Kartika Masih Berjuang untuk Hidup
Kartika, bayi dengan kelainan gastroschisis atau usus di luar, sangat membutuhkan penanganan yang serius. Ia masih berjuang untuk hidup.
Kartika, bayi dengan kelainan gastroschisis atau usus di luar, sangat membutuhkan penanganan yang serius. Ia masih berjuang untuk hidup.
”Namanya Kartika, bukan Sartika. Nama Kartika mirip dengan nama RA Kartini. Mereka sama-sama berjuang,” kata Jojor Marbun (47) di ruang tunggu Instalasi Gawat Darurat RSUP Dr M Djamil, Padang, Sumatera Barat, Senin (11/11/2019) sore.
Jojor, nenek dari pihak ayah, mengoreksi nama cucunya Kartika Lase, bayi yang lahir dengan kelainan usus di luar atau gastroschisis asal Mandailing Natal, Sumatera Utara. Ayah si bayi, Beji Sekhi Lase (27), sebelumnya salah menyebut nama putrinya dengan Sartika.
Itu kali pertamanya dua beranak, Jojor dan Beji, tampak bersemangat bercerita. Sebelumnya, mereka selalu berkeluh kesah dan pasrah dengan kondisi cucu/putri mereka yang hingga Senin malam tak kunjung mendapat penanganan lebih lanjut. Kondisi kesehatan bayi berusia tiga hari itu kian memburuk.
Beji bercerita, nama Kartika muncul begitu saja di pikirannya saat di RSUD Panyabungan. Beji dan istrinya sebelumnya tidak mempersiapkan nama. Kata Beji, Kartika adalah nama yang indah.
Menurut Jojor, nama Kartika mirip dengan nama Raden Ajeng Kartini, pahlawan nasional yang memperjuangkan emansipasi wanita. Kartika dan Kartini sama-sama berjuang meskipun dengan cara yang berbeda.
”Kartini berjuang untuk menaikkan derajat wanita, sedangkan Kartika berjuang untuk hidupnya,” kata Jojor.
Kartika lahir dengan berat sekitar 2,8 kilogram di rumah neneknya di Batang Lobung, Desa Simpang Durian, Lingga Bayu, Mandailing Natal, Sabtu (9/11/2019) pagi. Putri kedua pasangan Beji dan Sri Rahayu Simanjuntak (20) itu lahir dengan kelainan gastroschisis.
Kartika lahir tanpa bantuan tenaga medis. Batang Lobung merupakan salah satu kawasan terpencil dengan akses jalan buruk dan berlumpur. Fasilitas kesehatan memang hanya berjarak sekitar 1 kilometer dari rumah, tetapi sulit ditempuh. Hal itulah yang membuat Sri lebih memilih melahirkan secara mandiri di rumah.
”Putra pertama saya juga lahir di rumah. Sekarang usianya 1 tahun 7 bulan. Kondisinya baik-baik saja,” kata Beji, yang sehari-hari bekerja sebagai tukang dodos di salah satu perusahaan perkebunan sawit di Desa Simpang Durian.
Meskipun lahir dengan baik, kondisi Kartika ternyata tidak baik-baik saja. Ia terlahir dengan kelainan. Keluarga yang kaget, khawatir, dan bingung hendak memotong tali pusar Kartika kemudian memanggil bidan. Kartika akhirnya dibawa ke RSUD Panyabungan, Mandailing Natal.
Baca juga : Bayi dengan Gastrochisis di Mandailing Natal Dirujuk ke Padang
Perjuangan
Perjalanan keluar dari Batang Lobung ke RSUD Panyabungan merupakan perjuangan pertama Kartika Lase. Dalam tangis dan rontaan, ia berjuang melewati jalan-jalan berlumpur dan berbatu. Perjalanan sekitar 90 kilometer itu ditempuh dalam waktu sekitar 3,5 jam dengan mobil.
Dalam tangis dan rontaan, ia berjuang melewati jalan-jalan berlumpur dan berbatu.
Kartika pun sampai di rumah sakit, Sabtu sore. Namun, fasilitas rumah sakit ternyata tidak memadai. Selang beberapa jam, Kartika dirujuk ke RSUP Dr M Djamil. Ia dibawa ke Padang karena jarak tempuhnya lebih dekat sekitar 7 jam daripada ke rumah sakit di Medan, Sumut, sekitar 10 jam.
Kartika sampai di RSUP Dr M Djamil, Minggu (10/11/2019) dini hari. Ia ke Padang bersama ayah dan neneknya. Sementara itu, ibunya masih dalam proses pemulihan setelah melahirkan di kampung halaman.
Baca juga : Keluarga Bayi Gastrochisis asal Mandailing Natal Kesulitan Biaya Pengobatan
Meskipun sudah sampai di Padang, perjuangan Kartika belum usai dan berujung bahagia sebagaimana harapan keluarganya. Jalan terjal dan berliku-liku masih harus dilewati Kartika dan keluarganya, mulai dari persoalan ketersediaan hingga keterbatasan dana.
Dua hari dirawat di Padang, Kartika belum mendapat penanganan lebih lanjut. Operasi untuk memasukkan ususnya urung terlaksana karena ruangan NICU, untuk bayi baru lahir, di RSUP Dr M Djamil penuh. Di rumah sakit itu terdapat 15 ruangan NICU.
”Saya lebih suka yang pasti-pasti. Kalau enggak sanggup, biar dicari rumah sakit lain. Di sini ditahan-tahan sudah tiga hari belum juga dioperasi. Kalau tahu begini, lebih baik dibawa ke Medan sekalian,” kata Jojor.
Menikah muda
Tidak ada yang menyangka Kartika akan lahir dengan kelainan. Padahal, kata Beji, sehari-hari istrinya beraktivitas seperti biasa. Rasanya tidak ada pekerjaan yang menurut Beji berbahaya dilakukan Sri semasa kehamilan. ”Istri saya tinggal di rumah dengan saya dan putra sulung dalam areal perkebunan,” ujar Beji.
Hal senada dikatakan Jojor. Ia tidak melihat hal janggal yang dikerjakan menantunya itu pada masa kehamilan. Namun, dari percakapannya dengan dokter di RSUP Dr M Djamil, kelainan itu kemungkinan besar karena Sri hamil dalam waktu berdekatan dalam usia masih sangat muda.
Baca juga : Bayi "Gastroshisis" lahir di Kawasan Tambang Emas Rakyat Mandailing Natal
Beji dan Sri menikah pada 2016. Waktu itu Beji masih berusia 24 tahun, sedangkan Sri sekitar 17 tahun. Pada kehamilan pertamanya, Sri memang bisa melahirkan putranya dengan normal. Namun, belum sampai putranya itu berusia 7 bulan, Sri sudah hamil kembali.
”Kata dokter, perempuan muda rentan hamil dalam rentang waktu berdekatan. Paling sedikit rentang amannya sekitar tiga tahun agar rahimnya kuat. Biasanya kalau terlalu cepat, bayi gampang keguguran. Kartika termasuk tangguh, tetapi risikonya lahir dengan tidak sempurna,” kata Jojor.
Jojor pun bercerita tentang pengalamannya menikah muda pada usia 18 tahun. Sebelum melahirkan Beji dan tiga anak lainnya, Jojor sedikitnya empat kali mengalami keguguran. Ia pun percaya dengan dugaan dokter.
Memburuk
Senin (11/11) sore, Beji hanya bisa memandang letih pada putri mungilnya itu. Anak perempuan yang sudah ditunggu-tunggu sembilan bulan tak dapat ia timang. Kartika terbaring lemas dalam tempat tidur bayi medis di ruangan khusus lantai II gedung Rawat Inap Kebidanan dan Anak RSUP Dr M Djamil.
Di dalam ruangan itu setidaknya ada sembilan bayi, termasuk Kartika. Ruangan diwarnai oleh tangis bayi. Namun, Kartika terlihat hanya bergerak lemas dan sesekali menggeliat, hampir tanpa suara.
”Kondisinya makin lemas. Beda sekali dengan ketika baru pertama kali sampai. Dalam perjalanan dari Penyabungan, tangisannya keras dan meronta-ronta,” kata Beji.
Mata Beji tak berkaca-kaca saat berkata. Namun, di setiap ucapan yang keluar, bibirnya bergetar. Ia mengaku pola detak jantungnya berbeda ketika memandang putrinya itu. Air matanya ibarat jatuh ke dalam raga.
Menurut dokter, kata Beji, sebagian usus Kartika sudah ada yang rusak dan harus dipotong. Kemungkinan besar, saluran pembuangan kotoran akan pindah ke perut. Bagi Beji, itu tak masalah asalkan putrinya mendapatkan yang terbaik.
Namun, kondisi kesehatan putrinya yang makin menurun membuatnya kalut. Ia hampir putus asa dan pasrah. Beji juga tampak kelimpungan setiap kali menerima telepon dari pihak rumah sakit untuk menandatangani berkas ini dan itu. ”Saya masih berharap ia bisa bertahan dan hidup bersama kami,” kata Beji.
Sementara itu, Pejabat Pembuat Informasi dan Dokumentasi RSUP Dr M Djamil Gustafianof menjelaskan, kondisi kesehatan Kartika memang menurun. Petugas rumah sakit berupaya agar kondisi kesehatannya kembali stabil agar bisa dioperasi.
Menurut Gustafianof, tidak ada maksud dari pihak rumah sakit untuk menahan-nahan proses operasi Kartika. Namun, semua ruang NICU yang ada di RSUP Dr M Djamil penuh sehingga operasi tidak dapat dilaksanakan. Ia pun belum dapat memastikan kapan ruang NICU tersedia kembali. ”Kalau sudah ada, operasinya akan disegerakan,” kata Gustafianof.
Kartika masih terus berjuang menyambung hidup.