Sering kali bangsa ini terjebak pada konsep yang besar, tetapi meninggalkan sesuatu yang kecil padahal penting. Sastrawan Seno Gumira Ajidarma menyampaikan sejumlah kritik melalui pidato kebudayaan di Jakarta.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
Tak perlu perbandingan yang besar untuk mengkritik Indonesia. Cukup dengan bungkus tusuk gigi, sastrawan Seno Gumira Ajidarma melahirkan sejumlah kritikan terhadap bangsa yang kerap latah terhadap perkembangan zaman.
Sejak dulu, wujud bungkus tusuk gigi mudah dikenali. Bungkus tusuk gigi selalu dijual dalam arti sebenarnya, ”tusuk gigi”. Namun, seiring berjalan waktu, bungkus tusuk gigi memiliki pergeseran visual yang tak seperti ”tusuk gigi”. Pergeseran itu justru menghasilkan keberagaman. ”Persoalannya terlalu sering manusia itu sudah berdebat dan saling membunuh, cukup berdasarkan asumsi, bahkan ilusi, yang sama sekali tidak dapat dipertanggungjawabkan,” kata Seno saat menyampaikan pidato kebudayaan berjudul ”Kebudayaan dalam Bungkus Tusuk Gigi,” yang digelar Dewan Kesenian Jakarta, Minggu (10/11/2019) malam, di Taman Ismail Marzuki Jakarta Pusat.
Mengawali pidatonya, Seno mengutip kisah Bima yang ditugasi Mahaguru Dorna mencari air suci supaya tidak terbunuh oleh naga. Kisah yang digambarkan Mpu Tanakung dalam Siwaratrikalpa pada pertengahan abad ke-15 itu dianggap mencerminkan posisi diri Seno saat ini, yang terjebak badai wacana yang saling bertentangan.
Masih dari kisah Bima, ternyata air suci itu bukanlah dari luar, melainkan ada di dalam diri Bima sendiri. Dari kisah itu, Seno merefleksikan pencarian air suci tidak perlu mencari terlalu jauh, tetapi bisa dari hidup keseharian, salah satunya bungkus-bungkus tusuk gigi.
Persoalan identitas itu ditempatkan Seno dalam situs bahasa sebagai unsur kebudayaan terpenting, tetapi termasuk yang paling diabaikan. Ia menilik kelangsungan hidup bahasa daerah di Pulau Komodo yang terancam punah atas nama pemajuan kebudayaan.
Menyaring penelitian Verheijen, yang terbit tahun 1987, orang Modo (Pulau Komodo) memiliki bahasa mandiri, lengkap dengan susastra lisan penyampai mitologi. Bahasa mereka itu terbebas dari pengaruh bahasa Manggarai di Flores dan bahasa Bima di Sumbawa.
Namun, Seno menyebut, yang terjadi saat ini, orang Komodo selalu menjadi minoritas dan sedikit pula yang menguasai bahasa Komodo itu. Seno pun menyindir, kerap kali kepentingan manusia selalu ingin yang diutamakan dan mengalahkan kecintaan terhadap tumbuhan dan hewan. ”Masalahnya, kepentingan manusia manakah yang kemudian harus diutamakan? Mungkinkah akan berlaku ujaran, ’Biarlah bahasa Komodo punah, asal jangan makhluk komodo?’” ucap Seno sambil dibarengi riuh tepuk tangan penonton.
Beranjak lebih jauh, Seno merefleksikan bangsa Indonesia yang dinilainya terlalu panik berlari untuk mengejar sesuatu yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Misalnya, konsep 4.0 yang kerap dicanangkan pemerintah. Menurut Seno, itu hanyalah kepanikan moral bangsa yang terjebak dalam hegemoni wacana kelompok dominan.
”Betapa cara berkompetisi, berpolitik, dan berjuang tidaklah harus selalu menyerah dan pasrah ke dalam hegemoni wacana kelompok dominan. Dalam akhir petualangan di belantara, tanda-tanda dalam bahasa, susastra, aksara, maupun dongeng kanak-kanak sederhana, saya kembali kepada temuan dari perbincangan tusuk gigi,” kata Seno.
Dari hal kecil
Deputi Gubernur Bidang Budaya dan Pariwisata DKI Jakarta Dadang Solihin menilai, pidato kebudayaan Seno bisa menjadi mata air yang paling tidak bisa menyegarkan pikiran di tengah persoalan bangsa. Seno berani menyampaikan kritik melalui satu benda kecil yang kerap terlupakan, tusuk gigi.
”Dari tusuk gigi, dia bisa menyampaikan persoalan bangsa yang besar, mulai dari latah 4.0 dan kepunahan bahasa. Ini tanpa kita sadari, tetapi nyata tantangan di depan mata,” ujar Dadang.
Seno, lanjut Dadang, mampu mengungkapkan bahwa sering kali bangsa ini terjebak dengan konsep yang besar, diagung-agungkan, mahal, tetapi meninggalkan sesuatu yang kecil. Padahal, yang kecil itu bisa sangat berharga dan menunjukkan jati diri bangsa yang sebenarnya. ”Negara ini terjebak ide-ide yang berbau industri. Padahal, bukan itu yang dicari,” katanya.
Seno telah mencoba membukakan mata kita bahwa ada sesuatu yang bernilai besar, berharga, dan patut dijaga, tetapi dari barang yang kecil. Kembali ke Indonesia, sampai kapan bangsa ini akan terus mencari-cari air suci? Yang mungkin, itu seharusnya ada di sekitar dirinya.