Perubahan pola pikir terjadi di kalangan ibu rumah tangga di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Kini mereka menyadari bahwa hak dan kedudukan mereka di masyarakat sama dengan laki-laki.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
Perubahan pola pikir terjadi di kalangan ibu rumah tangga di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Kini, mereka menyadari bahwa hak dan kedudukan mereka di masyarakat sama dengan laki-laki.
Et Labora Bansae (39), seorang ibu rumah tangga dari Desa Tubuhu’e, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, dahulu beranggapan bahwa tugas perempuan adalah melakukan pekerjaan rumah selama 24 jam. Dalam tatanan masyarakat, posisi perempuan pun lebih rendah daripada laki-laki.
Ketika beternak, misalnya, perempuan bertugas memberi makan hewan. Namun, proses dan hasil penjualan ternak dilakukan oleh laki-laki. Kondisi seperti ini banyak dialami perempuan di Timor Tengah Selatan.
”Pemahaman saya waktu itu adalah perempuan itu tidak punya hak, berbeda dengan laki-laki,” tuturnya.
Pemahaman tersebut berubah belakangan ini. Ia mulai mengerti, hak perempuan dan laki-laki itu sama meski kodrat mereka berbeda.
”Sekarang saya memahami kalau kita semua memiliki hak dan peran yang sama di masyarakat. Dulu, perempuan selalu di belakang. Jangan lagi. Perempuan harus berada di samping laki-laki,” kata Et.
Perubahan pola pikir Et muncul setelah terlibat dalam pelatihan sebagai fasilitator untuk Sekolah Perempuan Bifemeto di Timor Tengah Selatan. Sekolah perempuan ini merupakan gerakan untuk memberikan kesadaran mengenai hak dan memberdayakan perempuan guna menghilangkan kesenjangan jender.
Sekolah perempuan itu akan diselenggarakan di Desa Tubuhu’e, Desa Anin, dan Desa Oelbubuk. Sebanyak 200 perempuan terdaftar mengikuti sekolah ini. Mereka akan didampingi 13 orang fasilitator.
Perempuan berdaya
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati secara resmi membuka Sekolah Perempuan Bifemeto di Soe, Timor Tengah Selatan, Kamis (7/11/2019). Bintang berharap sekolah ini dapat membantu perempuan sebagai agen perubahan dalam masyarakat.
Bintang melanjutkan, perempuan berdaya adalah kunci keberhasilan pembangunan suatu negara, terutama dalam mencapai keadilan, kesejahteraan, kesetaraan jender, dan perdamaian. Perempuan yang berdaya akan menjadi aktor penting bersama laki-laki dalam mewujudkan tujuan pembangunan.
Perempuan yang berdaya akan menjadi aktor penting bersama laki-laki dalam mewujudkan tujuan pembangunan.
”Namun, perlu diingat, peran tokoh agama dan tokoh adat juga penting dalam mewujudkan kesetaraan. Saya harap, jika bermanfaat sesuai pernyataan ibu-ibu di Soe, sekolah perempuan akan bertambah di seluruh Indonesia,” katanya.
Peningkatan kualitas dan pemberdayaan perempuan disebutkan dalam Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000. Pemerintah berkomitmen untuk meningkatkan kedudukan, peran, dan kualitas perempuan untuk mewujudkan pembangunan yang sejahtera, adil dan berkesetaraan.
Cegah kekerasan
Kesenjangan jender turut menimbulkan kekerasan terhadap perempuan. Di Indonesia, hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Perempuan (SNPHP) pada 2016 menunjukkan, 1 dari 3 perempuan usia 15-64 tahun mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan dan selain pasangan selama hidupnya.
Bupati Timor Tengah Selatan Egusem Pieter Tahun mengatakan, sekolah perempuan penting untuk menurunkan kekerasan terhadap perempuan dan anak yang kian meningkat. Ia mencatat, laporan kekerasan 46 kasus pada 2017 dan naik menjadi 111 kasus per Oktober 2019.
”Kekerasan terhadap perempuan terus meningkat akibat kurangnya pendidikan dan masalah ekonomi. Di TTS (Timor Tengah Selatan), kami merupakan daerah penyumbang tenaga kerja asing tertinggi. Banyak pekerja migran yang kembali dalam keadaan meninggal dunia,” tuturnya.
Kekerasan terhadap perempuan terus meningkat akibat kurangnya pendidikan dan masalah ekonomi.
Egusem berharap, keberadaan sekolah perempuan dapat membantu perempuan TTS di bidang pendidikan dan ekonomi demi pembangunan daerah. Apalagi, jumlah perempuan di TTS lebih banyak dari laki-laki, yaitu 235.063 orang dari total penduduk 468.000 orang pada 2018.
Anjelita Halena Bana (22), warga Desa Anin, mengatakan, dirinya tertarik untuk mengikuti Sekolah Perempuan Bifemeto untuk meningkatkan kemampuan dan kapasitas diri. Anjelita ingin ikut berkontribusi terhadap pemasukan keluarganya yang hanya sekitar Rp 800.000 per bulan.
”Kami akan diajari kerajinan tangan, seperti menganyam manik-manik dan menenun. Ini akan membantu suami saya yang bekerja sebagai tukang ojek dan sopir,” tutur perempuan lulusan SMP ini.