Puluhan musisi dari 11 negara berkolaborasi menggelar pertunjukan musik. Berbeda dengan kerja sama politik, dengan musik orang bisa cepat berbaur, saling memahami.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·4 menit baca
Puluhan musisi dari 11 negara berkolaborasi menggelar pertunjukan musik. Berbeda dengan kerja sama politik, dengan musik orang bisa cepat berbaur, saling memahami.
DENPASAR, KOMPAS — Dalam waktu yang sangat singkat, puluhan musisi dari 11 negara mampu berkolaborasi menyuguhkan Asia Traditional Orchestra, sebuah orkestra perpaduan berbagai alat musik tradisional dari negara-negara ASEAN dan Korea Selatan. Musik terbukti efektif sebagai alat pemersatu.
Kerja sama politik seringkali membutuhkan pendekatan bertahap dan proses yang lama. Namun, dengan musik, orang dari berbagai negara bisa cepat berbaur, saling memahami, dan kemudian bermusik bersama dengan penuh keceriaan.
Itulah yang dilakukan para musisi dari 10 negara ASEAN ditambah Korea Selatan saat menggelar tiga kali konser di Jakarta dan Bali dua pekan terakhir. Orkestra gabungan bernama Asia Traditional Orchestra (ATO) ini menggelar konser pertama, Rabu (6/11/2019) di Balai Sarbini, kemudian disusul, Kamis (7/11/2019), di Hall ASEAN, Jakarta, dan terakhir, Selasa (12/11/2019) malam di Gedung Ksirarnawa - Art center Denpasar, Bali.
Dalam orkestra ini, setiap negara mengirim komposer, musisi, dan penyanyi/penari. Mereka mengikuti beberapa lokakarya musik di Jakarta dan Bali yang kemudian diwujudkan dalam proyek kolaborasi keragaman musik tradisional dari berbagai negara.
Mereka mengikuti beberapa lokakarya musik di Jakarta dan Bali yang kemudian diwujudkan dalam proyek kolaborasi keragaman musik tradisional dari berbagai negara.
Di Bali, ATO diperkuat 33 musisi orkestra, dua konduktor, dua penyanyi, enam pemain gamelan Bali, tiga penari Papua, empat penari Bali, dan sembilan penari Kecak. Sebagai pembuka, para mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar menyuguhkan tarian selamat datang yang diiringi permainan gamelan 30-an mahasiswa.
Setelah beberapa kata sambutan, ATO langsung menampilkan lagu tradisional Indonesia yang dimainkan secara medley di bawah panduan konduktor Indonesia, Vonty Sitrona Nahan. Dari nuansa Indonesia, penonton kemudian diajak menikmati warna musik Korea Selatan di bawah panduan konduktor Han Sang Il yang menyuguhkan dua lagu, “Sail off The Boat” dan “My Love Mongryong”.
Berikutnya, Vonty kembali naik ke podium mengajak para musisi memainkan repertoar dua lagu tradisional asal Papua dan Bali, yaitu “Yamko Rambe” serta “Janger”. Suguhan dua lagu ini menjadi semakin menarik dengan hadirnya tiga penari Papua serta penampilan gamelan Bali dari ISI Denpasar.
“Kami bertemu baru beberapa hari. Di Jakarta kami berlatih tiga hari dan di Bali juga tiga hari. Di dua kota ini, kami mencoba berkolaborasi dengan para pemain gamelan Bali,” papar Hong Sung Yeon Produser ATO, Selasa (12/11/2019), di Denpasar, Bali.
Kami bertemu baru beberapa hari. Di Jakarta kami berlatih tiga hari dan di Bali juga tiga hari.
Di ujung konser, Han Sang Il kembali memandu para musisi untuk memainkan komposisi “Shinmodeum”. Rangkaian konser ditutup lagu “One Asia” yang merupakan gabungan lagu yang mewakili budaya setiap negara ASEAN serta Korea Selatan.
Kolaborasi dengan “Orkestra” Bali
Setiap musisi ASEAN dan Korea Selatan membawa alat musik tradisional masing-masing. Dua musisi Brunei Darussalam, Mohammad Ubaidillah dan Mohd Norakmal misalnya, memainkan alat musik gambus dan gendang labik. Hak Tokla dan Choun Chanthon dari Kamboja memainkan Roneat Aet dan Tror So Tauch. Lerkiat Mahavinijchaimontri dan Amorn Puttanu dari Thailand memainkan Saw Ou dan Ranat Ek. Sementara itu, para musisi Korea Selatan juga memainkan berbagai alat musik tradisional mereka, seperti Sogeum, Haegeum, dan Ajaeng.
Di Bali, ATO membaur dalam kolaborasi musik bersama para pemain gamelan Bali dari ISI Denpasar. Gamelan Bali yang juga merupakan bentuk orkestra perpaduan alat musik pukul, tiup, dan gesek mudah sekali masuk dalam irama musik ATO.
“Gamelan Bali selalu lestari di segala zaman karena telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat Bali. Gamelan selalu populer dan diminati wisatawan. Banjar-banjar yang tersebar di seluruh Bali menjadi tempat latihan bermain gamelan setiap hari,” kata Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati.
Gamelan Bali selalu lestari di segala zaman karena telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat Bali.
Penyelenggaraan konser ATO turut didukung Korean Foundation yang memfasilitasi sejumlah tempat di Jakarta sebagai lokasi pertunjukan. Sedangkan Indonesia melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memfasilitasi sejumlah lokakarya di Jakarta dan Bali.
Selama ini, para seniman yang terlibat dalam berbagai konser ATO bersal dari negara-negara ASEAN dan Korea Selatan. “Dalam konser di Jakarta dan Bali ini kami mau menunjukkan bahwa Indonesia sangat kaya akan keberagaman seni budaya sehingga momen ini merupakan kesempatan untuk memperkenalkan dan menyajikan sekelumit dari keberagaman Indonesia,” tambah Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid.
Dengan adanya forum ini, menurut Hilmar Indonesia secara khusus meminta dukungan penuh kepada Senior Official Meeting of Culture and Arts (SOMCA) agar konser ATO dimasukkan dalam regulasi kerjasama ASEAN dengan Korea Selatan. Harapannya, even ini bisa digelar kembali secara berkelanjutan di negara-negara ASEAN lainnya.
ATO terbentuk pada Mei 2009 silam pada acara ASEAN-Republic of Korea Commemorative Summit di Pulau Jeju, Korea Selatan. Misi dari ATO adalah mempromosikan pertukaran kebudayaan antara musisi dan seniman tradisi di kawasan Asia serta menggelar berbagai macam proyek pelestarian dan pengembangan musik tradisi di kawasan Asia.