Kaum terpelajar itu yang lalu meneruskan gagasan perlawanan ke seluruh masyarakat. Tak terbayangkan kemerdekaan Indonesia tanpa peran tokoh-tokoh di angkatan tersebut....
Oleh
NIA / Rini Kustiasih / Fajar Ramadhan
·3 menit baca
Kabar kesewenang-wenangan terhadap perempuan tidak pernah absen dari sejumlah surat kabar dari banyak daerah yang dibaca Ruhana Kudus. Empatinya terbangun. Ia lalu mencari cara memantik kesadaran agar kaum perempuan bisa ”memerdekakan” diri. Setelah berdiskusi dengan suaminya, Ruhana sadar bahwa apa yang dia pahami melalui tulisan bisa jadi dipahami pula oleh perempuan lain dengan cara yang sama.
Ruhana lalu berkorespondensi dengan sejumlah pemimpin surat kabar, salah satunya Soetan Maharadja, Pemimpin Redaksi Utusan Melayu, surat kabar yang terbit di Padang, Sumatera Barat, pada awal abad ke-20. Dalam suratnya, Ruhana mengungkapkan keinginan memperjuangkan nasib perempuan.
Hal itu membuat Soetan Maharadja bersimpati. Keduanya lalu bertemu dan sepakat mendirikan surat kabar khusus perempuan pertama di Sumatera Barat, yaitu Soenting Melajoe yang bermakna Perempuan Melayu, pada 1912. Ruhana yang masih berkerabat dengan Sjahrir, tokoh pergerakan Indonesia, kemudian jadi pemimpin redaksi.
Fitriyanti dalam buku Ruhana Kudus Wartawan Perempuan Pertama Indonesia menjelaskan, Soenting Melajoe berperan penting dalam memantik kesadaran kaum perempuan Sumbar.
”Sambutan masyarakat luas di luar dugaan. Rupanya bukan hanya Ruhana yang punya pemikiran tentang kemajuan kaum perempuan di Koto Gadang. Banyak pula perempuan Minangkabau maupun di daerah lainnya yang ingin mendapatkan pendidikan layak dan persamaan hak sebagaimana halnya kaum laki-laki”, tulis Fitriyanti.
Bahasa Melayu Pasar
Masih di awal abad ke-20, Lie Kim Hok menjadi penulis Tionghoa pertama yang menulis di media massa menggunakan bahasa Melayu Pasar. Leo Suryadinata dalam A Brief History of The Peranakan Chinese Press in Java and The Indonesian Nationalist Movement (1901-1942) menuturkan, Lie termasuk salah seorang yang paling berjasa dalam penggunaan bahasa Melayu Tionghoa atau Melayu Pasar.
Pengajar linguistik dari Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, Fariz Alniezar, Minggu (10/11/2019), mengatakan, penggunaan bahasa Melayu sebagai lingua franca ketika itu menunjukkan kesadaran Lie Kim Hok sebagai warga bangsa dalam satu rumpun dengan warga bangsanya yang lain. Sekalipun saat itu dia belum mengenal Indonesia sebagai suatu konsep nasionalisme.
Namun, dengan menggunakan bahasa Melayu, ia menggapai kesatuan imaji dengan orang lain yang serumpun dengannya dalam satu ikatan pengertian yang sama. Terlebih, di saat bahasa Belanda menjadi bahasa resmi pemerintahan, Lie memilih Melayu Pasar sebagai bahasa pengantar guna menyampaikan ide-idenya.
Sementara itu, RM Tirto Adhi Soerjo yang mendirikan surat kabar berbahasa Melayu pertama, Medan Prijaji, pada 1907, menjadikan surat kabar itu wadah untuk menyebarkan kesadaran sebagai bangsa terjajah. Tak hanya untuk kalangan pribumi, tetapi juga semua bangsa yang terdampak kolonialisme guna memantik perlawanan pada ketidakadilan.
Intelektual organik
Direktur Prisma Resource Center Daniel Dhakidae menilai, sebagian tokoh pembangkit kesadaran nasional itu merupakan kaum terpelajar yang mendapatkan pendidikan Eropa sebagai berkah tersembunyi penerapan Politik Etis. Kontradiksi antara pengetahuan dan kenyataan di Hindia Belanda mendorong mereka menuntut hak kemerdekaan.
Kelompok terpelajar itu menjelma sebagai intelektual organik. Kelompok yang menurut Antonio Gramsci, filsuf dari Italia, memiliki kesediaan untuk menumbuhkan kesadaran kelas dan memantik semangat pergerakan revolusioner.
Untuk menjalankan peran itu, kaum terpelajar saat itu sadar tak punya kekuatan fisik yang setara untuk melawan pemerintah kolonial. Untuk menyiasatinya, mereka menggunakan strategi yang lebih halus, yaitu dengan menghegemoni pikiran masyarakat melalui ide-ide yang disampaikan melalui surat kabar.
Dhakidae melanjutkan, usaha itu bukan tanpa tantangan. Mayoritas warga belum bisa membaca. Oplah surat kabar terbatas, rata-rata sekitar 500 eksemplar per hari. Namun, kondisi itu juga disiasati dengan menentukan sasaran pembaca yang jelas, yaitu kaum terpelajar yang sudah terpapar ide-ide kemerdekaan.
Kaum terpelajar itu yang lalu meneruskan gagasan perlawanan ke seluruh masyarakat. Tak terbayangkan kemerdekaan Indonesia tanpa peran tokoh-tokoh di angkatan tersebut....