”Passing grade” seleksi CPNS 2019 yang lebih rendah dari seleksi CPNS 2018 dikhawatirkan menurunkan kualitas birokrasi. Ada banyak alternatif yang bisa dipilih pemerintah selain menurunkan ambang batas kelulusan.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu dan Sharon Patricia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ambang batas kelulusan atau passing grade untuk seleksi calon pegawai negeri sipil 2019 diturunkan. Ini berpotensi menurunkan kualitas birokrasi dan pelayanan publik. Padahal, ada banyak alternatif yang bisa dipilih pemerintah selain menurunkan ambang batas.
Penurunan ambang batas seleksi calon pegawai negeri sipil (CPNS) 2019 diatur dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Permenpan dan RB) Nomor 24 Tahun 2019 tentang Nilai Ambang Batas Seleksi Kompetensi Dasar Pengadaan CPNS Tahun 2019. Regulasi tersebut ditandatangani Menpan dan RB Tjahjo Kumolo, Senin (11/11/2019) malam.
Dalam Permenpan dan RB No 24/2019 diatur bahwa seleksi kompetensi dasar CPNS 2019 meliputi tes karakteristik pribadi (TKP), tes inteligensia umum (TIU), dan tes wawasan kebangsaan (TWK). Ambang batas penilaian untuk TKP sebesar 126, untuk TIU sebesar 80, dan untuk TWK sebesar 65.
Ambang batas tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan ambang batas penilaian dalam seleksi CPNS 2018. Berdasarkan Permenpan dan RB No 37/2018 tentang Nilai Ambang Batas SKD Pengadaan CPNS Tahun 2018, ambang batasuntuk TKP adalah 143, untuk TIU 80, dan untuk TWK 75.
”Nilai TKP diturunkan 1 standar deviasi (SD), nilai TWK diturunkan 2 SD karena jumlah soal berkurang, sedangkan nilai TIU tetap dengan penambahan jumlah soal. Nilai ini sama dengan passing grade tahun 2015,” kata Kepala Badan Kepegawaian Negara Bima Haria Wibisana saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (12/11/2019).
Selain itu, ambang batas diturunkan karena kualitas soal ditingkatkan. Soal ini telah melalui proses pengujian di sejumlah daerah. Kemudian, tingkat kesulitan soal bakal dibuat berbeda di setiap daerah. Namun, dia tak bersedia menjelaskan lebih lanjut ihwal perbedaan tersebut.
Faktor lain yang membuat ambang batas diturunkan adalah adanya kekhawatiran ambang batas penilaian yang terlalu tinggi akan menyulitkan sejumlah instansi dalam merekrut pegawai.
”(Penurunan) ini untuk menjaga agar jumlah tiga kali formasi, terutama di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T) bisa terpenuhi,” katanya.
Sebagaimana terjadi saat seleksi CPNS 2018, banyak instansi daerah yang gagal memperoleh pegawai karena tidak ada pelamar yang bisa memenuhi ambang batas kelulusan.
”Jadi, kemarin itu ada beberapa kabupaten/kota yang pelamarnya tidak ada yang lulus, kan, kasihan juga. Kami butuh pegawai, tetapi di sisi lain tidak ada yang lolos karena passing grade ketinggian,” kata Tjahjo Kumolo.
Sekalipun ambang batas diturunkan, dia menjamin tidak akan mengurangi kualitas dari CPNS yang diterima nantinya.
Ancam kualitas
Menurut Guru Besar Ilmu Administrasi Universitas Indonesia Eko Prasodjo, penurunan ambang batas dipilih pemerintah karena standar pendidikan yang belum merata di semua daerah.
Namun, dia mengingatkan, penurunan bisa berdampak negatif pada kualitas birokrasi. Dampaknya bisa puluhan tahun. ”Ini, kan, soal kualitas. Kalau jelek, mereka juga yang akan membuat kebijakan publik untuk masyarakat, manajer untuk pelayanan publik di masyarakat. Dampaknya tentu akan luas dan jangka panjang, bisa puluhan tahun,” tutur Eko.
Oleh karena itu, ke depan, alih-alih menurunkan ambang batas, pemerintah lebih baik jemput bola ke berbagai perguruan tinggi, mencari mahasiswa-mahasiswa terbaik dan mengajak mereka untuk menjadi PNS.
Solusi lain, menyelenggarakan pameran karier PNS di perguruan tinggi. Dalam agenda tersebut, pemerintah dapat menjelaskan ihwal kerja dan fungsi setiap instansi sehingga merangsang mahasiswa untuk menjadi PNS.
”Dengan cara itu, kita bisa menjaring orang-orang terbaik untuk mendaftar CPNS. Saat ini, kan, banyak yang berpikir mendaftar swasta itu lebih menjanjikan. Alternatif lain, membuat nota kesepahaman dengan universitas bahwa lulusan terbaik ditawarkan untuk mendaftarkan diri dengan jalur cepat,” tutur Eko.