Upaya Komisi Pemilihan Umum memasukkan aturan bukan bekas napi korupsi dalam syarat pencalonan kepala daerah pada Pilkada 2020 sudah sesuai dengan moralitas publik.
Oleh
Yohan Wahyu Litbang Kompas
·6 menit baca
Upaya Komisi Pemilihan Umum memasukkan aturan bukan bekas napi korupsi dalam syarat pencalonan kepala daerah pada Pilkada 2020 sudah sesuai dengan moralitas publik. Namun, upaya ini dinilai masih belum kuat karena undang-undang yang menjadi dasar penyelenggaraan pilkada tidak mencakup larangan tersebut.
Upaya ini bukan yang pertama dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal yang sama pernah dilakukan saat pencalonan anggota DPR dan DPRD pada Pemilu 2019. Kala itu, KPU membuat peraturan larangan bagi eks terpidana tiga kejahatan untuk menjadi calon anggota legislatif, yakni pengedar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi. Peraturan ini akhirnya digugat sejumlah bakal calon legislator ke Mahkamah Agung. MA pun pada akhirnya memutuskan frasa ”bukan mantan terpidana korupsi” dibatalkan karena dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Pemilu.
Upaya KPU memasukkan syarat bukan bekas terpidana kasus korupsi dalam syarat calon kepala daerah dan wakil kepala daerah di pilkada serentak 2020 didasari atas semangat memberantas korupsi. Aturan ini juga dinilai sebagai langkah untuk mencegah terjadinya lagi kasus seperti yang dialami warga Kudus, Jawa Tengah.
Bupati Kudus yang terpilih pada Pilkada 2018, M Tamzil, ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi pada Juli 2019. Ia pernah menjadi Bupati Kudus periode 2003-2008. Ia terbukti secara sah dan meyakinkan mengorupsi dana pembangunan sarana dan prasarana pendidikan Kabupaten Kudus tahun anggaran 2004.
Ia dihukum 22 bulan penjara atas kasus tersebut. Pada Desember 2015, masa pidana Tamzil berakhir. Ia kemudian mencoba peruntungan dengan maju kembali dalam pilkada Kudus 2018. Tamzil tetap bisa berlaga di pilkada karena memang tidak ada aturan yang melarang bekas narapidana korupsi maju kembali di pilkada.
Tamzil yang berpasangan dengan Hartopo dan diusung koalisi Partai Hanura, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Kebangkitan Bangsa ini akhirnya menang di pilkada dan dilantik menjadi Bupati dan Wakil Bupati Kudus 2018-2023. Setahun setelah menjabat bupati di periode keduanya, Tamzil kembali terjerat kasus suap pengisian jabatan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kudus.
Hak politik
Terjadinya kasus Tamzil harus diakui karena tak ada aturan yang membatasi seorang mantan narapidana kasus korupsi berlaga kembali di pilkada. Selama ia sudah menjalani hukuman dan mengumumkannya kepada publik dan hak politiknya sebagai warga negara untuk dipilih tidak sedang dicabut oleh pengadilan, ia berhak terjun ke kontestasi politik. Apalagi, kalau kita telusuri dalam regulasi terkait kontestasi politik, hanya di syarat pencalonan presiden dan wakil presiden tertuang jelas adanya larangan bagi seseorang yang pernah terjerat kasus korupsi maju di pemilihan presiden.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, terutama di Pasal 169 Huruf d, menyebutkan, calon presiden ataupun calon wakil presiden tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana berat lainnya. Kata korupsi tertuang jelas dalam pasal ini yang secara tegas memang melarang siapa pun yang pernah terjerat kasus korupsi maju sebagai calon presiden maupun calon wakil presiden. Sayangnya, di kontestasi lainnya, kata korupsi tidak secara tegas disebutkan sebagai salah satu syarat larangan tersebut.
Dalam pemilihan legislatif, misalnya, yang notabene dalam satu undang-undang yang sama di UU No 7/2017 tentang Pemilihan Umum, disebutkan, calon anggota legislatif tidak pernah dipidana penjara yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana. Hal ini tertuang di Pasal 240 Ayat (1) Huruf g terkait calon anggota DPR dan Pasal 182 Huruf g soal pencalonan anggota DPD. Upaya KPU membuat peraturan soal larangan mantan terpidana dari tiga kasus (narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi) maju sebagai calon legislatif di pemilu lalu pun kandas.
Hal yang sama juga bisa kita temui terkait persyaratan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah di kontestasi pemilihan kepala daerah. Pada Pasal 7 Ayat (2) Huruf g UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota disebutkan, calon yang maju di pilkada tidak pernah sebagai terpidana atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana. Kali ini upaya KPU kembali membuat aturan larangan mantan narapidana korupsi masih menjadi diskursus publik.
Upaya KPU ini sebenarnya sebuah terobosan untuk menghasilkan calon-calon pemimpin daerah yang bersih dan sekaligus menjadi komitmen bersama bangsa ini memberantas korupsi. Hal yang sama sebenarnya dulu pernah dilakukan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi terkait kasus Azirwan. Gamawan menerbitkan surat edaran agar kepala daerah tak mengangkat lagi PNS yang sudah terbukti korupsi menjadi pejabat struktural.
Hal ini dilakukan setelah mencuatnya kasus Azirwan, mantan terpidana suap yang diangkat kembali menjadi kepala dinas di Kepulauan Riau. Surat edaran bernomor 800/4329/SJ itu diterbitkan 29 Oktober 2012 pada seluruh gubernur dan bupati/ wali kota. Dalam surat tersebut, Gamawan melarang dengan tegas pengangkatan kembali PNS yang pernah dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi atau pidana lainnya dalam jabatan struktural. Bagi Gamawan, masih banyak PNS lain yang lebih bersih dan berintegritas.
Kepentingan publik
Inilah yang kemudian menjadi dilema antara hak politik bagi individu untuk berlaga dalam kontestasi politik yang memang dijamin dalam undang- undang dan harapan untuk mengurangi panggung politik dari aktor-aktor yang selama ini sudah mencederai kepercayaan publik akibat kasus korupsi yang menjeratnya. Catatan Komisi Pemberantasan Korupsi menyebutkan, sejak lembaga ini berdiri sampai akhir tahun 2018, sudah ada 100 kepala daerah yang terjerat kasus korupsi.
Tidak heran jika kemudian upaya KPU membatasi narapidana korupsi mencalonkan diri di pilkada ini mendapat apresiasi publik. Secara moral, publik cenderung mendukung langkah ini agar kontestasi politik di pemilihan kepala daerah tidak lagi memberi pintu bagi siapa pun yang pernah terjerat kasus korupsi. Kontestasi pilkada harus diikuti mereka-mereka yang selama ini bersih dan tidak terlibat dalam kasus korupsi.
Setidaknya hal ini tergambar dari hasil jajak pendapat Kompas pertengahan Oktober lalu. Sebanyak 89,4 persen responden setuju ada aturan yang melarang mantan terpidana korupsi maju di pilkada nanti. Separuh lebih responden beralasan karena mereka yang pernah korupsi sudah terbukti tidak amanah dan tidak layak dipilih kembali. Meskipun demikian, hampir separuh responden juga menginginkan agar larangan ini lebih kuat diatur dalam undang-undang, tidak sekadar peraturan KPU.
Menanggapi keinginan publik ini, Ketua Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif Veri Junaedi memahami adanya dilema antara hak politik individu untuk mencalonkan diri di pilkada dan kepentingan menjadikan pilkada sebagai ajang mencari pemimpin yang bersih.
Namun, Veri cenderung mendukung apa yang diinginkan publik. ”Antara hak individu dan hak publik semestinya hak publik yang diutamakan”, ujar Veri. Ke depan, boleh jadi merevisi undang-undang pemilihan kepala daerah menjadi langkah penting agar kontestasi politik lebih menjamin menghasilkan orang-orang berintegritas.
Seperti yang pernah disampaikan Wakil Presiden RI ke-12 Jusuf Kalla kepada Kompas, 28 Agustus 2019, ketika menemui jajaran KPU terkait dengan hal ini, ”Setidaknya kalau ada orang yang bersih, kenapa cari orang yang ada masalahnya.” (Yohan Wahyu/Litbang Kompas)
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.