KENDARI, KOMPAS — Investigasi atas legalitas 101 desa penerima dana desa di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, masih berlanjut. Apabila setiap desa rata-rata menerima dana desa Rp 700 juta setiap tahun, terhitung sejak 2017 desa-desa itu menerima dana ratusan miliar rupiah.
Seperti diberitakan, 117 desa di Konawe dibentuk berdasarkan tiga peraturan daerah (perda) yang terbit pada 2011-2014. Namun, perda-perda itu diduga bermasalah karena tidak tercantum di biro hukum daerah atau dikeluarkan setelah ada moratorium pembentukan desa oleh pemerintah. Enam belas desa tercatat dua kali di dua perda sehingga jumlah desa menjadi 101 (Kompas, 12/11/2019).
Pada 2013, Konawe dimekarkan menjadi Konawe dan Konawe Kepulauan. Dari 101 desa yang diduga bermasalah itu, kini 79 desa masuk wilayah Konawe dan 22 desa di Konawe Kepulauan.
Pada 2019, ada 294 desa di Konawe yang mendapat dana desa dengan jumlah total Rp 222 miliar. Penerima dana desa ini termasuk 78 desa yang diduga bermasalah. Ini karena ada satu desa telah dikeluarkan pada 2018.
Sementara dana desa untuk empat desa di Konawe juga telah ditahan sejak akhir 2018 karena diduga bermasalah. ”Desa itu ialah Lerehoma, Arombu Utama, Napooha, dan Wiau. Tidak cair ke desa mulai akhir 2018,” kata Koordinator Provinsi Program Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa serta Program Inovasi Desa La Ode Syahruddin Kaeba di Kendari, Selasa (12/11/2019).
Keempat desa itu dianggap bermasalah karena ada ketidaksesuaian jumlah penduduk. Lerehoma, misalnya, hanya dihuni 55 keluarga yang menerima dana desa sejak tahun 2017. Padahal, syarat pembentukan desa baru di Sultra dihuni minimal 400 keluarga.
Pantauan Kompas, Minggu (10/11), Lerehoma hanya dihuni belasan keluarga. Sejumlah proyek dengan dana desa terlihat di desa itu, seperti pengerjaan selokan, pembagian atap seng kepada warga, dan panel surya.
Modus pelanggaran
Sejak program dana desa dimulai 2015, setidaknya ada 30 kasus korupsi yang diusut penegak hukum, yaitu polisi, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Kasus-kasus itu umumnya terkait dengan lemahnya pengawasan.
Korupsi itu, antara lain, berupa kegiatan tidak terlaksana tetapi anggaran terserap, laporan pertanggungjawaban dimanipulasi, pemalsuan dokumen pertanggungjawaban, hingga bupati memotong dana desa dan menerima suap atau gratifikasi dari kepala desa.
Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan mengatakan, lemahnya pengawasan juga disebabkan minimnya sumber daya dan pendanaan. Dana desa yang mencapai triliunan rupiah tidak dibagi untuk pengawasan dan evaluasi. Anggaran pengawasan dari APBD untuk inspektorat juga rendah.
Masalah juga dipicu pendataan desa oleh kabupaten tanpa merangkul kecamatan. ”Semestinya kecamatan diikutsertakan dalam struktur, bukan sekadar lewat kabupaten,” ujarnya.
Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Anwar Sanusi mengatakan, rekomendasi KPK sejak 2015 telah berupaya dijalankan demi perbaikan pengawalan dana desa. Salah satunya meningkatkan efektivitas pendamping desa dan memperbaiki sistem pengawasan, monitoring, dan evaluasi.
Di sisi lain, Kemendesa merasa perlu ada pemutakhiran data desa dari Kementerian Dalam Negeri. Selama ini, pihaknya mengontrol berdasar data desa dari Kemendagri.
Evaluasi desa
Direktur Jenderal Bina Pemerintahan Desa Kemendagri Nata Irawan mengatakan, setiap pembentukan desa tidak dicek secara langsung ke lapangan. ”Ada 74.000 desa. Jika turun semua ke desa, sulit,” katanya.
Pengecekan seharusnya dimulai saat penyusunan perda pembentukan desa di tiap kabupaten bersama DPRD. Selanjutnya provinsi memeriksa dan memverifikasi data, kemudian diajukan ke Kemendagri.
Terkait tiga perda bermasalah di Konawe, itu masih diinvestigasi. ”Kalau secara administrasi ada yang keliru, desa itu akan kami cabut,” kata Nata.
Mengenai desa fiktif, seperti disebut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, 4 November, Menteri Desa, PDT, dan Transmigrasi Abdul Halim Iskandar menegaskan, itu tidak ada. Namun, pihaknya menunggu hasil investigasi.
Pengajar Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, Eko Prasojo, menyampaikan, sistem pengawasan pembentukan desa masih lemah. ”Ini baru soal jumlah desa, belum soal jumlah dana desa yang juga harus dievaluasi. Kalau ada Rp 1 miliar, berapa sebenarnya yang diterima desa? Ini persoalan lain. Sudah saatnya desa dievaluasi,” ujarnya.