Desain Ikuti Posisi Pohon
Rencana Pemprov DKI Jakarta untuk menebang pepohonan di tepi jalan dan mengganti dengan tabebuya perlu ditilik ulang. Sebaiknya, desain kota mengikuti pohon yang lebih dulu ada.
JAKARTA, KOMPAS — Dinas Kehutanan DKI Jakarta berencana menanam pohon tabebuya untuk menggantikan pohon-pohon angsana di tepi jalan, seperti di depan Stasiun Cikini, Jakarta Pusat. Sejumlah kalangan berpendapat, tabebuya tidak tepat sebagai penaung dan penyerap polusi.
Dodi Nandika, arboris dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Senin (11/11/2019), mengatakan, tabebuya adalah satu jenis perdu yang secara estetika bagus. Bunganya ada tiga warna dan cantik. Nektarnya bisa untuk serangga.
Akan tetapi, tabebuya (genus Tabebuia spp) yang merupakan anggota famili Bignoniaceae dan asli dari kawasan tropis benua Amerika itu memiliki kelemahan. Tabebuya bukanlah pohon besar. Tajuknya kurang sehingga untuk fungsi naungan juga kurang, suplai oksigen rendah, dan fungsi penyerap polutan rendah.
Dinas kehutanan juga harus melihat lagi di mana tabebuya itu akan ditempatkan, di tepi jalan raya atau di mana. ”Kalau tabebuya ditanam di pinggir jalan yang padat dan ramai, serta ditujukan untuk penyerap polutan, (maka rencana itu) harus dikaji ulang,” ujar Dodi.
Baca juga : Penebangan di Cikini Tanpa Uji Kesehatan Pohon
Kalau tabebuya ditanam di pinggir jalan yang padat dan ramai, serta ditujukan untuk penyerap polutan, (maka rencana itu) harus dikaji ulang. (Dodi Nandika)
Nirwono Joga, Koordinator Pusat Studi Perkotaan Universitas Trisakti, berpendapat, pohon yang kecil seperti tabebuya berfungsi utama untuk estetis. Jika diperhatikan, batang pohon tabebuya tidak lurus, cenderung belok-belok, sehingga tidak bisa dijadikan sebagai pohon pengarah.
Tabebuya adalah pohon yang berbunga indah sehingga fungsi estetika lebih kental daripada fungsi ekologis. Ditambah lagi tajuknya bukan tajuk yang meneduhi seperti kanopi.
”Tabebuya bukan bentuk kanopi sehingga tidak berfungsi untuk meneduhkan sekitarnya. Dari tiga faktor itu, penempatan tabebuya di pinggir trotoar dengan tujuan utama untuk peneduh pejalan kaki tidak masuk. Untuk penyerap polutan saja tidak bisa. Itu sudah pasti karena secara ekologis supaya pohon bisa menyerap polutan dia harus memiliki tajuk kanopi yang lebar dan daun lebat. Semakin banyak daunnya, semakin besar fungsi ekologis menyerap polutan,” jelasnya.
Baca juga : Pemprov DKI Keliru, Pohon Tabebuya Tidak Sebaik Angsana
Fungsi inilah yang dibutuhkan untuk meredam panasnya suhu udara di Ibu Kota. Fungsi ini juga berkaitan dengan tujuan Jakarta sebagai kawasan kota hijau yang diwacanakan Pemprov DKI Jakarta.
Nirwono meminta Pemprov DKI menghentikan rencana penebangan pohon-pohon di kawasan Kramat Raya yang saat ini sudah dipasangi poster hendak ditebang. Pepohonan besar itu diyakini bakal digantikan dengan tabebuya.
Penebangan pohon pun, katanya, harus dilakukan dengan kajian yang matang, bukan hanya karena dia terkena pelebaran trotoar atau saluran air. ”Justru yang salah itu di situnya. Kalau pohon ditebang karena pelebaran trotoar atau saluran, itu yang salah desainnya. Karena itu menunjukkan ketidakpahaman terhadap posisi pohonnya itu. Di mana-mana, desain itu mengikuti pohon, apalagi kalau pohonnya besar-besar, desainnya mengalah,” kata Nirwono.
Rencana induk
Langkah DKI ini, menurut Nirwono, menunjukkan bahwa Dinas Kehutanan DKI tak memiliki rencana induk pohon. Padahal, rencana induk ini harus diikuti dengan audit pohon.
”Dari sana kita akan tahu, dari total enam juta pohon di Jakarta sekarang, kita akan tahu mana pohon yang sehat, mana pohon yang perlu dirawat, mana pohon yang keropos untuk dilakukan tindakan,” jelas Nirwono.
Hal lainnya yang tidak dimiliki DKI adalah peraturan daerah tentang pohon. Padahal, dengan perda itu, akan menjawab apakah sebuah pohon boleh ditebang atau tidak. Selain itu, juga bisa menjelaskan aturan yang mengatakan satu pohon yang ditebang diganti 10 pohon baru.
”Makanya saya terus mendorong supaya Dinas Kehutanan memiliki rencana induk, aturan daerah, dan audit. Ketiga hal itu harusnya sudah dikerjakan Dinas Taman 10-15 tahun yang lalu untuk bisa menentukan pohon mana yang sehat, yang harus dirawat, dan diambil tindakan. Jadi, tidak ada alasan karena pembangunan, pohonnya yang salah, kalau kita punya aturan yang kuat,” paparnya.
Sebelumnya, akademisi ekologi pohon dari Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB, Ichsan Suwandhi, menjelaskan, untuk menyerap polutan, kota idealnya membutuhkan pohon berukuran besar. Namun, Pemprov DKI Jakarta justru memilih pohon yang ukurannya lebih kecil.
”Tabebuya kurang bisa mengimbangi angsana sebagai peneduh karena profil tajuknya yang tidak rimbun dan menggugurkan daun ketika musim berbunga. Secara otomatis, pohon ini tidak cocok sebagai peneduh kawasan,” ucap Ichsan.
Ichsan menyarankan rencana perawatan meliputi pembersihan gulma dan pendeteksian hama selama satu atau tiga tahun sekali. Sementara pemangkasan cabang secara berkala, penggantian tanaman, serta pemantauan rutin usia dan kesehatan pohon dapat dilakukan selama enam bulan atau satu tahun sekali.
”Pohon-pohon tidak semuanya sehat akibat lingkungan di kota. Perlu penanganan serius agar dapat mengetahui kondisinya. Keseriusan penanganan ini juga mendukung hadirnya kawasan kota yang lebih hijau,” katanya.
Dodi juga menegaskan penanaman tidak bisa asal dilakukan. Pilihan jenis tanaman harus dimulai dari kajian tentang fungsi kawasan yang akan ditanami, karakteristik kawasan seperti apa, baru ke jenis. ”Tidak serta-merta kita bisa menanam pohon untuk replanting, tetapi tidak tahu karakteristik kawasan, daerahnya terjadi pencemaran atau tidak, atau daerahnya bagaimana,” jelasnya.
Akar merusak
Sebelumnya, Suzi Marsitawati, Kepala Dinas Kehutanan DKI Jakarta, mengatakan, pohon-pohon yang ditebang di Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat, akan digantikan dengan tabebuya. Tanaman itu disebut memiliki kemampuan untuk menyerap polutan dan tidak merusak konstruksi jalur pedestrian.
Pihaknya juga telah mengajukan pengadaan tanaman tabebuya itu dalam rancangan Kebijakan Umum Anggaran-Plafon Prioritas Anggaran Sementara (KUA-PPAS) DKI Jakarta 2020.
”Sedang dalam proses, menunggu e-katalog (katalog elektronik) instant trees (pohon cepat tumbuh),” ujar Suzi.
Untuk penebangan pohon, Suzi mengakui, pihaknya tak melakukan uji kesehatan pohon terlebih dahulu dengan Arborsonic 3D Tomograph. Padahal, alat tersebut mampu mendeteksi ukuran dan bagian batang yang membusuk atau berongga di dalam batang, tanpa merusak atau menebang pohon.
”Itu alatnya baru. Kami pengadaan baru selesai. Jadi belum kami gunakan dengan itu karena kami baru transfer knowledge-nya,” ucap Suzi.
Penebangan pohon semata-mata melihat struktur cabang pohon yang keropos dan rawan tumbang. Dalam pengamatan Kompas, ada sembilan pohon yang ditebang dari belasan pohon di sisi selatan Stasiun Cikini, Jakarta Pusat. Dari pohon yang ditebang itu, terdapat salah satu pohon yang bagian tengah batangnya tampak keropos.
Berdasarkan catatan Unit Pelaksana Teknis Pengembangan Tanaman Perkotaan (UPT PTP) Dinas Kehutanan DKI Jakarta, total pohon yang ditebang di kawasan itu sebanyak 12 pohon. Jenis pohon pun beragam, meliputi pohon angsana, palem raja, beringin, dan trembesi.
Suzi menambahkan, penebangan pohon-pohon di Jalan Cikini Raya tak terlepas dari rencana penataan trotoar oleh Dinas Bina Marga di kawasan tersebut. Pohon-pohon yang diperkirakan tumbuh sejak tahun 1980-an itu, menurut Suzi, cukup tua, keropos, dan rawan tumbang.
”Akarnya juga sudah tidak seimbang dengan yang di atas dan sudah merusak saluran air. Rata-rata Jalan Cikini itu, kan, saluran air sehingga jadi bolong. Kalau ada angin, (pohon) mudah tumbang,” ujar Suzi.
Atas dasar itu, Dinas Kehutanan merasa perlu ada penebangan pohon. Apalagi, di kawasan itu sedang dilakukan revitalisasi trotoar dan lebar ruas jalannya hanya sekitar 7 meter.