Perjuangan Berat Peneliti Bahasa Daerah di Maluku Buahkan Hasil Manis
Kantor Bahasa Maluku berhasil mengidentifikasi 61 bahasa daerah di Maluku dalam sepuluh tahun terakhir. Para peneliti melewati tantangan yang tidak mudah, mulai dari berat kondisi geografis kepulauan dan pegunungan.
Oleh
FRANSIKUS PATI HERIN
·4 menit baca
AMBON, KOMPAS — Kantor Bahasa Maluku berhasil mengidentifikasi 61 bahasa daerah di Maluku dalam sepuluh tahun terakhir. Para peneliti melewati tantangan yang tidak mudah, mulai dari berat kondisi geografis kepulauan dan pegunungan, hingga penyesuaian diri dengan kultur masyarakat lokal. Semua itu dilakukan demi menjaga kelestarian bahasa yang tak lain adalah rahim sebuah budaya.
Erniati, ketua peneliti bahasa pada Kantor Bahasa Maluku, kepada Kompas di Ambon, Senin (11/11/2019), menuturkan, tantangan geografis terberat adalah meneliti di pulau-pulau kecil yang minim sarana transportasi. Seperti pada April 2019, ia dan anggota tim mendatangi Desa Beltubur di Kabupaten Kepulauan Aru. Untuk mencapai desa itu, mereka harus menggunakan perahu motor dengan waktu tempuh sekitar 12 jam.
Rute yang dilewati mulai dari menyisir tepian laut lepas, menyeberang selat, kemudian masuk alur sempit di antara hutan bakau. Selain ancaman gelombang tinggi yang terus melanda daerah itu sepanjang waktu, perjalanan juga melewati sarang buaya. Perjuangan panjang di lapangan memberikan hasil terbaik, salah satunya mengidentifikasi bahasa Tarangan Timur.
Pengalaman lainnya yang dialami peneliti, lanjut Erniati, adalah pada saat mendatangi Desa Piliana di kaki Gunung Binaiya di Pulau Seram. Menurut tradisi setempat, pengambilan data semacam itu harus dilakukan lewat ritual adat pada malam hari. Pada saat itu, desa yang masuk wilayah Kecamatan Tehoru, Kabupaten Maluku Tengah, itu belum dialiri listrik.
”Padahal, salah satu tahap yang harus diamati adalah gerak bibir mereka pada saat pengucapan kosa kata. Atas izin pada tetua adat, kami diperbolehkan menyorot cahaya senter ke wajah mereka agar bisa melihat gerak mulut. Kami berhasil identifikasi bahasa setempat,” ujar Erniati.
Sepanjang tahun ini, tim peneliti Kantor Bahasa Maluku berhasil mengindentifikasi delapan bahasa daerah yang tersebar di lima kabupaten. Delapan bahasa dimaksud adalah Alune, Wamale, dan Boing di Seram Bagian Timur, Masarete di Pulau Buru, Tarangan Timur di Kepulauan Aru, Teon di Maluku Tengah, Makatian di Kepulauan Tanimbar, dan Main di Maluku Barat Daya.
Proses identifikasi satu bahasa menghabiskan waktu paling cepat dua bulan. Alokasi waktu itu belum termasuk perjalanan ke tempat penelitian dengan tingkat kesukaran berbeda-beda. Tim peneliti wajib mengumpulkan paling sedikit 1.400 kosa kata dari masyarakat setempat untuk analisis. Mereka lalu menghitung perbedaan dialegtometri antara kosa kata.
Menurut Erniati, jika perbedaan dialegtometri kosa kata bahasa di daerah itu dengan bahasa yang digunakan di daerah terdekat itu di atas 81 persen, akan dianggap sebagai satu bahasa tersendiri. Namun, jika perbedaan dialegtometri di bawah angka tersebut, dianggap satu bahasa, tetapi beda dialek.
Kepala Kantor Bahasa Maluku Asrif mengatakan, penelitian yang dilakukan itu sebagai bentuk kepedulian Kantor Bahasa Maluku terhadap pelestarian bahasa daerah. Padahal, secara tugas dan fungsi, lembaga yang dipimpinnya itu hanya fokus pada Bahasa Indonesia.
”Kalau kami tidak bergerak, siapa lagi? Hasil penelitian itu kami sampaikan kepada pemerintah daerah,” ujarnya.
Seperti yang diberitakan sebelumnya, lebih kurang 70 persen bahasa daerah mengalami kemunduran, terancam punah dan bahkan ada yang dinyatakan sudah punah. Kondisi tersebut dianggap dapat mengoyak tatanan budaya lokal sebab bahasa merupakan rahim dari sebuah kebudayaan. Bahasa daerah bukan sekadar alat komunikasi.
Masyarakat di ibu kota kabupaten sudah meninggalkan bahasa daerah dan beralih ke bahasa Melayu Ambon yang bukan merupakan bahasa daerah di Maluku. Kondisi itu mulai merambat ke desa-desa terdekat. Orang tua tidak mengajarkan bahasa daerah kepada anaknya. Itu semakin diperparah dengan aturan di sekolah dasar yang mewajibkan semua siswa berbahasa Indonesia. Siswa yang tidak lancar berbahasa Indonesia diolok bahkan diberi hukuman.
Menurut Asrif, beberapa desa di Maluku kini mulai sadar melestarikan bahasa daerah. Dalam musyawarah desa, misalnya, mereka wajib menggunakan bahasa daerah. Ada pula yang menggunakan bahasa daerah dalam nyanyian di gereja. Secara khusus, Asrif memberikan apresiasi kepada Pemerintah Kabupaten Maluku Tenggara yang mewajibkan penggunaan bahasa Kei kepada para pegawai pada hari tertentu.
Jangan sampai generasi kita yang dianggap ikut mematikan bahasa daerah. Kalau di semua daerah bergerak, pasti lebih bagus.
Hunanatu Matoke, pelestari bahasa Nuaulu, yang digunakan masyarakat di pesisir selatan Pulau Seram, menuturkan, jika semua pihak bergerak bersama mengatasi ancaman kepunahan bahasa daerah, generasi mendatang akan mencatatnya.
”Jangan sampai generasi kita yang dianggap ikut mematikan bahasa daerah. Kalau di semua daerah bergerak, pasti lebih bagus,” katanya.