Mengapa Restoran Indonesia Kalah Jauh dengan Restoran Thailand di Luar Negeri?
Restoran Indonesia di luar negeri kalah jauh dibandingkan restoran Thailand. Pendirian restoran Thailand didukung penuh pemerintahnya. Thailand mendirikan Global Thai Restaurant Company untuk ekspansi restoran Thailand.
Oleh
Erika Kurnia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ekspansi industri makanan dan minuman Indonesia di luar negeri dalam bentuk restoran masih tertinggal jauh dibandingkan Thailand. Indonesia masih akan sulit bersaing selama pemerintah belum memprioritaskan pengembangan sektor tersebut dan tidak adanya sinergi di antara para pemangku kepentingan.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) Adhi Lukman, saat ditemui di Kantor Kementerian Perindustrian di Jakarta, Senin (11/11/2019), mengakui, nama Indonesia yang digunakan untuk restoran di luar negeri tidak sepopuler nama atau merek restoran negara Asia lain, seperti Thailand.
”Pengalaman saya di Amerika, Kanada, dan Jepang, restoran Thailand lebih laku. Di Kanada bahkan ada orang Indonesia punya restoran pakai nama Indonesia, tapi kemudian enggak laku. Ketika ganti nama Thailand, laku, padahal di sana tetap menjual menu Indonesia,” tuturnya.
Meski demikian, ia mengatakan, nama Indonesia sudah banyak dikenal lewat produk-produk makanan dan minumannya. Produk Indomie milik PT Indofood Sukses Makmur Tbk, misalnya, baru-baru ini dinobatkan kolumnis makanan di Los Angeles Times, Lukas Kwan Peterson, sebagai merek mi instan dengan rasa dan kekuatan iklan teratas di antara 31 produk sejenis dari sejumlah negara.
Selain itu, ia juga menyebut, ada sebuah produk kopi instan Indonesia yang menguasai pasar di Filipina. Dampak dari popularitas produk merek Indonesia tak jarang membuat pemerintah di negara-negara eksportir produk Indonesia tersebut menerbitkan aturan pengamanan perdagangan.
Di Kanada bahkan ada orang Indonesia punya restoran pakai nama Indonesia, tapi kemudian enggak laku. Ketika ganti nama Thailand, laku, padahal di sana tetap menjual menu Indonesia.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Tim Percepatan dan Pengembangan Wisata Kuliner dan Belanja Kementerian Pariwisata (Kemenpar) Vita Datau Messakh mengatakan, strategi branding atau promosi produk kuliner Indonesia di luar negeri memang masih perlu digencarkan.
Upaya itu, menurut Vita, tengah dipersiapkan Kemenpar untuk 250 restoran dari 508 restoran Indonesia di seluruh Indonesia. Selain branding, strategi yang diupayakan mereka adalah boosting (mendorong) dan building (membangun).
”Kita perlu mendorong pengusaha makanan dan minuman Indonesia dengan membuka peluang investasi dan mencarikan partner lokal di luar negeri. Kita tahu aturan membangun restoran di luar negeri tidak mudah. Kita perlu memaksimalkan yang ada karena pemerintah enggak punya anggaran untuk itu,” ungkapnya.
Kondisi itu, menurut Vita, berbeda dengan Thailand. Dikutip dari Wall Street Journal, pada 2001 Pemerintah Thailand mendirikan Global Thai Restaurant Company sebagai upaya untuk menyebarkan setidaknya 3.000 restoran Thailand di seluruh dunia. Saat ini lebih kurang 15.000 restoran Thailand tersebar di berbagai belahan dunia.
Ekspansi restoran Thailand di seluruh dunia secara besar-besaran didukung dengan banyak insentif dan kebijakan. Pemerintah Thailand berani mengucurkan pinjaman besar untuk pengusaha mikro, kecil, dan menengah yang mau membuka restoran di luar negeri.
Restoran mereka juga didukung produk 100 persen Thailand. Hal itu mudah dilakukan karena pemerintah mewajibkan perusahaan penerbangan menyisihkan sebagian kargonya untuk membawa produk khusus Thailand ke luar negeri.
”Saya mungkin belum memaparkan ini kepada Pak Menteri (Pariwisata dan Ekonomi Kreatif), tapi ke depan kami akan melibatkan banyak unsur pentaheliks (pemerintah, swasta, tenaga kerja, media, masyarakat) untuk mendorong hal ini,” ujarnya.
Dukungan modal
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Haryadi Sukamdani, kepada Kompas (15/6/2019), berpendapat, pertumbuhan bisnis restoran merek Indonesia di luar negeri masih sangat lambat karena hambatan permodalan.
”Selama ini diaspora Indonesia yang mau membuka bisnis di luar negeri sulit mendapatkan modal pinjaman dari bank di luar negeri karena masalah administrasi dan sebagainya. Mau minta bantuan bank di dalam negeri juga tidak ada aturannya,” tuturnya.
Ia berharap pemerintah bisa mendukung permodalan bisnis tersebut melalui lembaga pembiayaan ekspor yang sudah ada. Penguatan bisnis tersebut, menurut Haryadi, akan membantu memperkuat sumbangan ekspor barang dan jasa pada pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), kinerja ekspor barang dan jasa, yang merupakan komponen pembentuk produk domestik bruto (PDB) nasional terbesar ketiga, hanya tumbuh 0,02 persen pada triwulan III-2019. Angka itu jauh melambat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai 8,08 persen.
Meski demikian, kinerja di industri makanan dan minuman masih positif. Pada Januari hingga September 2019, industri ini mendapatkan realisasi investasi mencapai Rp 29,39 triliun, dengan ekspor sebesar 19,31 miliar dollar AS atau setara Rp 271,8 triliun.