Industri Halal Kian Menggiurkan Seiring Pertumbuhan Penduduk Muslim
Potensi industri halal semakin besar seiring dengan pertumbuhan penduduk Muslim kelas menengah-atas di dunia. Indonesia akan fokus mengembangkan industri makanan-minuman, mode, pariwisata, produk farmasi, dan keuangan.
Oleh
Karina isna irawan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Potensi industri halal semakin besar seiring dengan pertumbuhan penduduk Muslim kelas menengah dan atas di dunia. Untuk menangkap peluang itu, Indonesia akan fokus mengembangkan industri makanan dan minuman, mode, pariwisata, produk farmasi, dan keuangan syariah.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan, populasi penduduk Muslim global diperkirakan terus tumbuh dari 1,8 miliar orang pada 2018 menjadi 2,2 miliar orang pada 2030. Pertumbuhan populasi penduduk Muslim global akan dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan ekonomi.
”Penduduk Muslim di seluruh dunia akan bertambah dan semakin kaya, termasuk di Indonesia. Ini menunjukkan betapa besar potensi ekonomi halal global,” kata Perry saat menjadi pembicara kunci dalam Festival Ekonomi Syariah Indonesia (ISEF) 2019 di Jakarta, Kamis (14/11/2019).
Penduduk Muslim di seluruh dunia akan bertambah dan semakin kaya, termasuk di Indonesia. Ini menunjukkan betapa besar potensi ekonomi halal global.
Lembaga kajian demografi AS, Pew Research Center, memprediksi penduduk kelas menengah Muslim berjumlah 900 juta jiwa pada 2030. Kelas menengah adalah orang-orang yang siap berbelanja sekaligus penuntut. Hal ini tak terlepas dari fenomena terus meningkatnya kesejahteraan sebagian negara-negara berpopulasi mayoritas Muslim.
Adapun populasi usia muda, yang cenderung menjadi konsumen antusias, diprediksi mendekati 3 miliar jiwa dalam 41 tahun ke depan. Mereka akan menjadi pembentuk pasar dan tren yang tak bisa diabaikan. Produsen di banyak negara mengikuti keinginan mereka (Kompas, 20/7/2019).
Menurut Perry, pangsa pasar halal global akan semakin besar manakala segmen yang dibidik bukan hanya penduduk Muslim. Saat ini beberapa negara menjadikan sertifikasi halal sebagai nilai tambah suatu produk. Kualitas pengolahan produk lebih terjamin dan mendukung ekonomi berkelanjutan.
”Sertifikasi halal lebih luas dari seputar ketentuan agama. Produk bersertifikasi halal menjadi produk bernilai ekonomi tinggi yang bisa digunakan oleh semua kalangan,” ujar Perry.
DinarStandard, perusahaan riset pasar yang berbasis di Dubai dan New York, mencatat, nilai pasar halal global mencapai 2,2 triliun dollar AS pada 2018. Tahun 2024, nilainya diprakirakan melonjak menjadi 3,2 triliun dollar AS dengan rata-rata pertumbuhan 5,2 persen setiap tahun. Konsumsi tertinggi adalah untuk makanan, obat-obatan, dan gaya hidup halal.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pariwisata Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNWTO) Thaleb Rivai mengatakan, industri jasa dan pariwisata memiliki potensi ekonomi paling besar. Sebab, penduduk kelas atas menilai pariwisata sebagai kebutuhan hidup. Mereka secara khusus mengalokasikan belanja untuk berkeliling dunia.
Sekitar 1,8 miliar Muslim di dunia aktif berwisata keliling dunia sepanjang 2018 dengan nilai pengeluaran mencapai 189 miliar dollar AS. Pada 2024, pengeluaran pariwisata konsumen Muslim diperkirakan meningkat jadi 274 miliar dollar AS.
Menurut Thaleb, Indonesia memiliki potensi besar untuk mengembangkan industri pariwisata halal. Budaya dan perilaku lokal penduduk Indonesia yang didominasi Muslim menjadi daya tarik tersendiri. Pengembangan pariwisata ramah Muslim dapat mendorong peningkatan produk domestik bruto (PDB) hingga 1 persen.
”Industri pariwisata berkontribusi terhadap pertumbuhan berkelanjutan karena meningkatkan penciptaan lapangan kerja dan ekspor,” ujar Thaleb.
Perry menambahkan, Indonesia harus segera menjadi produsen dan penyedia industri halal, bukan lagi konsumen. Untuk itu, sektor-sektor industri halal yang berpotensi besar untuk dikembangkan adalah makanan dan minuman, mode, pariwisata, obat-obatan, dan keuangan syariah.
”Saat ini, strategi pengembangan industri halal nasional difokuskan untuk mendorong daya saing industri, sertifikasi halal, koordinasi antarinstitusi, promosi produk halal, dan kerja sama lintas negara. Industri halal diyakini menjadi motor baru pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.
Sektor-sektor industri halal yang berpotensi besar untuk dikembangkan adalah makanan dan minuman, mode, pariwisata, obat-obatan, dan keuangan syariah.
Mengutip data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), konsumsi industri halal di Indonesia lebih dari 200 miliar dollar AS atau 36 persen dari total konsumsi rumah tangga tahun 2017. Kontribusi itu sekitar 20 persen PDB Indonesia.
”Ekonomi dan keuangan syariah akan menjadi arus baru pertumbuhan ekonomi Indonesia,” ujar Perry.
Sekretaris Jenderal Islamic Financial Services Board (IFSB) Bello Lawal Danbatta berpendapat, ekonomi dan keuangan syariah sebaiknya diarahkan untuk mencapai target-target pembangunan berkelanjutan. Misalnya, antisipasi risiko perubahan iklim, pengembangan energi terbarukan, dan pengentasan warga dari kemiskinan.
”Sistem syariah tidak hanya memperkuat daya tahan keuangan, tetapi juga fundamen ekonomi negara,” lanjutnya.
Danbatta menyebutkan, sistem syariah bisa digunakan untuk pembiayaan target-target pembangunan berkelanjutan yang selama ini dinilai berisiko tinggi. Namun, regulasi yang ada harus mendukung pengembangan ekonomi dan keuangan syariah. Jika tidak, target-target pembangunan itu sulit terealisasi.