Bom Bunuh Diri, Indonesia Dinilai Tak Mengindahkan Kematian Pimpinan NIIS
Kematian Pimpinan NIIS al-Baghdadi telah menghidupkan sel-sel teroris. Kematiannya itu seharusnya disadari akan memicu tindakan-tindakan lain di sejumlah negara, termasuk Indonesia. Bukan malah tak diindahkan.
Oleh
SHARON PATRICIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ledakan yang diduga berasal dari bom bunuh di Markas Kepolisian Resor Kota Medan, Sumatera Utara, menjadi peringatan keras bagi Indonesia untuk lebih cermat dan fokus mencegah terjadinya teror di kemudian hari. Peringatan ini sebenarnya sudah dapat diindikasikan sejak kematian pimpinan Negara Islam Irak dan Suriah atau NIIS, Abu Bakr al-Baghdadi.
Ledakan terjadi Rabu (13/11/2019) pagi pukul 08.45 di halaman Markas Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes) Medan. Bom bunuh diri diduga dilakukan seorang Mahasiswa yang mengenakan jaket pengojek daring, Rabbial Muslim Nasution (24).
Pengajar Kajian Politik dan Keamanan Internasional dari Universitas Katolik Parahyangan, Idil Syawfi, mengatakan, secara internasional, peringatan teror sebenarnya sudah muncul sejak kematian dari al-Baghdadi. Kematiannya itu seharusnya disadari akan memicu tindakan-tindakan lain di sejumlah negara, termasuk Indonesia.
Kematian al-Baghdadi, dinilai Idil, telah menghidupkan sel-sel teroris, termasuk di Indonesia. ”Namun, apa yang terjadi pagi ini menunjukkan peringatan tersebut tidak diindahkan dan dijadikan acuan untuk memperkuat keamanan di dalam negeri,” ujar Idil saat dihubungi dari Jakarta.
Kematian al-Baghdadi telah menghidupkan sel-sel teroris, termasuk di Indonesia. Apa yang terjadi pagi ini menunjukkan peringatan tersebut tidak diindahkan dan dijadikan acuan untuk memperkuat keamanan di dalam negeri.
Dalam artikel The New York Times berjudul ”ISIS Names New Leader and Confirms al-Baghdadi’s Death” (31 Oktober 2019) disebutkan, kematian pimpinan NIIS pada 26 Oktober 2019 bukanlah akhir dari teror pada masa mendatang. Kelompok tersebut bahkan memperingatkan Amerika Serikat untuk tidak bahagia atas keberhasilan serangan yang dilakukan.
Bahkan TIME dalam artikel ”What the Death of Abu Bakr al-Baghdadi Says About the War that Killed Him” (31 Oktober 2019) menuliskan, kematian al-Baghdadi tidak akan mengubah keadaan di dunia. Kematiannya malah akan menjadi babak baru dari ketidakpastian terhadap teror berikutnya. Kelompok NIIS pun telah memilih pimpinan baru, yaitu Abu Ibrahim al-Hashemi al-Qurayshi.
Berkaca dari kejadian dugaan bom bunuh diri, kata Idil, Badan Intelijen Negara harus lebih kuat, bukan hanya di dalam negeri, tetapi komunitas negara-negara secara internasional. Data yang diperoleh dari pertukaran informasi antarnegara harusnya mampu diolah untuk meningkatkan keamanan dan strategi ke depan.
”Namun, apakah kita aware (sadar) terhadap data dan informasi yang diberikan oleh negara-negara lain? Memang inilah yang menjadi persoalan utama karena kemampuan mengolah data intelijen masih kurang,” ujarnya.
Data yang diperoleh dari pertukaran informasi antarnegara harusnya mampu diolah untuk meningkatkan keamanan dan strategi ke depan.
Kejadian dugaan bom bunuh diri hari ini juga menambah rentetan serangan teror sepanjang 2019. Sebelumnya, ada dua serangan teror oleh simpatisan kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Pertama, ledakan di pos polisi Kartasura, Sukoharjo, Jawa Tengah, Juni lalu. Kedua, serangan di Markas Kepolisian Sektor Wonokromo, Surabaya, Jawa Timur, 17 Agustus.
Pendekatan
Fokus negara dalam menderadikalisasi terorisme juga dinilai keliru. Idil mengatakan, deradikalisasi seharusnya dilakukan dengan cara-cara halus, bukan dengan memperkuat kapasitas negara dan menggunakan instrumen kekerasan.
”Deradikalisasi itu tujuannya memenangi hati dan pikiran masyarakat sehingga tidak menjadi radikal. Suatu anomali ketika deradikalisasi dilakukan dengan cara keras, itu tidak akan berjalan dengan baik,” kata Idil.
Pengamat Terorisme dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, pun menilai demikian. Cara-cara perburuan teroris selama ini telah memelihara dendam kepada kepolisian secara umum.
Cara-cara perburuan teroris selama ini telah memelihara dendam kepada kepolisian secara umum.
”Kejadian ini menunjukkan ada dendam yang sudah terpelihara. Selama kita masih ngotot pake resep deradikalisasi (kekerasan), mau enggak mau harus terima kenyataan bahwa kita masih hidup berdampingan dengan teror,” ujarnya.
Khairul menambahkan, pendekatan untuk melawan teror pun harus diarahkan pada pencegahan dengan membangun komunikasi dan mengawasi secara ketat pada calon teroris. Bukan dengan memantaunya dari jauh dan ”membiarkan” sampai teror terjadi.