Geliat Nasdem dalam Rangkulan Jokowi
Surya Paloh akhirnya berangkulan erat menanggapi ajakan Presiden Jokowi dalam acara Penutupan Kongres Partai Nasional Demokrat. Eratnya rangkulan tangan kedua tokoh seakan untuk memenuhi janji Jokowi.
Surya Paloh akhirnya berangkulan erat menanggapi ajakan Presiden Jokowi dalam acara Penutupan Kongres Partai Nasional Demokrat, Senin (11/11/2019). Eratnya rangkulan tangan kedua tokoh seakan memenuhi janji Jokowi untuk lebih erat merangkul pemimpin Nasdem itu ketimbang saat merangkul Presiden PKS Sohibul Iman.
Sebelumnya, Surya Paloh bermanuver politik dengan mengunjungi dan berangkulan dengan Presiden PKS itu. Sebuah tindakan simbolis yang tak bisa lain daripada isyarat politik kepada parpol koalisi pemerintah. Manuver politik Surya Paloh itu tak lepas dari peringatan yang disampaikan sebelumnya kepada Jokowi terkait bergabungnya Partai Gerindra dalam pemerintahan.
Tampak jelas ketidaksetujuan Surya Paloh dan jajaran partai Nasdem terhadap masuknya Gerindra yang dianggap sebagai kubu oposisi itu. Menurut Surya Paloh, demokrasi sudah mati kalau tidak ada lagi partai yang beroposisi dalam parlemen. ”Negara sudah berubah menjadi otoriter atau monarki kalau enggak ada oposisi,” kata Surya Paloh tegas. Surya Paloh menghendaki Partai Nasdem siap memperkuat oposisi jika Gerindra benar-benar ikut ke dalam gerbong pemerintah bersama Presiden Joko Widodo.
”Kalau tidak ada yang oposisi, Nasdem saja yang jadi oposisi,” kata Surya Paloh (Kompas.com, 20 Oktober 2019). Perubahan sikap politik Paloh terhadap pemerintahan Jokowi ini menguatkan prediksi selama ini bahwa Nasdem merupakan partai yang paling sensitif dengan posisinya di kabinet. Sebagai loyalis Jokowi, partai ini menghendaki Presiden lebih mengutamakan partai-partai yang sudah berjuang mati-matian memenangkan Jokowi untuk menjabat menteri di kabinet yang baru.
Sisanya, terutama partai yang menjadi lawan Jokowi, biarlah berada di luar kabinet dan konsisten menjadi oposisi. Namun, keinginan itu bertepuk sebelah tangan. Jokowi tampaknya mengutamakan persatuan kekuatan politik besar di parlemen, dengan mengundang Gerindra setelah terbelahnya pendapat masyarakat akibat pemihakan saat pemilu presiden.
Unjuk kekuatan
Partai Nasdem merupakan salah satu partai yang paling sukses dalam meningkatkan elektabilitasnya dalam Pemilu 2019. Partai besutan Surya Paloh ini berhasil mengumpulkan 12.661.792 (9,05 persen) suara. Perolehan ini naik tinggi ketimbang Pemilu 2014.
Di DPR, Partai Nasdem berhasil mengumpulkan 59 kursi atau menambah 23 kursi lebih banyak dibandingkan dengan pemilu lima tahun lalu. Penambahan ini terbilang fantastis di tengah stagnasi suara partai-partai besar, seperti PDI Perjuangan, Gerindra, dan Golkar. Tak heran, Nasdem bersikap sangat percaya diri dan Surya Paloh selaku ketua umum sekaligus pendiri Nasdem ingin menunjukkan bahwa partainya saat ini sedang tumbuh dan berpotensi menjadi kekuatan politik yang paling berpengaruh.
Dalam pilkada serentak 2015, sebagai partai pendatang baru, debut Nasdem terbilang fenomenal karena sukses memborong kemenangan di 100 daerah. Prestasi ini mengerek posisi Nasdem ke peringkat dua jumlah pemenang pilkada, di bawah PDI Perjuangan.
Koalisi yang melibatkan Partai Nasdem juga menjadi pemenang paling banyak pada Pilkada 2015. Dari 93 kali koalisi dengan dengan PDI-P, Nasdem memenangi 51 kali sehingga menjadikan koalisi kedua partai tersebut sebagai koalisi paling strategis dalam Pilkada 2015. Koalisi partai-partai lain hanya meraih kemenangan di bawah mereka. Posisi Nasdem dalam Pilkada 2015 seakan menggantikan PAN yang dalam pilkada 2005-2007 menjadi partai paling fenomenal dalam menjalin koalisi kemenangan (Kompas.id, 12 Agustus 2019).
Kemenangan tersebut menjadi kunci strategi Nasdem untuk menghadapi pilkada serentak di 101 daerah pada 2017. Nasdem mulai menunjukkan dirinya sebagai partai dengan kekuatan riil yang bisa menentukan kemenangan para kandidat yang diusung. Hasilnya, Nasdem kembali meraih prestasi yang sama seperti pilkada dua tahun sebelumnya. Berkat strateginya, Nasdem bisa menjadi partai pemenang kedua dengan 47 kemenangan, hanya kalah dari Golkar yang meraih 54 kemenangan.
Pilkada 2018 menjadi puncak prestasi Nasdem dalam pergelaran pilkada. Pilkada kali ini Nasdem berhasil memungkasi ambisinya menjadi juara umum dalam meraih kemenangan. Partai Nasdem berhasil mencatat kemenangan di 86 daerah dari 171 pilkada serentak di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota. Nasdem berhasil menyisihkan PDI Perjuangan dan Golkar sebagai pemenang Pilkada 2015 dan 2017.
Kemenangan yang konsisten dan spektakuler ini langsung menempatkan Nasdem sebagai partai dengan pengaruh yang cukup kuat, setara dengan PDI Perjuangan, Golkar, dan Gerindra. Sebagai partai pendatang baru, posisi ini menunjukkan kemampuan Nasdem dalam mengakumulasi pengaruh melalui kemenangan pilkada untuk menumbuhkan kekuatan politiknya.
Pemilu 2019 menjadi ajang bagi Nasdem unjuk kekuatan dalam pentas politik nasional. Hasilnya, hanya Nasdem dan PKS yang mencatat peningkatan perolehan suara dan kursi DPR paling signifikan. Nasdem menyempurnakan pengaruh dan kekuatannya dengan kemenangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin dalam Pilpres 2019. Untuk diketahui, Nasdem sudah menyatakan dukungan kepada Jokowi sejak tahun 2015 dan tercatat sebagai partai yang paling loyal dan konsisten dengan sikap politiknya hingga Pemilu 2019.
Basis kekuatan
Kekuatan Nasdem yang tumbuh dengan spektakuler dalam 5 tahun terakhir tentunya disokong akumulasi basis kekuatan yang bertambah secara drastis pula. Pertanyaannya, bagaimana strategi Nasdem menambah basis pemilihnya di tengah lanskap politik nasional yang relatif mapan?
Ketika Nasdem dideklarasikan sebagai partai politik pada Juli 2011, banyak kalangan sudah memprediksi bahwa partai baru ini bakal menggerus pemilih Golkar. Pasalnya, Surya Paloh sosok utama di balik Nasdem ini sebelumnya adalah salah satu tokoh penting dalam Partai Golkar. Prediksi tersebut juga didasarkan pada pengalaman dari beberapa partai pecahan Golkar yang bisa meraup suara dari Golkar.
Sebagai partai dengan ideologi sekuler-nasionalisme, Partai Nasdem juga memperoleh limpahan suara dari partai nasionalis lainnya, terutama PDI Perjuangan. Bahkan, para pemilih Nasdem juga berasal dari partai yang menjadi elemen pecahan Golkar, seperti Hanura, PKPI, bahkan Gerindra. Selain itu, pemilih Islam juga banyak bersimpati kepada Nasdem.
Gabungan dari elemen-elemen pemilih inilah yang menyokong Nasdem masuk ke parlemen pada Pemilu 2014. Debut politik Nasdem ini terbilang sukses karena berhasil mengumpulkan 8.402.812 (6,72 persen) suara. Inilah modal awal Nasdem memasuki gelanggang politik nasional.
Dari elemen-elemen pemilih Nasdem tersebut, hampir bisa dipastikan kontribusi suara terbesar masih berasal dari Golkar dan partai-partai pecahannya. Artinya, dukungan untuk Nasdem pada Pemilu 2014 bukanlah kekuatan riil partai ini karena basis pemilihnya masih relatif cair.
Surya Paloh sebagai politikus senior yang telah matang naluri politiknya pasti paham dengan kekuatan partai yang baru dilahirkannya ini. Mustahil bagi Surya Paloh membesarkan Nasdem hanya mengandalkan limpahan suara pemilih Golkar atau ditambah sedikit suara pemilih partai nasionalis lainnya.
Pilkada menjadi ajang politik yang dilihat Surya Paloh sebagai pintu masuk untuk mempromosikan Nasdem kepada calon kepala daerah dan massa pendukungnya. Melalui Media Group yang dimilikinya, Surya Paloh sukses mengantarkan partisipasi Nasdem dalam mengusung calon kepala daerah. Popularitas Nasdem menanjak drastis dalam waktu yang relatif singkat.
Performa Nasdem dalam pilkada serentak tahun 2015, 2017, dan 2018 sangat menjanjikan karena sukses membukukan kemenangan. Jumlah kemenangan yang signifikan membuat kekuatan Nasdem mengungguli sejumlah partai yang menjadi ”seniornya”. Kekuatan ini kemudian menjadi sumber referensi yang penting bagi calon-calon kepala daerah untuk memilih diusung oleh Partai Nasdem daripada partai-partai lain (Kompas.id, 12 Agustus 2019).
Mengapa popularitas Nasdem bisa meningkat drastis dan bisa menggoda preferensi para calon kepala daerah dalam memilih partai pengusung? Fenomena sejumlah calon kepala daerah, terutama petahana, yang lompat pagar ke Nasdem tidak lepas dari rumor adanya peran jaksa agung. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Jaksa Agung Muhammad Prasetyo menjadi penyebab utama banyaknya calon kepala daerah yang lompat pagar ke Nasdem.
Dalam artikel ”Anies Baswedan dan Kerangkeng Politik Nasdem” (Kompas.id, 12 Agustus 2019) dituliskan, selama ini, telah berkembang rumor yang mengaitkan keberhasilan Nasdem meraih suara cukup tinggi karena peran jaksa agung dalam memonitor kepala-kepala daerah. Partai Nasdem diduga menangguk keuntungan dari banyaknya kepala daerah yang kemudian beralih kendaraan politik ke Partai Nasdem yang memegang rahasia hukum.
Jaksa Agung Muhammad Prasetyo berhasil menggertak sejumlah kepala daerah di Pulau Sulawesi yang berasal dari Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Utara sehingga mereka memilih menggunakan Nasdem sebagai kendaraan politik dalam pilkada.
Di Sulawesi Utara setidaknya empat kepala daerah lompat partai. Bupati Minahasa Utara Vonnie Panambunan, Wali Kota Manado Godbless Sofcar Vicky Lumentut, Bupati Bolaang Mongondow Yasti Soepredjo, dan Wali Kota Kotamobagu Tatong Bara semuanya meneguhkan diri untuk berada di bawah naungan Partai Nasdem.
Di Sulawesi Selatan, Wali Kota Makassar Mohammad Ramadhan Pomanto, Bupati Bantaeng Ihamsyah Azikin, dan Bupati Luwu Basmin Mattayang dikukuhkan sebagai kader Partai Nasdem. Selain itu, juga terdapat nama Wakil Gubernur Sulawesi Barat (Sulbar) Enny Anggraeny Anwar dan mantan Wakil Gubernur Sulbar Aladin S Mengga.
Selain ”membajak” para calon kepala daerah, Nasdem juga merekrut para pesohor dan tokoh-tokoh penting untuk dijadikan sebagai vote getter dalam Pemilu 2019. Untuk memenuhi ambisi peningkatan elektabilitas, partai ini berani membajak para pesohor dengan elektabilitas tinggi untuk dijadikan sebagai caleg. Partai Nasdem tercatat sebagai partai dengan jumlah pesohor terbanyak, mengalahkan PAN dan PDI Perjuangan.
Efek ekor jas
Pada 2015, Nasdem sudah mendeklarasikan diri sebagai pendukung utama Presiden Joko Widodo melalui tagline: ”Jokowi Presidenku, Nasdem Partaiku” yang dipampang pada poster dan baliho. Sikap politik Nasdem ini menjadi bagian dari strategi meraih simpati para pendukung Jokowi yang lintas partai. Taktik menjadi loyalis Jokowi yang tingkat elektabilitasnya paling tinggi memberikan efek elektoral yang positif kepada Nasdem. Partai Nasdem berhasil mendapatkan coat tail effect atau efek ekor jas dari sikap politiknya sebagai pendukung Jokowi.
Ramuan ketiga strategi tersebut ternyata manjur dalam meningkatkan perolehan suara Nasdem pada Pemilu 2019. Nasdem berhasil menggeser dominasi partai-partai lama sebagai pemenang pemilu. Di Sulawesi Selatan, suara Golkar tergerus signifikan oleh Nasdem. Meski tidak menjadi pemenang, Nasdem berhasil meningkatkan perolehan suaranya hingga tiga kali lipat dibandingkan dengan Pemilu 2014.
Basis pendukung Nasdem belum terbentuk secara riil meskipun perolehan suaranya meningkat tajam seperti di Sulawesi Selatan. Mengapa? Karena strategi Nasdem meraup suara lebih mengandalkan kekuatan sosok ketimbang identifikasi ideologis. Suara Nasdem bisa meningkat lantaran dibawa oleh sosok-sosok yang bergabung, mulai dari calon kepala daerah, mantan kepala daerah, hingga para caleg pesohor.
Kini, loyalitas Nasdem kepada Jokowi akan diuji setelah peristiwa sindir-menyindir yang sempat hangat. Meski berkali-kali Surya Paloh ataupun elite-elite politik Nasdem menyatakan akan tetap loyal kepada Jokowi, pemerintah, dan koalisi, langkah Surya Paloh merangkul PKS telanjur mendatangkan kecurigaan yang dalam. Pasalnya, dukungan ataupun loyalitas Nasdem kepada Jokowi saat ini tidak akan memberi keuntungan elektoral lagi untuk Nasdem.
Absennya Jokowi dalam Pilpres 2024 juga menjadi pukulan telak untuk Nasdem. Perhitungan inilah yang membuat Nasdem akan sedikit kesulitan dalam membesarkan lagi raihan suaranya. Meski demikian, kiranya Surya Paloh dan para kader Nasdem paham bahwa saat ini adalah saatnya Jokowi. Jika benar-benar meninggalkan koalisi pemerintah, sama saja mencari ”penyakit”. Apalagi, toh, sudah dirangkul erat lagi oleh Jokowi. Lumayan, meski kursi jaksa agung telanjur melayang, perhatian Jokowi ke Nasdem pasti jadi jauh lebih besar. (SULTANI/LITBANG KOMPAS)