Istri Pelaku Bom Bunuh Diri Aktif Berkomunikasi dengan Napi Teroris
Pelaku bom bunuh diri di Medan, RMN, diduga terpapar radikalisme dari istrinya, DA. Adapun DA aktif berkomunikasi dengan napi teroris yang saat ini mendekam di Lapas Kelas II Wanita Medan. DA telah ditangkap polisi.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Detasemen Khusus 88 Antiteror menangkap DA, istri RMN, pelaku bom bunuh diri di Markas Kepolisian Kota Besar Medan. DA diduga menyebarkan paham radikalisme kepada RMN. Setelah insiden di Medan tersebut, polisi meningkatkan kewaspadaan dan pengawasan sel-sel teroris. Polisi pun diingatkan, serangan teroris kerap meningkat setiap menjelang akhir tahun.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal (Pol) Dedi Prasetyo, Kamis (14/11/2019), menuturkan, penangkapan terhadap DA dilakukan setelah Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror menggeledah kediaman RMN. Hasil pemeriksaan sementara menunjukkan, RMN diduga terpapar paham radikal dari sang istri.
Adapun DA, berdasarkan temuan tim Densus 88 dan Direktorat Siber Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Polri, cukup aktif berkomunikasi di media sosial dengan narapidana terorisme berinisial I yang saat ini mendekam di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II Wanita Medan. Tak sebatas lewat media sosial, mereka juga kerap bertemu di lapas.
”Di dalam jejaring komunikasi media sosialnya, mereka merencanakan aksi terorisme di Bali. Itu lagi didalami dan dikembangkan. Apakah RMN dalam melakukan serangannya ini memiliki jejaring, baik terstruktur ataupun nonstruktur,” ujar Dedi seusai menghadiri upacara peringatan hari ulang tahun ke-74 Korps Brigade Mobil di Depok, Jawa Barat.
Sementara, terkait perakit bom bunuh diri, polisi masih menyelidikinya.
Dari temuan di tempat terjadinya perkara, partikel-partikel bahan peledak terdiri atas 55 potongan paku, baterai 9 volt, potongan kabel, tombol switch on/off, plakban, dan 5 pelat besi yang sudah dipotong-potong setebal 2 milimeter. Beberapa dari partikel itu masih diuji di laboratorium.
Dari penggeledahan rumah RMN, Densus 88 juga menemukan senjata tajam, buku-buku catatan, dan alat komunikasi. Berangkat dari petunjuk-petunjuk itu, Densus 88 berupaya mengungkap jaringan RMN, termasuk mencari tahu kemungkinan ada pihak lain yang membantunya atau dia bertindak sendiri.
Terkait kabar ada satu pelaku teror yang melarikan diri dalam serangan di Mapolrestabes Medan, Dedi menyampaikan, hal itu masih didalami penyidik. Namun, jika melihat rekaman kamera pengawas sebelum bom meledak, RMN hanya beraksi seorang diri.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD yang menyampaikan masih adanya pelaku teror yang diburu polisi. Dia menyampaikan seusai rapat dengan Badan Legislasi DPR, Rabu (13/11/2019). ”Yang satu lari masih dalam pengejaran,” katanya.
Penangkapan teroris
Dedi mengungkapkan, setelah insiden bom bunuh diri di Mapolrestabes Medan, Densus 88 menangkap empat orang terduga teroris. Tiga orang ditangkap di Banten dan satu orang di Jawa Tengah.
Berdasarkan pemeriksaan sementara, tiga orang yang ditangkap di Banten diduga terafiliasi dengan jaringan Jamaah Ansharut Daulah Banten. Adapun seorang terduga teroris yang ditangkap di Jawa Tengah belum diketahui terafiliasi dengan kelompok mana.
Dedi menerangkan, keempat tersangka itu ada yang pernah mengikuti aidat atau latihan militer dan ada pula yang sudah mengikuti perang bersama kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) di Suriah.
Sebelum insiden bom di Mapolrestabes Medan, Densus 88 juga melakukan dua penangkapan teroris di Provinsi Riau, masing-masing tanggal 9 dan 11 November 2019. Dengan demikian, sejak 9 hingga 13 November 2019, Densus 88 telah menangkap 10 terduga teroris. Rinciannya 5 orang ditangkap di Riau, 1 orang di Bekasi, 3 orang di Banten, dan 1 orang di Jawa Tengah.
Lebih waspada
Untuk mengantisipasi terjadi lagi aksi teror, Polri akan lebih waspada. Pemantauan sel-sel teroris di sejumlah wilayah pun ditingkatkan sekalipun sel itu tidak terlihat merencanakan aksi teror.
Tindakan preventive strike atau penindakan dalam rangka pencegahan tindak pidana terorisme juga akan terus dilakukan.
Selain itu, Dedi menekankan, kepolisian tidak mungkin bekerja sendiri untuk memberantas terorisme. Butuh kerja sama dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta masyarakat.
Program deradikalisasi juga diharapkan tak sebatas menyentuh para mantan narapidana terorisme, tetapi juga khalayak luas khususnya mereka yang rentan terpapar paham-paham radikalisme.
Pengamat terorisme, Al Chaidar, berpendapat, tidak ada pendekatan yang lebih efektif daripada preventive strike yang dilakukan oleh polisi selama ini. Pendekatan semacam itu tentu menimbulkan konsekuensi polisi akan menjadi sasaran serangan teror. Untuk itu, polisi harus siap mengantisipasi kemungkinan serangan balik dari teroris.
Selain itu, Al Chaidar mendorong agar pendekatan preventive strike dibarengi dengan kebijakan humanis dalam memberantas terorisme.
”Misalnya, ada terduga teroris yang ditangkap. Polisi paling tidak bisa menyelesaikan persoalan yang tengah dia hadapi. Itu yang belum dilakukan. Bahkan, selama ini ada terduga teroris yang keluarganya tidak diinformasikan setelah penangkapan,” tuturnya.
Al Chaidar pun mengingatkan Polri untuk lebih berhati-hati dan waspada terkait potensi serangan balasan ke depan. Kematian pemimpin kelompok teror NIIS, Abu Bakar al-Baghdadi, dalam sebuah serangan yang dilakukan militer AS di barat laut Suriah menjadi salah satu pemicu serangan balasan dari kelompok teror.
”(Potensi) serangan balasan ada. Karena dari yang saya amati, bulan Desember termasuk paling sering ada kejadian teror,” kata Al Chaidar.