Dampak kenaikan iuran Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) yang berlaku mulai awal 2020 antara lain penurunan kelas, peningkatan jumlah peserta nonaktif, dan keengganan mendaftar sebagai peserta.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kenaikan iuran Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat mulai awal 2020 harus berdampak pada peningkatan kualitas layanan kesehatan. Langkah lain yang bisa ditempuh untuk mencegah dampak negatif dari kenaikan iuran adalah dengan memberikan bonus bagi mereka yang patuh membayar iuran.
Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Tubagus Achmad Choesni menilai, dampak penyesuaian iuran Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) sudah bisa dipetakan. Mulai dari penurunan kelas, peningkatan jumlah peserta nonaktif, hingga keengganan mendaftar sebagai peserta.
”Untuk itu, kenaikan pada awal tahun harus segera dibarengi dengan perbaikan kualitas yang terlihat langsung oleh masyarakat,” katanya dalam Forum Merdeka Barat 9 bertema ”BPJS Kesehatan: Mengejar Pelayanan Prima” di Jakarta, Rabu (13/11/2019).
Perbaikan kualitas ini salah satunya bisa ditempuh dengan tepat waktu membayar klaim rumah sakit. Dengan membayar tepat waktu, rumah sakit diharapkan bisa memberikan pelayanan yang lebih baik bagi peserta JKN-KIS. Yang juga penting, jika ada keluhan dari peserta JKN-KIS terkait pelayanan kesehatan dengan JKN-KIS, harus segera direspons.
”Kualitas pelayanan yang lebih baik akan menjamin keberlanjutan program. Jika ada yang mengajukan komplain, segera ditindaklanjuti,” katanya.
Selain perbaikan kualitas, pemberian bonus bisa jadi opsi lain untuk mengantisipasi dampak negatif dari kenaikan iuran. Bonus dimaksud diberikan kepada peserta yang yang patuh membayar iuran. Bentuknya bisa berupa potongan iuran bagi peserta pembayar iuran tahunan.
Direktur Perluasan dan Pelayanan Peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Andayani Budi Lestari menyadari, efek dari kenaikan iuran berpotensi mendorong peserta JKN-KIS untuk turun kelas.
BPJS Kesehatan tak bisa melarang, justru mempersilakan peserta JKN-KIS jika ingin turun kelas karena keterbatasan kemampuan finansial.
”Tadinya, turun kelas harus lewat satu tahun, sekarang kami siapkan jika ada masyarakat yang ingin turun kelas sebelum satu tahun,” katanya. Mutasi kelas ini bisa pula dilakukan melalui aplikasi Mobile JKN.
Kalaupun turun kelas, Andayani menjamin pelayanan yang didapatkan tidak ikut turun kelas, kecuali fasilitas untuk rawat inap. BPJS Kesehatan juga sudah berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk mengantisipasi kecukupan kapasitas tempat tidur bagi peserta kelas III.
Terkait dengan penyesuaian iuran JKN-KIS, dia menyatakan, besaran iuran yang baru masih lebih rendah dari perhitungan biaya pelayanan kesehatan per segmen. Untuk penerima bantuan iuran (PBI), besarannya seharusnya sekitar Rp 32.000, tetapi pemerintah membayarkan sejumlah Rp 42.000. Sisa ini yang digunakan untuk menyubsidi peserta lain.
Sementara itu, untuk pekerja bukan penerima upah (PBPU) kelas I yang naik menjadi Rp 160.000, seharusnya perhitungan biaya layanan kesehatan mencapai sekitar Rp 274.000. Bagi kelas II yang naik menjadi Rp 110.000, seharusnya sekitar Rp 190.000, sedangkan kelas III yang naik menjadi Rp 42.000, seharusnya sekitar 131.000.
”Pemerintah telah memberikan subsidi bagi PBPU yang jumlah pesertanya mencapai 35 juta jiwa,” ujar Andayani.
Tunggu penyesuaian
Direktur Pelayanan Kesehatan Rujukan pada Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan Kemenkes Tri Hesty Widyastoeti mengatakan, perbaikan kualitas layanan kesehatan seharusnya tidak perlu menunggu ada penyesuaian iuran JKN-KIS.
Pelayanan yang baik sudah sepatutnya diberikan semua rumah sakit ataupun pusat layanan kesehatan lainnya. ”Mutu layanan tidak perlu disangkutpautkan dengan kenaikan iuran. Untuk mengukurnya, saat ini bisa dilihat melalui akreditasi dan indikator mutu,” ujarnya.
Hesty menyebutkan, pengawasan pelayanan JKN-KIS tidak bisa hanya mengandalkan Kemenkes dan BPJS Kesehatan semata. Terlebih, saat ini ada lebih dari 2.000 rumah sakit penyedia JKN-KIS. Dibutuhkan pengawasan juga dari pemerintah daerah.
”Rumah sakit tersebut ada yang dikelola pemerintah daerah, TNI, Polri, BUMN, hingga swasta,” katanya.
Hesty menyadari, kesenjangan kualitas masih terjadi antara rumah sakit di daerah satu dan daerah lain. Untuk itu, Kemenkes terus mendukung perbaikan tersebut dengan menyuplai dana alokasi khusus ke daerah-daerah untuk pemenuhan fasilitas kesehatan.