Teladan Besar Itu Muncul dari Gang Sempit
Peran tempat persinggahan pasien penyakit mata lebih dari sekadar membantu perekonomian warga sekitar dan meringankan pasien tak mampu, tetapi juga ikut menekan kasus kebutaan di Indonesia.
Tepat di samping Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo, Bandung, beberapa rumah dijadikan tempat persinggahan pasien penyakit mata. Perannya lebih dari sekadar membantu perekonomian warga sekitar dan meringankan pasien tak mampu, tetapi juga ikut menekan kasus kebutaan di Indonesia.
Papan bertuliskan ”sewa kamar” dan ”penginapan” terpampang di depan rumah-rumah tinggal di Gang RS Mata Kelurahan Babakan Ciamis, Kecamatan Sumur Bandung, Kota Bandung. Tidak mewah. Letaknya di dalam gang sekitar 2,5 meter. Namun, pemiliknya menjamin rumah itu layak ditinggali.
Pada Rabu (16/10/2019) pukul 13.30, Iwan Setiawan (38), pemilik salah satu rumah, duduk di depan pintu sembari bercakap dengan Solikun (68), pasien berobat mata yang menginap di rumahnya. Peci dengan manik-manik khas tanah Borneo terpasang di kepala Iwan.
”Ini saya dapat dari salah satu pasien asal Pontianak,” tuturnya sambil mengangkat peci dengan bangga.
Iwan telah mengubah rumahnya menjadi penginapan sejak lebih dari tiga tahun yang lalu. Bangunan berukuran 4 meter x 10 meter ini menempel dinding pagar Rumah Sakit Mata Cicendo. Bagian dalam rumah dibagi tiga dan disekat tirai. Di setiap ruangan bisa diisi dua orang. Biaya penginapan yang disediakan Iwan hanya Rp 100.000 per hari.
Iwan sendiri tidur di rumah yang berbeda, tetapi tetap bercengkerama dengan penghuni kamar hingga malam hari. Dia juga kerap membantu pasien berobat jika keluarganya tidak sanggup menemani karena kesibukannya.
”Saya anggap mereka seperti keluarga. Kasihan pasien yang sendirian tidak ada yang mengurus di Bandung. Ternyata, pada akhirnya mereka juga kemudian menganggap saya saudara sendiri,” tuturnya.
Saya anggap mereka seperti keluarga. Kasihan pasien yang sendirian tidak ada yang mengurus di Bandung. Ternyata, pada akhirnya mereka juga kemudian menganggap saya saudara sendiri.
Iwan melanjutkan, keluarga pasien yang menginap di rumahnya tidak jarang memberikan oleh-oleh saat kembali bermalam. Biasanya, mereka semakin dekat saat pasien beberapa kali menginap di rumahnya.
”Ada yang berikan makanan, suvenir, bahkan istri saya pernah diberikan kain. Tetapi itu bukan jadi alat bayar, mereka tetap bayar. Jadi, semua murni pemberian,” katanya.
Sembari menyeruput kopi seduhan sendiri, Solikun ikut bicara, ”Di sini nyaman. Semua serba dekat. Kalau menginap di rumah sakit susah. Cari makan jauh ke depan. Apalagi, tempatnya terbuka, jadi saya tidak bebas,” ujarnya.
Solikun sudah menginap di tempat Iwan lebih dari empat kali. Sejak operasi tumor mata pada April lalu, dia bolak-balik ke Bandung dari tempat asalnya di Desa Eka Mulya, Kecamatan Mesuji Timur, Kabupaten Mesuji, Lampung.
Solikun memilih menginap di Bandung karena biaya transportasi lebih besar, hampir Rp 500.000 sekali jalan. Belum lagi waktu tempuh yang selama 24 jam. Dari tempat tinggalnya ke Terminal Rajabasa, dia menempuh jarak lebih kurang 230 kilometer dengan waktu sekitar lima jam. Dari Rajabasa, dia berpindah moda angkutan, yakni naik bus Damri ke arah Bandung dengan jarak hampir 400 kilometer.
”Saya butuh sehari-semalam untuk sampai ke Bandung. Belum lagi biaya hampir setengah juta. Lebih baik saya menginap biar tidak terlalu lelah kalau jadwalnya berjarak sekitar satu minggu,” paparnya.
Baca juga: Pengenalan Risiko Diperlukan untuk Cegah Kebutaan Dini
Pusat rujukan
Solikun dan pasien lainnya sengaja jauh-jauh menyeberangi pulau menuju Kota Kembang bukan tanpa alasan. Hanya berprofesi sebagai petani, dia tidak sanggup membiayai pengobatan mata tanpa BPJS Kesehatan. Jika petugas merujuk pasien ke RS Mata Cicendo, mau tidak mau mereka harus mendatangi Bandung.
Pengobatan gangguan mata, terutama untuk kebutaan, tidak murah. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, biaya untuk mengobati kebutaan dua mata berkisar Rp 170 juta-Rp 196 juta. Selain itu, tak bisa melihat jelas juga mengganggu produktivitas penderitanya.
Kebutuhan untuk akses pengobatan mata di Indonesia juga tidak sedikit. Estimasi populasi kebutaan mencapai 900.000 jiwa dengan insiden kebutaan di Indonesia 0,1 persen populasi per tahun atau 250.000 jiwa.
Akan tetapi, sebagian besar penderita gangguan penglihatan bukanlah warga berada. Badan Kesehatan Dunia pada tahun 2015 mencatat, 89 persen dari 253 juta penduduk yang mengalami gangguan penglihatan berasal dari negara dengan pendapatan menengah dan rendah. Karena itu, alternatif biaya yang murah dibutuhkan dalam proses pengobatan.
Kondisi tersebut membuat Ida Kodariah (48) bersama suaminya, Dede Rustandi (48), sengaja merelakan dua kamarnya menjadi penginapan. ”Sejak ada BPJS, sekitar 3 tahun yang lalu, orang-orang mulai cari penginapan murah. Saya perhatikan, mereka rata-rata datang dari jauh. Saya lihat mereka seperti orang susah, saya kasihan,” ujarnya.
Sama seperti Iwan, Ida hanya menarik biaya Rp 100.000 per malam untuk pasien. Bahkan, tidak jarang Ida meminta bayaran di bawah tarif.
”Pernah ada pasien asal Garut. Dia menginap selama tujuh hari dan bayar Rp 375.000. Saya tidak memaksa minta lebih karena saya tahu kemampuannya hanya sejumlah itu,” katanya.
Biasanya kelihatan pasien-pasien yang kurang biaya, makannya sedikit. Bahkan, ada yang makan hanya sekali sehari. Saya tidak tega. Makanya, untuk biaya inap, saya sering menyerahkan ke mereka, semampunya. (Ida Kodariah)
Ida menuturkan, mereka yang berasal dari jauh biasanya memiliki biaya yang terbatas sehingga layak dibantu. ”Biasanya, kelihatan pasien-pasien yang kurang biaya, makannya sedikit. Bahkan, ada yang makan hanya sekali sehari. Saya tidak tega. Makanya, untuk biaya inap, saya sering menyerahkan ke mereka, semampunya,” tutur Ida.
Tidak hanya itu, Ida sekeluarga juga berbagi kamar mandi dengan pasien yang menginap karena hanya ada satu unit di rumah. Namun, Ida mengaku keluarga tidak mempermasalahkan hal tersebut.
”Kalau ada pasien, biasanya saya mengingatkan anak saya untuk mandi lebih subuh karena nanti akan digunakan pasien. Kalau kesiangan, ya, harus ikut mengantre,” tuturnya.
Baca juga: Kekurangan Nutrisi akibat Konsumsi ”Junk Food” Picu Kebutaan
Saling membantu
Kepedulian pemilik penginapan dikatakan Nani Ariani (52), Ketua RT 004 RW 001 Kelurahan Babakan Ciamis, Kecamatan Sumur Bandung, Kota Bandung. Dia menjelaskan, di Gang RS Mata terdapat delapan penginapan yang biasanya dipergunakan pasien RS Cicendo.
”Tidak ada ketentuan khusus. Kalau ada yang mau mengubah tempat tinggalnya jadi penginapan, silakan. Setiap pemilik harus bertanggung jawab dengan para pasien tersebut, tetapi biasanya mereka bersedia membantu pasien,” ujarnya.
Bantuan yang paling jelas, tutur Nani, adalah miringnya biaya yang diberikan kepada pasien. Jika dibandingkan dengan tempat penginapan dan hotel, biaya yang bisa dipangkas pasien bisa setengahnya. Bahkan, sebagian besar penginapan di gang ini tidak menerapkan batasan pengunjung.
”Pasien satu, tetapi pendampingnya bisa tiga-empat orang. Mereka menumpuk di satu kamar. Itu, kan, bisa menambah biaya air, belum masalah sampah. Namun, pemilik kamar tidak mempermasalahkan. Bukan sekadar cari untung, mereka ingin membantu,” tuturnya.
Tidak hanya itu, biaya makan di gang ini juga bisa dikatakan lebih murah jika dibandingkan dengan biaya di jajaran rumah sakit. Nani berujar, warga tidak mengambil banyak keuntungan kepada pasien karena mereka sadar, pasien yang menginap di lokasi ini tidak memiliki kelebihan biaya.
Ida Kodariah mengatakan, selain menyediakan penginapan, dia juga bersedia meluangkan waktu untuk menjual nasi uduk yang terjangkau bagi pasien dan warga sekitar. Teras sempit di rumah bercat biru miliknya menjadi warung nasi uduk yang kerap menjadi sasaran warga untuk mencari sarapan. Harga jual nasi uduk itu hanya Rp 7.000 per porsi.
”Daripada saya tidak ada kerjaan di rumah, lebih baik saya menjual nasi uduk. Biasanya dari pukul 06.00 hingga pukul 09.00. Kasihan kalau keluarga pasien belanja ke depan, harganya bisa lebih dari Rp 10.000 per porsi,” tuturnya.
Kenyamanan yang dibentuk dari keramahan warga Gang RS Mata ini memberikan kesan yang membekas bagi para pasien, seperti yang dirasakan Solikun.
”Saya selalu menghubungi Kang Iwan kalau mau berobat. Dia contoh manusia yang baik,” tuturnya sambil mengacungkan jari jempol.
Saya selalu menghubungi Kang Iwan kalau mau berobat. Dia contoh manusia yang baik. (Solikun)
Tak terasa, jarum jam menunjukkan pukul 15.00. Solikun lantas menyeruput kopi terakhir kalinya dan masuk ke kamarnya. Tidak sampai lima menit, Solikun keluar lagi. Dia bersiap untuk berobat ke Rumah Sakit Mata Cicendo.
”Hayu (Ayo) Kang Iwan, kita berangkat,” ujarnya. Iwan lalu menghampiri dan menuntun Solikun berjalan. Untuk kesekian kalinya, Iwan kembali menjadi pancaindera bagi Solikun menjalani perawatan mata.
”Kang Iwan benar-benar penolong buat saya,” kata Solikun. Iwan tersenyum tulus saat mendengar pujian Solikun. Tangannya menggengam erat menggandeng Solikun dengan hati-hati.
Gang sempit di pinggir RS Mata Cicendo memberikan pelajaran penting. Secuil kebaikan bisa berarti berarti besar bagi mereka yang benar-benar membutuhkannya.
Baca juga: Kebutaan yang Menguatkan Seorang Loper