Lebih dari 20 rumah, termasuk enam rumah kebun, berdiri di Desa Lerehoma, Konawe, Sulawesi Tenggara. Desa itu hanya dihuni belasan keluarga. Bersama 55 desa lain, Lerehoma menerima kucuran dana desa miliaran rupiah.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
Lebih dari 20 rumah, termasuk enam rumah kebun, berdiri di Desa Lerehoma, Konawe, Sulawesi Tenggara. Desa itu hanya dihuni belasan keluarga. Bersama 55 desa lain, Lerehoma menerima kucuran dana desa bernilai miliaran rupiah.
Minggu (10/11/2019) yang berdebu, Muslimin (38) duduk di beranda rumah panggungnya di Kecamatan Anggaberi, menemani Nurah (2), bungsunya. Ia pendatang dari Makassar, hampir 20 tahun lalu. Waktu datang, nama desanya sudah Lerehoma.
Muslimin satu dari 18 keluarga yang menetap di desa sekitar 85 kilometer dari Kota Kendari itu. Sempat dihuni lebih dari 50 keluarga, desa perlahan desa itu ditinggalkan. Sejak ia menetap, Lerehoma punya perangkat desa dan kegiatan. Bahkan, sejak 2017, menerima dana desa. ”Rumah ini dapat bantuan seng dana desa,” katanya.
Sebagai pengurus masjid, ia juga rutin dapat honor Rp 300.000. Namun, berhenti akhir 2018. ”Katanya karena masalah,” ujarnya.
Dana desa ini bagi kami seperti ’nasi matang’ yang disodorkan. Entah ada racun atau tidak, ya, kami makan.
Menurut Jasran (46), mantan Penjabat Kepala Desa Lerehoma hingga medio 2018, ia kelola dana desa sejak 2017. Besarnya Rp 728.568.000 untuk perbaikan rumah, jalan tanah, irigasi, dan lainnya. Tahun yang sama dapat alokasi dana desa dari kabupaten Rp 191.708.590, lalu block grant Rp 15 juta dari provinsi.
Saat dapat dana desa 2017, Jasran belum diangkat sebagai kepala desa definitif sejak berstatus pelaksana Kades Lerehoma tahun 2014. Mei 2017, Surat Keputusan Bupati Konawe terbit mengangkat Jasran dan dua lainnya sebagai penjabat kades. Keputusan Bupati Konawe Nomor 164 Tahun 2017 itu ditandatangani Bupati Konawe Kery Saiful Konggoasa.
”Dana desa ini bagi kami seperti ’nasi matang’ yang disodorkan. Entah ada racun atau tidak, ya, kami makan. Bertahun-tahun kerja swadaya saja,” katanya.
Tahun 2018, desa itu dapat dana desa Rp 730.662.000. Medio 2018, Jasran diganti. Alasannya, desa harus dipimpin ASN. ”Sebelum tahap kedua cair, saya diganti. Jadi, masih ada Rp 263 juta dana desa belum cair. Tahun 2019 dapat Rp 742.474.000, tapi tak bisa cair. Informasinya desa bermasalah,” tuturnya.
Aturan bermasalah
Desa Lerehoma satu dari 56 desa yang dibentuk berdasarkan Perda Nomor 7 Tahun 2011. Aturan ini bermasalah karena tak pernah tercatat dalam badan hukum daerah sebagai pembentukan dan pendefinitifan desa.
”Perda No 7/2011 tercatat sebagai pengesahan APBD 2011. Bisa dinilai sendiri dasar pendirian 56 desa itu karena sejauh ini tak ada aturan itu (Perda No 7/2011), kecuali yang masuk di dua perda lain,” kata Kepala Bagian Hukum Kabupaten Konawe Apono.
Di satu sisi, 56 desa ini terdaftar di laman kemendagri.go.id dengan kode wilayah dan aturan pembentukan berdasar perda itu. Sejak Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan adanya "desa hantu" atau desa fiktif penerima dana desa, desa-desa di Konawe itu menjadi sorotan.
Salinan yang diperoleh Kompas tertulis, Perda No 7/2011 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kabupaten Konawe No 2/2011 tentang Pembentukan dan Pendefinitifan Desa-desa dalam Kabupaten Konawe, bertanggal 21 November 2011. Aturan ditandatangani bupati saat itu.
Dalam aturan itu, jumlah warga dan luas wilayah desa juga tak sesuai fakta lapangan. Desa Lerehoma, misalnya, tercatat berpenduduk 1.048 jiwa dengan 190 keluarga. ”Di Lerehoma hanya tercatat 55 keluarga, yang tinggal di desa hanya 33 keluarga. Sebagian di desa lain. Tidak benar itu Perda No 7/2011. Salah semua isinya,” kata Jasran yang diangkat sebagai penjabat kades berdasarkan Surat Keputusan Bupati Konawe itu.
Desa lain, masih di Kecamatan Anggaberi, yaitu Desa Wunduongohi, juga didefenitifkan berdasar perda itu. Dalam penjelasan, Desa Wunduongohi memiliki 190 keluarga dengan 1.028 jiwa.
Kejadian ini harus benar-benar diungkap hingga ke akar-akarnya.
Andi Rimba (53), Pelaksana Tugas Kades Wunduongohi, menuturkan, di wilayahnya hanya ada 117 keluarga dengan 350 jiwa. Jumlah itu merupakan jumlah paling besar selama desa berdiri. “Saya juga kelola dana desa. Tahun ini dapat Rp 780 juta. Kalau tahun lalu dan sebelumnya di bawahnya,” kata dia.
Data yang diperoleh, total kucuran dana desa selama tiga tahun terakhir ke 56 desa di Konawe mencapai Rp 120 miliar.
Penggunaan anggaran dan aturan yang diduga bermasalah, beberapa waktu ini sedang diselidiki polisi. Polda Sultra sudah memeriksa puluhan saksi, juga mengecek 23 desa dari 56 desa sesuai Perda No 7/2011. ”Kami masih mencari dan menyelidiki pembentukan desa dan pembuatan aturan ini, termasuk nanti meminta keterangan pihak kementerian,” kata Kapolda Sultra Brigjen Merdisyam.
Polisi juga meminta audit ke Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terkait dugaan kerugian negara atas kejadian itu.
Ahli hukum tata negara Feri Amsari menyebut, kejadian ini harus diusut hingga pusat. Meski aturan pembentukan desa itu jelas fiktif, tetap jadi landasan pusat menetapkan desa yang definitif dan menerima dana desa.
Kejadian ini dinilai bukan hanya sebuah pelanggaran administrasi semata, tetapi juga menguatkan dugaan adanya penyalahgunaan anggaran dan secara luas merusak sistem ketatanegaraan. Bagaimana mungkin, kata Feri, desa yang tidak terdaftar dapat menerima dana desa dan jadi bagian dari proses politik di daerah hingga ke pusat selama bertahun-tahun.
"Kejadian ini harus benar-benar diungkap hingga ke akar-akarnya,” tutur Feri.