Pemerintah melirik pembangkit listrik tenaga nuklir sebagai alternatif penghasil listrik dengan emisi yang rendah, tetapi mampu memberikan energi dalam jumlah banyak sekaligus stabil.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
DEPOK, KOMPAS — Pemerintah melirik pembangkit listrik tenaga nuklir sebagai alternatif penghasil listrik dengan emisi yang rendah, tetapi mampu memberikan energi dalam jumlah banyak sekaligus stabil. Apalagi, untuk mengejar agar Indonesia menjadi negara berekonomi maju yang lepas dari jebakan pendapatan kelas menengah, produktivitas sektor industri beserta usaha mikro, kecil, dan menengah harus digenjot melalui peningkatan listrik produksi.
Hal ini mengemuka dalam seminar ”Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN), Sebuah Keniscayaan” yang diadakan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia (MIPA UI) bersama Ikatan Alumni MIPA UI di Depok, Jawa Barat, Rabu (13/11/2019).
Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) Anhar Riza Antariksawan menjelaskan, perkembangan teknologi nuklir global sudah sangat cepat. Masyarakat umumnya masih dihantui dengan kejadian buruk kebocoran reaktor nuklir seperti di Chernobyl, Uni Soviet, pada tahun 1986 dan di Fukushima, Jepang, pada tahun 2011 akibat gempa bumi dan tsunami.
Masyarakat umumnya masih dihantui dengan kejadian buruk kebocoran reaktor nuklir seperti di Chernobyl, Uni Soviet, pada tahun 1986 dan di Fukushima, Jepang, pada tahun 2011 akibat gempa bumi dan tsunami.
”Keketatan standar keamanan dan ketahanbencanaan PLTN global meningkat jauh. Reaktor generasi III dan IV sekarang jauh berbeda dari satu dekade lalu,” paparnya.
Nuklir bisa masuk ke dalam energi terbarukan karena sebagian dari limbahnya masih bisa didaur ulang untuk dijadikan bahan bakar. Khusus di Indonesia, melihat kondisi geografis yang berupa kepulauan, Anhar mengatakan bisa memilih tipe reaktor moduler kecil (small modular reactor) yang biaya operasionalnya tidak terlalu besar.
Lebih lanjut, Deputi Bidang Teknologi Energi Nuklir Batan Suryantoro menjabarkan, dari segi limbah, PLTN jauh lebih bisa ditampung dibandingkan dengan PLTU yang menggunakan batubara dengan risiko emisi karbon besar dan mencemari udara. Data Badan Tenaga Atom Internasional (IEAE) mengungkapkan, batubara merupakan penyumbang limbah bahan bakar PLT terbesar, diikuti oleh minyak, gas alam, kayu, nuklir, dan tenaga surya.
Batubara merupakan penyumbang limbah bahan bakar PLT terbesar, diikuti oleh minyak, gas alam, kayu, nuklir, dan tenaga surya.
Di Indonesia, 70 persen hingga 80 persen limbah reaktor nuklir memiliki aktivitas radiasi rendah hingga sedang. Limbah itu kemudian diolah, disimpan sementara, baru dibuang ke tempat pembuangan khusus di dalam wilayah reaktor. Pilihan kedua ialah mengembalikan limbah yang telah diolah ke negara asal. Indonesia sudah melakukannya pada tahun 1999, 2004, dan 2009.
”Biasanya apabila ada teknologi yang lebih tinggi, dari limbah tersebut dipisahkan zat plutonium 239 dan uranium untuk digunakan kembali sebagai bahan bakar reaktor,” papar Suryantoro.
Belum cukup
Ketua Tim Pengembangan PLTN Perusahaan Listrik Negara (PLN) Suroso Isnandar menjelaskan, energi baru dan terbarukan (EBT) seperti tenaga surya, angin, panas bumi, dan air terus dikembangkan. Namun, sejauh ini tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan listrik nasional.
Indonesia membutuhkan listrik sebanyak 56.000 megawatt untuk 10 tahun ke depan, sementara EBT baru bisa menghasilkan 19.700 megawatt untuk masa satu dekade nanti. PLT EBT di satu sisi tetap harus mengembangkan diri agar kompetitif. Di sisi lain, PLTN bisa juga mulai diolah karena semakin banyak sumber energi beremisi rendah selain tidak berat bagi lingkungan, juga menambah arus listrik ke masyarakat.
Indonesia membutuhkan listrik sebanyak 56.000 megawatt untuk 10 tahun ke depan, sementara EBT baru bisa menghasilkan 19.700 megawatt untuk masa satu dekade nanti.
”Konsumsi listrik Indonesia jika dibagi per kepala sangat rendah, masih 900 kilowatt. Berbeda dengan Malaysia yang sudah hampir 3.000 kilowatt per kepala dalam satu tahun. Artinya, industri belum banyak berkembang karena salah satu pertanda berkembangnya industri adalah pemakaian alat-alat listrik,” tutur Suroso.
Murah dan bersih
Menteri Riset dan Teknologi Bambang Brodjonegoro mengatakan, tantangan nomor satu ialah mempertemukan kebutuhan energi yang murah sekaligus bersih. Pengurangan emisi sudah bertahap dilakukan dengan cara mengurangi deforestasi, mengoptimalkan pemakaian lahan produksi yang ada agar tidak ada pembukaan lahan baru, mengurangi pemakaian kendaraan pribadi dan berbahan bakar minyak, serta pengembangan EBT.
Namun, untuk mengejar target lepas dari status negara berpendapatan menengah pada tahun 2030, produktivitas industri dan UMKM harus digalakkan. Keberadaan listrik saja tidak cukup karena harus ada jaminan arusnya lancar, stabil, dan tidak mati mendadak karena industri dan UMKM bisa lumpuh jika tidak ada pasokan listrik yang pasti.
”Indonesia memproduksi 400 juta ton batubara per tahun. Stok hanya cukup untuk 50 tahun ke depan, itu pun kalau dunia tidak mengultimatum penghentian pemakaian batubara,” ucap Bambang.
Indonesia memproduksi 400 juta ton batubara per tahun. Stok hanya cukup untuk 50 tahun ke depan.
Gas bumi depositnya hanya bisa memenuhi kebutuhan 50 tahun ke depan dan minyak bumi bahkan lebih cepat, yaitu 10-13 tahun lagi. Harus segera dilakukan pengalihan sumber energi pembangkit listrik.
Pada tahun 2010-2013 diadakan studi kelayakan wilayah dan berhasil memetakan daerah-daerah yang cocok untuk dibangun PLTN, yakni Bangka (Sumatera Selatan) yang memiliki residu zat torium dari bekas tambang timah. Zat ini berpotensi untuk menjadi bahan bakar reaktor PLTN. Selain itu, wilayah yang masuk daftar juga Muria (Jawa Tengah), Batam (Kepulauan Riau), Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur.
Setelah dianalisis lebih lanjut, wilayah yang tidak memiliki risiko letusan gunung berapi, gempa, dan tsunami adalah bagian timur Sumatera, bagian selatan Sulawesi, dan Kalimantan.
”Tentunya harus dipikirkan wilayah yang tidak mengganggu perkebunan rakyat, tanah adat, dan permukiman sehingga tidak ada konflik lahan,” kata Bambang.