Pemerintah Provinsi Aceh mengevaluasi izin usaha pertambangan yang telah diberikan kepada perusahaan. Dari 138 izin usaha pertambangan yang pernah dikeluarkan, sebanyak 98 izin dicabut dan 13 izin tidak diperpanjang.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Pemerintah Provinsi Aceh mengevaluasi semua izin usaha pertambangan yang telah diberikan kepada perusahaan. Dari 138 izin usaha pertambangan yang pernah dikeluarkan, sebanyak 98 izin dicabut dan 13 izin tidak diperpanjang. Terhitung hingga November 2019, tersisa 27 izin.
Dalam diskusi terfokus ”Perizinan Tambang dalam Kawasan Hutan”, di Banda Aceh, Rabu (13/11/2019), Kepala Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara Dinas Energi Sumber Daya Mineral Aceh Said Faisal mengatakan, banyak perusahaan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) yang tidak melakukan kegiatan. Persoalan itu terjadi lantaran penerbitan izin di bawah tahun 2014 oleh bupati/wali kota.
Diskusi digelar oleh Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) Aceh bekerja sama dengan Usaid Lestari. Pembicara lainnya adalah Kepala Divisi Advokasi Gerakan Anti Korupsi Aceh Hayatuddin Tanjung dan Kepala Seksi Inventarisasi Hutan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh Zulhasridsyah.
Said mengatakan, saat tata kelola tambang diserahkan kepada provinsi, semua IUP yang pernah dikeluarkan pemkab/pemkot dievaluasi. Pihaknya menemukan banyak perusahaan tidak melakukan kegiatan meski izin telah diberikan.
”Pada 2014, pemerintah mengeluarkan jeda izin tambang untuk mengevaluasi izin yang ada. Akhirnya, kami mencabut IUP yang tidak aktif,” kata Said.
Selain tidak aktif, perusahaan tidak memenuhi kewajiban, seperti tidak membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan tidak melaporkan aktivitas perusahaan secara berkala. Saat ini, ada Rp 41 miliar PNBP yang belum dibayar oleh sejumlah perusahaan tersebut. ”Saat ditagih malah kantornya tidak jelas lagi di mana,” kata Said.
Saat mengatakan, setelah dievaluasi, kini yang tersisa hanya 27 IUP. Namun, hanya dua perusahaan yang melakukan produksi, sebanyak 25 perusahaan masih melakukan proses menuju produksi.
Saat ditagih malah kantornya tidak jelas lagi di mana.
Said mengatakan, untuk menata tambang dengan baik, Pemprov Aceh memperketat penerbitan izin tambang. Perusahaan harus memenuhi kewajiban, seperti profil perusahaan harus terbuka, penempatan biaya reklamasi, pembayaran iuran/royalti, penyaluran dana sosial, dan komitmen pemberdayaan warga.
Evaluasi dilakukan secara berkala; jika perusahaan pemegang izin tidak melakukan kewajiban, izin akan dicabut. ”Kita menginginkan pertambangan ada kontribusi positif bagi daerah dan warga,” kata Said.
Hayatuddin Tanjung mengatakan, buruknya tata kelola tambang berawal dari diobralnya izin pemkab/pemkot di bawah tahun 2014. Hayatuddin menemukan beberapa perusahaan menggunakan IUP untuk mencari modal di pasar saham.
”Izin itu digunakan untuk mencari modal, seperti broker, artinya perusahaan ini tidak punya uang untuk melakukan aktivitas pertambangan,” kata Hayatuddin.
Gerak Aceh mendorong Pemprov Aceh untuk mencabut IUP bermasalah dan mengawal proses penerbitan izin selanjutnya. Menurut Hayatuddin, ketika kewenangan pertambangan berada pada pemprov, inilah saatnya untuk menata kembali.
Izin itu digunakan untuk mencari modal, seperti broker, artinya perusahaan ini tidak punya uang untuk melakukan aktivitas pertambangan.
”Sampah-sampah dari kabupaten/kota disapu dibersihkan oleh provinsi karena banyak sekali izin dari kabupaten/kota yang bermasalah,” ujar Hayatuddin.
Zulhasridsyah menuturkan, pihaknya di Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh melakukan telaah dengan teliti setiap pengajuan izin pinjam kawasan hutan untuk pertambangan. Khusus pengajuan izin dalam kawasan hutan lindung diperketat sebagai bentuk menjaga kelestarian alam.
”Sekarang yang justru membuat kami repot adalah tambang ilegal dalam kawasan. Kami kewalahan untuk menertibkan,” kata Zulhasridsyah.