Dari Anggaran Kecil hingga RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati mendapat mandat dari Presiden Joko Widodo agar tidak bekerja monoton serta harus ada inovasi dan kreativitas.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·5 menit baca
Presiden Joko Widodo memercayakan jabatan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak kepada I Gusti Ayu Bintang Darmawati. Kendati sosok pemimpin berbeda, sesungguhnya tidak ada yang berubah dari situasi ataupun kondisi kelembagaan dari Kementerian Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Statusnya masih tetap seperti dalam Kabinet Kerja jilid I, yakni kementerian koordinatif (kluster tiga) dengan anggaran kecil.
Bahkan, untuk tahun 2020, pagu anggaran Kementerian Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) hanya Rp 273 miliar atau lebih sedikit dari pagu anggaran KPPPA tahun 2015 sebesar Rp 217,7 miliar saat Yohana Susana Yembise memulai masa jabatannya sebagai Menteri PPPA di Kabinet Kerja Jilid I.
Pada tahun kedua kepemimpinan Yohana, pagu anggaran KPPPA melambung lebih dari tiga kali lipat, mencapai Rp 769,3 miliar. Namun, tiga tahun terakhir anggaran KPPPA berangsur-angsur turun menjadi Rp 573,1 miliar (2017), Rp 553,8 miliar (2018), Rp 236,6 miliar (2019).
Dengan anggaran yang rendah, I Gusti Ayu Bintang Darmawati yang akrab disapa Bintang menyadari, dirinya harus bekerja keras dan bekerja cepat sebagaimana tiga arahan Presiden melantik dirinya.
”Jangan sekali-kali bekerja monoton, harus ada inovasi, dan kreativitas dengan situasi dan kondisi yang ada,” ujar Bintang, mengutip arahan Presiden, saat bertemu dengan sekretaris kementerian, deputi, dan staf ahli di KPPPA, Rabu (23/10/2019), beberapa jam setelah dilantik Presiden.
Jangan sekali-kali bekerja monoton, harus ada inovasi, dan kreativitas dengan situasi dan kondisi yang ada.
Pada pertemuan pertama dengan pejabat di KPPPA, Bintang langsung diberi tahu bahwa pagu anggaran yang dimiliki KPPPA sangat kecil. ”Hanya sebesar Rp 273 miliar. Ini pun total setelah dikurangi dengan biaya untuk operasional, gaji, dan lain-lain sekitar Rp 103 miliar, tinggal sekitar Rp 170 miliar,” ujar Sekretaris KPPPA Pribudiarta.
Adapun sisa anggaran tersebut untuk tiga alokasi, yakni program kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan, program perlindungan anak, serta program partisipasi lembaga masyarakat dalam pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Jumlah tersebut merupakan anggaran untuk PPPA seluruh Indonesia dari Aceh sampai Papua.
Padahal, dalam Rencana Strategis 2020-2024, KPPPA mendapat mandat lima pekerjaan utama, yakni mewujudkan kesetaraan jender dan perlindungan hak perempuan, meningkatkan pemenuhan hak dan perlindungan khusus anak, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan PPPA, meningkatkan kualitas keluarga, dan membangun sistem layanan perlindungan bagi perempuan dan anak korban kekerasan.
Sejumlah indikator kinerja utama yang harus dicapai KPPPA antara lain Indeks Kesetaraan Gender (Indeks KG), Indeks Perlindungan Anak (Indeks PA), Indeks Ketahanan Keluarga (Indeks KK), dan Indeks Partisipasi Lembaga Masyarakat dalam Kesetaraan Gender dan Perlindungan Anak, serta mewujudkan proporsi perempuan dan anak korban kekerasan yang mendapat layanan dan persepsi masyarakat terhadap kekerasan perempuan dan anak.
Melihat kondisi anggaran KPPPA yang rendah, bekerja sama dengan kementerian/lembaga serta organisasi masyarakat sipil/lembaga swadaya masyarakat (LSM) dinilai salah satu cara meningkatkan kinerja KPPPA ke depan.
”Saya yakin kita tidak bisa kerjakan sendiri, kita perlu bergandengan dengan kementerian/lembaga ataupun LSM yang saya lihat harus menjadi teman dekat kita untuk menangani permasalahan permasalahan ini,” papar Bintang.
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Pada masa kepemimpinan Yohana, KPPPA berhasil mendorong DPR melakukan revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sehingga batas minimal usia perkawinan anak dinaikkan menjadi 19 tahun.
Yohana juga mencanangkan sejumlah program, salah satunya adalah Three Ends untuk mengakhiri tiga masalah utama, yakni mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak, mengakhiri perdagangan manusia, serta mengakhiri kesenjangan ekonomi.
Namun, saat ini masih ada sejumlah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh Bintang, antara lain memperjuangkan sejumlah rancangan undang-undang (RUU) yang terkait perlindungan perempuan dan anak. Salah satunya adalah RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Yohana bahkan menitipkan kepada Bintang untuk melanjutkan proses RUU tersebut, termasuk RUU Kesetaraan Jender dan beberapa RUU lainnya.
Belajar dari dinamika politik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang cukup alot di DPR periode 2014-2019, Bintang diharapkan bisa melanjutkan proses RUU tersebut pada masa periode DPR yang baru (2019-2024). Sebab, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sangat dinantikan korban kekerasan seksual.
Kendati berhasil mendorong revisi UU Perkawinan, masih ada pekerjaan besar yang harus dikerjakan KPPPA, yakni memastikan implementasi UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, agar benar-benar dijalankan oleh kementerian/lembaga terkait, pemerintah daerah, dan masyarakat.
Harapan terhadap Bintang juga datang dari kalangan aktivis perempuan, untuk memprioritaskan perlindungan kepada pekerja rumah tangga (PRT) dan mendorong partisipasi politik perempuan dalam pengambilan keputusan pembangunan.
Direktur Lingkaran Pendidikan Alternatif untuk Perempuan (Kapal Perempuan) Misiyah berharap Bintang memastikan internal KPPPA dari tingkat nasional hingga kabupaten/kota memiliki kapasitas dalam menjalankan mandat untuk menyusun dan menerapkan kebijakan, anggaran, serta program kesetaraan dan keadilan jender.
”Sebagai leading sector pengarusutamaan jender, saatnya KPPPA memastikan kementerian/lembaga lainnya mengintegrasikan perspektif jender dalam perencanaan, penganggaran, dan monitoring dan evaluasi atas capaian-capaiannya,” kata Misiyah.
Ke depan, untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerja, KPPPA tidak bisa bergerak sendiri, tetapi harus berdialog yang intensif dan membangun kolaborasi dengan masyarakat sipil, khususnya gerakan perempuan untuk penghapusan segala bentuk diskriminasi kekerasan berbasis jender.
”Kementerian PPPA harus sangat sering berkomunikasi intens, berdiskusi secara berkala, minimal sebulan sekali, agar mendapatkan informasi-informasi terbaru dalam melakukan perencanaan kegiatan-kegiatan PPPA,” ujar Dewan Pembina Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) Atashendartini Habsjah.
Kementerian PPPA harus sangat sering berkomunikasi intens, berdiskusi secara berkala, minimal sebulan sekali.
Sejumlah aktivis yang tergabung dalam Gerakan Perempuan Peduli KPPPA pada 5 September 2019 juga menyampaikan pentingnya revitalisasi KPPPA. Program pemberdayaan dan penguatan perempuan menjadi krusial mengingat masih banyaknya masalah perempuan Indonesia, seperti tingginya angka perkawinan anak perempuan, tingginya angka kematian ibu (AKI), stunting (tengkes), penggusuran ruang hidup perempuan karena industri ekstraksi, nasib petani dan buruh migran perempuan, serta diskriminasi terhadap perempuan terutama dalam konteks menguatnya politisasi identitas.
Oleh karena itu, periode baru kepemimpinan di KPPPA diharapkan bisa memastikan ruang hidup perempuan dalam hal akses, menerima manfaat yang setara, membuka ruang partisipasi, dan pelibatan perempuan untuk mengontrol jalannya pembangunan adalah modalitas kuat untuk mencapai sumber daya manusia yang lebih berkualitas dan toleran di masa depan.
Meskipun anggarannya kecil, statusnya kementerian koordinatif, ke depan setidaknya KPPPA diharapkan mampu menjawab berbagai tantangan yang dihadapi perempuan Indonesia, termasuk membangun sistem layanan perlindungan bagi perempuan dan anak korban kekerasan yang hingga kini belum terwujud.