ASEAN diam-diam mengikuti penerapan prinsip kedaulatan dan non-interferensi yang lebih bernuansa. Indonesia ingin memperlihatkan, sangat diterima di ASEAN untuk memberi perhatian pada perkembangan internal negara lain.
Oleh
MH SAMSUL HADI
·3 menit baca
Pekan lalu, hanya berselang dua hari seusai Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN, ada perkembangan menarik di tiga negara ASEAN terkait isu politik di Kamboja. Indonesia, Malaysia, dan Thailand—tiga dari lima negara pendiri ASEAN—menjadi tempat transit beberapa aktivis oposisi Kamboja yang berencana pulang kampung, Sabtu, 9 November lalu.
Hari itu merupakan hari peringatan ke-66 tahun kemerdekaan Kamboja dari Perancis. Momen itu akan dimanfaatkan oposisi Kamboja yang tinggal di pengasingan untuk kembali ke Kamboja. Perdana Menteri Hun Sen menganggap rencana itu sebagai upaya kudeta terhadap kekuasaannya. Karena itu, Phnom Penh mengirim surat ke semua negara ASEAN agar menangkap aktivis dari Partai Penyelamatan Nasional Kamboja (CNRP) dan mendeportasi ke Kamboja jika mereka singgah di negara-negara ASEAN.
Rainsy tidak ditangkap, bahkan ia dijadwalkan akan bertemu dengan parlemen Malaysia, Selasa besok.
Situasi itu membuat Indonesia, Malaysia, dan Thailand yang menjadi tempat transit seakan menerima ”bara”. Thailand, di bawah PM Prayuth Chan-ocha, tegas menolak kedatangan aktivis CNRP, termasuk Wakil Presiden CNRP Mu Sochua. Bahkan, Thai Airways diminta menolak mengangkut pemimpin CNRP, Sam Rainsy, terbang dari Paris ke Bangkok. Prayuth menyitir ”kredo suci” ASEAN, yakni tidak mencampuri urusan internal negara lain, non-intervensi.
Malaysia pun bersikap lugas dengan menahan dua aktivis CNRP yang mendampingi Mu Sochua saat mereka berada di Bandara Internasional Kuala Lumpur. Meskipun kemudian melepaskan mereka, sikap Kuala Lumpur sempat dikritik aktivis HAM. Sikap Malaysia menjadi lebih terbuka dan ”memberi ruang” saat Rainsy mendarat di Kuala Lumpur, Sabtu. Rainsy tidak ditangkap, bahkan ia dijadwalkan akan bertemu dengan parlemen Malaysia, Selasa besok.
Posisi Indonesia lain. Sejak mendarat di Jakarta setelah sempat ditolak di Thailand dan Malaysia, Mu Sochua leluasa menggelar konferensi pers di Jakarta, Rabu lalu, meski sempat diinterupsi oleh Duta Besar Kamboja untuk Indonesia Hor Nambora. Kementerian Luar Negeri Kamboja belakangan menegaskan bahwa konferensi pers Sochua tidak menggambarkan sikap resmi Indonesia.
Dari respons itu terlihat seolah ada perbedaan menerjemahkan prinsip non-interferensi, yang bagi ASEAN dibanggakan sebagai elemen kunci memperkuat kesatuan ASEAN. Namun, di luar ASEAN, prinsip itu dikritik sebagai hambatan untuk ”peduli” pada isu-isu HAM dan demokrasi.
Menlu RI periode 2009-2014, Marty Natalegawa, membuat catatan menarik soal prinsip itu dalam bukunya, Does ASEAN Matter? A View from Within (2018). Dengan menguraikan berbagai contoh kasus, ia menyebut ASEAN sebenarnya perlahan-lahan dan diam-diam mengikuti penerapan prinsip kedaulatan dan non-interferensi yang lebih bernuansa.
Indonesia, tulis Marty, belajar dari pengalaman kasus Timor Leste, ingin memperlihatkan bahwa sangat diterima di ASEAN untuk memberi perhatian pada perkembangan internal negara lain, dengan catatan bukan untuk menggurui atau mencampuri, melainkan sebagai ungkapan solidaritas sesama ”keluarga ASEAN”.
Apakah kerangka pikir itu bisa menjelaskan posisi Indonesia dalam merespons kasus oposisi Kamboja pekan lalu sehingga berbeda dari sikap Malaysia dan Thailand? Kita tunggu perkembangan lebih lanjut.