Biar Berkutu, yang Penting Beras
Jauh sebelum beras mendominasi makanan pokok di Sulawesi Tenggara, sagu, jagung, dan singkong merupakan pangan utama masyarakat setempat.
Jauh sebelum beras mendominasi makanan pokok di Sulawesi Tenggara, sagu, jagung, dan singkong merupakan pangan utama masyarakat setempat. Perut dan aspek kehidupan warga diisi olahan pangan itu. Kini, pamor sinonggi (bubur sagu), kambose (nasi jagung), juga kasuami (olahan tepung singkong) tergantikan oleh beras, bahkan yang berkutu sekali pun.
Beras kini menjadi makanan pokok sebagian besar masyarakat di Sulawesi Tenggara. Sumber karbohidrat itu menggantikan jagung, sagu, dan umbi-umbian sebagai pangan utama. Tidak terkecuali bagi Laloe (57), warga Lapandewa Jaya, Kecamatan Lapandewa, Buton Selatan.
Minggu (3/11/2019) jelang sore, Laloe tampak sibuk menjaga stan milik Pemerintah Kabupaten Buton Selatan. Hari itu berlangsung pameran pangan dalam rangka Hari Pangan Sedunia di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara. Kepala Bidang Distribusi dan Cadangan Pangan Dinas Ketahanan Pangan Buton Selatan ini sesekali merapikan bungkusan, menjawab pertanyaan pengunjung yang datang, menemani mereka melihat-lihat, atau tersenyum melihat pengunjung asyik berfoto.
Berbagai olahan jagung terbungkus plastik berderet rapi di rak pajangan. Olahan itu berupa jagung pipil, tepung jagung, serta jagung parut. Tersedia pula olahan singkong. Di lantai bertumpuk berbagai jenis umbi-umbian. Namun, tidak ada pengunjung yang tertarik membeli berbagai olahan jagung dan singkong itu.
”Di kampung saya, orang tidak lagi makan jagung sebagai makanan pokok. Lebih dari 80 persen mengonsumsi beras. Malahan banyak yang pilih makan raskin (beras pembagian untuk keluarga miskin) yang ada kutunya daripada makan pangan lokal,” kata Laloe.
Ayah tiga anak ini mengenang, saat masih kecil, jagung adalah makanan utama di keluarganya serta warga di kampungnya. Jagung dan umbi-umbian ditanam di kebun, dimakan untuk kebutuhan keluarga sendiri. Berbagai olahan jagung atau singkong dimakan saat sarapan, makan siang, hingga makan malam.
Jagung diolah menjadi kambose atau kambewe, sedangkan singkong dimasak menjadi kasuami. Nasi hanya dikonsumsi sebagai pelengkap sesekali. ”Seingat saya, sampai masuk sekolah, saya masih makan jagung dan singkong. Tapi sekarang sudah beras terus. Paling satu bulan satu kali makan jagung. Anak-anak saya malah tidak ada yang suka jagung atau singkong biar sudah diolah jadi banyak macam makanan,” tuturnya.
Awal 1980-an, beras mulai masuk dan menjadi pangan pokok yang ”diwajibkan” oleh pemerintah. Laloe dan orang-orang di kampungnya mulai terbiasa mengonsumsi beras dan perlahan meninggalkan jagung dan umbi-umbian.
Menyusut seiring waktu
Berbilang tahun setelah itu, jagung dan singkong tidak semudah dulu ditemukan. Menurut Laloe, luas tanam jagung dan umbi-umbian menyusut seiring waktu. Orang-orang meninggalkan tanaman tersebut karena tidak begitu laku di pasaran.
Sebagian besar orang beralih ke beras meski warga Buton Selatan hanya mengolah padi ladang yang luasnya sekitar 50 hektar. Kekurangan beras dipasok dari kabupaten lain serta dari Sulawesi Selatan. Akibatnya, kabupaten ini masuk sebagai salah satu daerah rentan pangan di Indonesia.
”Kalau beli kasuami (olahan singkong) Rp 5.000 per biji. Itu untuk satu orang. Kalau ada lima orang dalam keluarga, perlu Rp 25.000 sekali makan. Jagung juga sama, cukup susah ditemukan. Kalaupun ada, harganya mahal,” katanya. Jika Laloe hanya sesekali memakan jagung dan umbi-umbian, hal sebaliknya dilakukan Nawi (48). Ia dan sebagian keluarganya rutin memakan olahan sagu. Setiap hari makanan ini tersaji di rumahnya.
”Saya dan suami selalu makan sagu. Tidak enak kalau tidak makan. Tapi kalau malam jarang karena jadi sering buang air kecil,” ucapnya sembari menganyam atap rumbia di kediamannya di Desa Lamomea, Konawe Selatan. Nawi dan keluarga adalah segelintir warga yang masih mengolah sagu meski kini semakin sulit menemukan pohon sagu.
Nawi lantas mengajak masuk ke dalam rumah hingga ke dapur. Ibu tiga anak ini menunjukkan ember bekas cat yang setengahnya berisi sagu basah. Sagu berwarna putih itu diolah menjadi makanan pokok setiap hari.
Sagu dibuat menjadi sinonggi, makanan khas masyarakat Sulawesi Tenggara. Caranya, sagu disiram air panas, lalu diaduk hingga merata dan mengental. Sinonggi disantap dengan ikan bakar dan sayuran. Olahan ini mirip dengan papeda di Papua atau kapurung di Sulawesi Selatan. Meski Nawi dan suami rutin mengonsumsi sagu, tidak semua anggota keluarganya suka sinonggi. ”Anak bungsu saya tidak makan sinonggi. Nda enak katanya,” ujarnya.
Kehilangan identitas
Selama ratusan tahun, sagu, jagung, dan singkong menjadi makanan pokok masyarakat di Sulawesi Tenggara. Sagu banyak tumbuh di lahan basah daratan di wilayah Konawe, Konawe Selatan, Kolaka Timur, hingga Bombana. Sementara daerah kepulauan yang tanahnya berbatu dan kering menjadi tempat tumbuh jagung dan umbi-umbian.
Politik pangan pemerintah yang menyeragamkan beras tahun 1980-an membuat pamor tanaman endemik daerah ini menurun. Beras mendominasi, membuat sinonggi, kasuami, dan kambose kehilangan tempat di masyarakat. Padahal, makanan ini rendah gula sehingga cocok dikonsumsi dalam jumlah banyak.
Berdasarkan data Dinas Ketahanan Pangan Sultra 2018, jumlah konsumsi beras adalah 94,9 kilogram per kapita per tahun. Jumlah ini berpuluh kali lipat dibandingkan dengan konsumsi total jagung, singkong, dan sagu. Total konsumsi ketiga komoditas ini adalah 18,1 kilogram per kapita per tahun. Rinciannya, singkong 8,2 kilogram, sagu 5,6 kilogram, dan jagung 4,3 kilogram per kapita per tahun.
”Pangan lokal, seperti jagung, sagu, dan singkong, kehilangan identitas di masyarakat. Beras menjadi dominan dan mengambil peran utama di masyarakat. Bahkan ada anggapan, kalau makan selain beras, kastanya lebih di bawah. Orang malu makan pangan lokal karena tidak mau dianggap miskin atau dari kalangan bawah,” papar Wa Ode Sifatu, dosen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Haluoleo.
Program pemerintah memperkenalkan beras sebagai makanan pokok tidak hanya mengubah pola makan. Lebih jauh lagi, secara struktural mengubah identitas dan budaya masyarakat secara luas. Dulu, warga menanam singkong, jagung, atau sagu, selain dimakan sendiri sehari-hari juga disantap bersama keluarga besar atau warga kampung dalam berbagai kegiatan.
Sejak penanaman, pengolahan, hingga panen tanaman yang menjadi makanan pokok itu, demikian Sifatu, ada budaya kebersamaan dalam masyarakat. Warga saling bantu dan saling berbagi. Dari situ tercipta kekerabatan, keharmonisan, dan kerukunan yang erat. Peran pangan ini juga masuk dalam upacara adat, perkawinan, hingga kematian.
Sifatu, yang berasal dari Muna, mengenang, keluarganya setiap hari menyantap olahan jagung dari kambose, kambewe, katumbu, hingga kamperodo. Semua jenis olahan itu berbahan dasar jagung. Beras hanya dimakan sesekali, terutama ketika ada tamu dari luar. Hingga saat ini, Sifatu dan keluarga bertahan dengan memakan jagung hampir setiap hari. Ia merasa aneh jika mengganti dengan beras atau makanan lain. Hanya saja, beberapa kali ia harus menghadapi kenyataan yang ironis.
”Beberapa kali kalau saya ke pasar mau beli jagung yang agak tua, dikira mau kasih makan ayam. Memang sudah berubah anggapan orang terhadap pangan lokal kita. Harus ada upaya holistik dan didukung semua pihak agar pangan lokal kembali menempati fungsinya di masyarakat,” katanya. Dari pengamatan, di pasar-pasar tradisional Kota Kendari, bahan pangan lokal di luar beras cukup sulit ditemukan. Pedagangnya hanya ada satu dua orang.
Pemerintah merayakan Hari Pangan Sedunia di Kendari dengan anggaran miliaran rupiah dengan tujuan mengangkat pangan lokal, sekaligus mencapai kedaulatan pangan. Hanya saja, tanpa aksi nyata, semuanya akan sia-sia. Masyarakat, seperti kata Laloe, akan tetap memilih raskin berkutu daripada jenis pangan tradisional setempat.