Penegakan hukum yang kuat dan rehabilitasi yang menyeluruh merupakan cara untuk mengatasi radikalisme, selain memastikan warga masyarakat untuk saling menghormati satu sama lain.
Oleh
A Tomy Trinugroho dari Singapura
·2 menit baca
SINGAPURA, KOMPAS — Untuk menangani problem radikalisme, cara yang ditempuh Singapura ialah memastikan faktor-faktor pendukungnya teratasi. Hal itu diwujudkan, antara lain, dengan penegakan hukum yang kuat dan rehabilitasi yang menyeluruh.
”Pertama-tama, kami adalah negeri dengan banyak ras dan banyak agama. Hal ini merupakan sesuatu yang penting buat kami. Kemudian, pastikan semua (penganut) agama, semua etnis, saling menghormati satu sama lain,” ujar Menteri Senior dan Menteri Koordinator untuk Keamanan Nasional Singapura Teo Chee Hean kepada sejumlah wartawan Indonesia di Singapura, Senin (11/11/2019).
Selain untuk mendorong sikap saling menghormati antar-penganut agama dan warga yang berbeda ras, hukum dan penegakannya berperan penting dalam upaya memutus radikalisme. Siapa pun yang dinilai sudah bertindak ekstrem akan ditangkap dan ditahan.
Namun, Teo mengingatkan, hal penting lain dalam upaya mengatasi radikalisme ialah rehabilitasi. Mereka yang ditangkap dan ditahan akan menjalani rehabilitasi agar dapat kembali pada ”jalur yang benar”.
Hal penting lain dalam upaya mengatasi radikalisme ialah rehabilitasi.
Dalam hal itu, faktor keluarga berperan krusial sehingga, menurut Teo, mereka dilibatkan dalam proses rehabilitasi. Cara demikian akan membuat warga yang dibebaskan pasca-menjalani rehabilitasi akan berada di lingkungan yang mendukung dirinya untuk tidak mengulangi kesalahan serupa.
Teo mengakui, pada saat ini, siapa pun bisa bertindak ekstrem karena terpapar gagasan yang ekstrem pula via internet. Fenomena itu biasa disebut sebagai lone wolf atau aksi teror yang dilakukan secara sendirian. Hal berbeda, menurut Teo, terjadi pada awal tahun 2000-an saat aksi ekstrem dilakukan secara terorganisasi.
Berita bohong
Singapura juga menghadapi fenomena baru pada era media sosial, yakni maraknya berita bohong (fake news). Hal ini, menurut Menteri Komunikasi dan Informasi Singapura S Iswaran, juga dapat menimbulkan sentimen kebencian pada kelompok tertentu di masyarakat.
Karena itu, Singapura gigih berupaya mengatasi masalah tersebut. Salah satu wujudnya, yakni dibuat regulasi yang bertujuan memastikan berita atau informasi bohong di internet segera dikoreksi. Instansi di Singapura, menurut Iswaran, pada Senin kemarin, dapat meminta agar dilakukan koreksi terhadap informasi yang memaparkan fakta tidak benar.
Singapura juga menghadapi fenomena baru pada era media sosial, yakni maraknya berita bohong (fake news).
Koreksi dilekatkan pada informasi bohong tersebut. ”Model koreksi lebih baik (daripada pencopotan informasi di internet) karena membuat masyarakat teredukasi,” jelasnya kepada wartawan Indonesia.
Meski demikian, ia menyatakan, dalam kasus-kasus tertentu, langkah pencabutan informasi bohong dapat segera dilakukan tanpa harus melalui mekanisme koreksi terlebih dahulu.