Bantu Kami Memandang Indah Dunia
Difabel netra memandang dunia dengan cara berbeda. Ingatan, suara, dan ketukan tongkat jadi jembatan menggambar imajinasi dalam pikiran. Dibutuhkan fasilitas dan dukungan ideal dari semua pihak untuk menyempurnakannya.
Difabel netra memandang dunia yang sama dengan cara berbeda. Ingatan, suara, dan ketukan tongkat menjadi jembatan menggambar imajinasi dalam pikiran. Namun, semuanya itu tidak cukup. Butuh fasilitas dan dukungan ideal dari semua pihak untuk menyempurnakannya.
Ny Aan Rohana (40) memperlihatkan kepiawaiannya saat bermain catur. Jemarinya lincah bergerak meraba seluruh permukaan papan catur untuk melihat posisi buah catur. Setelah mengetahui sasarannya, dia mengangkat kuda dan memakan benteng lawan.
Skak !
Ternyata gerakan tersebut mematikan lawan. Guru di Sekolah Luar Biasa Negeri (SLBN) A Kota Bandung ini berhasil membuat lawan tidak berkutik.
Begitulah cara Aan memainkan catur saat ditemui di sela-sela peringatan Hari Penglihatan Sedunia, di Bandung, Jawa Barat, Jumat (25/10/2019). Bersama lebih dari 60 siswa dan pengajar, mereka berkegiatan di Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Taman Kanak- kanak dan Pendidikan Luar Biasa (PPPPTK TK-PLB).
Melihat keahlian Aan, keterbatasan penglihatan jelas tidak mampu membendung bakatnya bermain catur. Namun, semuanya itu tidak cukup. Desain papan catur yang ramah difabel netra ikut memudahkan Aan menekuni minatnya tersebut.
Sekilas papan catur yang digunakan tidak jauh berbeda dengan papan catur biasa. Namun, di tengah setiap kotak posisi catur terdapat lubang. Lubang tersebut menjadi pijakan bagi setiap buah catur dan menahan setiap buah catur agar tidak bergeser saat diraba para pemain. Selain itu, pucuk buah catur berwarna hitam diberikan tonjolan. Hal tersebut memudahkan pemain membedakan antara buah catur putih dan hitam.
”Saya membaca posisi dengan tangan. Kalau di awal-awal, memang sulit. Namun, karena saya sudah senang main catur tunanetra dari kecil, jadi sudah terbiasa. Sekarang, saya ingin menjadi pemain catur profesional biar menambah prestasi,” tuturnya.
Saya membaca posisi dengan tangan. Kalau di awal-awal, memang sulit. Namun, karena saya sudah senang main catur tunanetra dari kecil, jadi sudah terbiasa. Sekarang, saya ingin menjadi pemain catur profesional biar menambah prestasi.
Baca Juga : Pelatihan Menyelam bagi Difabel
Keterbatasan penglihatan sejak berumur lima tahun membuat Aan membutuhkan lebih dari satu anggota pancaindera untuk melihat dunia. Sebagian besar indera yang digunakan ibu dua anak ini adalah pendengaran dan sentuhan.
”Setiap yang saya raba, saya gambarkan di kepala. Contohnya, jauh dekat jarak kendaraan bisa terasa dari suaranya,” ujar Aan.
Oleh karena itu, seperti halnya catur tunanetra, menurut Aan, tanda-tanda khusus di tengah masyarakat sangat ia butuhkan untuk mandiri. Hal itu seperti imbauan suara di fasilitas publik dan tanda guiding block atau jalur tongkat difabel netra di trotoar. Contohnya, bisa dijadikan pedoman. Tanpa hal itu, mereka bakal kesulitan beraktivitas secara mandiri.
Guiding block biasanya berwarna kuning dan biasanya dipasang di tengah trotoar. Setiap blok memiliki tonjolan dengan dua variasi untuk menunjukkan posisi pengguna.
Di jalur trotoar lurus, blok yang digunakan berkontur tonjolan lurus yang memanjang searah trotoar. Di persimpangan atau ujung trotoar, blok memiliki beberapa tonjolan bulat kecil, tetapi rapat. Tujuannya, mengingatkan pengguna untuk lebih berhati-hati.
Belum terpenuhi
Akan tetapi, yang terjadi di lapangan masih jauh dari harapan. Di Kota Bandung, misalnya, beberapa guiding block tidak bisa berfungsi. Tidak semua sisi jalan raya memiliki trotoar sehingga guiding block tidak bisa dipasang. Selain itu, di beberapa titik, pemasangannya bahkan tidak sesuai dengan ketentuan sehingga justru menyulitkan pengguna.
Nadila Rahmawati (15) merasakan keruwetan itu saat berjalan dipandu guiding block di sepanjang Jalan Pajajaran, Bandung, Jumat (25/10/2019) pagi. Dia mengalaminya bersama lebih dari 60 siswa dan pengajar dari SLBN A Kota Bandung untuk memperingati Hari Penglihatan Sedunia.
Sambil memegang tali panjang, mereka berjalan beriringan kurang lebih 1,3 kilometer dari sekolahnya menuju PPPPTK TK-PLB. Rombongan ini melintasi Jalan Pajajaran, Jalan Cihampelas, Jalan DR Abdul Rivai, dan Jalan Dr Cipto.
Baca Juga: Kaum Difabel Mampu Berkarya
Jadi pemimpin bagi anak-anak difabel netra lainnya, Nadila terlihat kesulitan berjalan. Guiding block di tengah trotoar itu mulai kelabu dan berkerikil sehingga teksturnya berubah. Keberadaan akar pohon yang mencuat ke permukaan trotoar dan menyebabkan terbongkarnya sebagian jalur membuat keadaan menjadi tambah runyam.
Akibatnya, ketukan tongkat putihnya tidak terarah. Nadila sibuk mencari patokan agar tidak menabrak benda apa pun di depannya. ”Nadila, kita lewat jalan saja,” sahut Siswati (54), guru sekaligus pendamping Nadila, sambil menuntunnya turun ke jalan. Siswati tahu Nadila kesulitan berjalan di trotoar.
”Iya, bu, susah kalau lewat blok,” kata Nadila sambil berhati-hati turun ke jalan. Nadila dan teman-temannya yang semula bisa mandiri, kembali harus dituntun berjalan di pinggir aspal jalan raya.
Kepala SLBN A Kota Bandung Wawan, sebagai penyelenggara kegiatan, ingin memperlihatkan kondisi tersebut kepada publik. Tidak sedikit hambatan yang ditemui difabel netra, seperti posisi jalur yang terlalu dekat dengan pohon dan jalur yang terhalang warung kaki lima. Padahal, menurut dia, ada sekitar 3,9 juta warga Indonesia dengan keterbatasan penglihatan dan memerlukan fasilitas seperti ini.
Menurut Wawan, pemerintah dan pihak swasta yang memiliki gedung harus menyediakan akses untuk warga yang berkebutuhan khusus. Dia berharap semua fasilitas yang ada di Bandung ramah terhadap difabel netra.
”Sejatinya, setiap gedung yang dibangun, baik pemerintah maupun swasta, harus mulai dipikirkan akses disabilitas. Tidak hanya dipasang alat bantu, tetapi juga fungsi bagi pengguna agar pengguna tidak kesulitan,” ujarnya.
Pendidikan inklusi
Tidak hanya dukungan untuk aktivitas sehari-hari, proses belajar-mengajar bagi siswa difabel netra juga butuh perhatian khusus. Karena itu, pendidikan inklusi dibutuhkan agar siswa disabilitas bisa mendapatkan kesempatan pendidikan yang sama dengan siswa lainnya.
Kepala Dinas Pendidikan Jabar Dewi Sartika menuturkan, dari sekitar 8 juta peserta didik di Jabar, sebanyak 200.000 orang berkebutuhan khusus. Karena itu, sekolah inklusi dibutuhkan agar setiap siswa mendapatkan kesetaraan pendidikan. ”Semuanya berhak mendapatkan akses pendidikan. Sekarang, kami mengupayakan sekolah menengah atas dan kejuruan bisa diakses disabilitas,” ujarnya.
Upaya ini disambut baik Kepala PPPPTK TK-PLB Abu Khaer. Dia menuturkan, pendidikan inklusi ini berpotensi membuat penyandang disabilitas lebih percaya diri berbaur dengan lingkungan. Sekolah inklusi juga bisa membantu penyediaan fasilitas pendidikan luar biasa yang saat ini berjumlah kurang lebih 2.000 sekolah di seluruh Indonesia.
”Kesetaraan ini juga diharapkan bisa membuat masyarakat tidak merasa malu memiliki keluarga dengan disabilitas. Dalam rangka program wajib belajar, kami akan dorong secara terus-menerus karena pendidikan itu hak seluruh masyarakat,” ujarnya.
Kesetaraan ini juga diharapkan bisa membuat masyarakat tidak merasa malu memiliki keluarga dengan disabilitas. Dalam rangka program wajib belajar, kami akan dorong secara terus-menerus, karena pendidikan itu hak seluruh masyarakat.
Abu menambahkan, pendidikan inklusi juga bisa membuat siswa disabilitas menjadi mandiri dalam beraktivitas. Dengan formula ajar yang sesuai, mereka tidak perlu bergantung pada pendamping, baik itu dari keluarga maupun pihak lainnya.
Seperti halnya Aan dan Nadila, para difabel netra ingin hidup mandiri tanpa merepotkan orang lain. Namun, mereka juga ingin berkegiatan tanpa harus khawatir dengan kerawanan kondisi sekitar. Apabila terlaksana, kemandirian ini bakal membuat mereka percaya bisa hidup setara dengan warga lainnya.
Baca Juga : Yulianti Memupuk Kasih Sayang untuk Difabel
[playlist type="video" ids="114333378"]