masuk ke tempat pembuangan akhir.
Sampah residu sebanyak 40 persen tersebut, antara lain, terdiri dari popok, pembalut, kertas yang terkena minyak atau plastik yang sudah terlalu kotor. ”Sampah residu tersebut sangat sulit dibersihkan dan tidak laku dijual kepada pengepul. Kalaupun dibersihkan, biaya pembersihanya justru lebih besar daripada harga jual sampahnya,” ungkap Putra.
Penolakan dan dukungan
Kepala Desa Tembok Rejo Sumarto mengatakan, program ini semula ditentang warga. Pasalnya, warga terbebani dengan iuran wajib Rp 10.000 per bulan untuk pengambilan sampah dari rumah warga untuk dibawa ke TPST. Namun, dengan penjelasan per hari Rp 300 dengan jaminan sampah pasti diambil, akhirnya warga bersedia.
”Selain dari iuran wajib, TPST juga dapat pemasukan dari hasil penjualan olahan sampah. Per bulan hasil penjualan sampah anorganik mencapai Rp 30 juta, penjualan maggot Rp 10 juta, dan penjualan kompos Rp 4 juta,” ujar Sumarto.
Sumarto mengungkapkan, penghasilan tersebut hanya cukup untuk biaya operasional, termasuk untuk membayar upah para pekerja di TPST. Belum ada keuntungan yang bisa disisihkan untuk menambah kas desa ataupun kas BUMDes.
Namun, bila nantinya ada desa lain yang juga masuk dalam pengelolaan TPST, Sumarto yakin akan ada keuntungan lebih yang bisa dimanfaatkan untuk desa. Menurut rencana, akan ada lima desa lain di Muncar yang pengelolaan sampahnya akan masuk ke TPST Tembokrejo.
Mentalitas
Program TPST Tembokrejo bukan semata untuk mengurangi sampah, melainkan menekan jumlah sampah yang hanyut ke laut. Kegiatan yang dilakukan Systemiq tidak hanya berupa pengolahan sampah, tetapi juga pendampingan untuk mengubah gaya hidup masyarakat.
Saat ini masyarakat Tembokrejo yang tinggal di pesisir pantai sudah tidak lagi membuang di sungai atau di pantai. Berkeliling di Tembokrejo, yang terlihat jalanan bersih nyaris tanpa sampah. Di setiap rumah terdapat dua tong sampah merah untuk sampah anorganik dan tong sampah hijau untuk sampah organik.
Rianto (48), salah satu warga Desa Tembokrejo, yang tinggal di Pesisir Pantai Satelit, merasakan ada perubahan di lingkungan tempat tinggalnya. Perubahan tersebut terjadi setelah warga desa sadar untuk tidak membuang sampah sembarangan.
”Lumayan ada perubahan. Sekarang di sekitar rumah lebih bersih dan nyaman sehingga lebih enak tinggal di rumah. Dulu saat masih banyak sampah, kami para nelayan harus menanggung biaya perbaikan baling-baling yang rusak karena tersangkut sampah,” ujarnya. Rianto mengatakan, dirinya pernah harus mengganti baling-baling sebanyak dua kali dalam sehari. Baling-baling di perahunya patah karena tersangkut sampah. Padahal, satu baling-baling harganya mencapai Rp 250.000.
Hasil baik TPST Tembokrejo menjadi contoh pengelolaan TPST lain di Banyuwangi. Pasalnya, TPST Tembokrejo berhasil menekan hingga 40 persen sampah dari Tembokrejo yang masuk ke TPA Patoman. Produksi sampah di Banyuwangi mencapai 1.125 ton per hari. Jumlah tersebut jauh di atas kapasitas tampung tempat pembuangan akhir Patoman yang hanya 60 ton per hari.
Untuk menyiasati keterbatasan tersebut, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi memaksimalkan kinerja Tempat Pemilahan Sampah Terpadu (TPST). Saat ini sudah ada 12 TPST yang dikembangkan dengan sistem yang sama dengan TPST Tembokrejo.
”Keberadaan TPST memang terbukti bisa menekan sampah yang masuk ke TPA. Bila rata-rata produksi sampah per desa per hari 30 ton, dalam satu minggu ada 210 ton. Namun, dengan adanya TPST, sampah yang masuk ke TPA bisa ditekan hingga 6 ton per minggu per desa,” ujar Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Banyuwangi Husnul Chotimah.
TPST tak hanya berhasil menekan jumlah sampah, keberadaannya juga membuka peluang lapangan pekerjaan baru. Harapannya, lingkungan yang bersih dapat terwujud seiring dengan kesejahteraan warga.