ASEAN dapat membantu dan mempercepat proses repatriasi dalam tiga bidang, yaitu meningkatkan kapasitas pusat penerimaan dan transit, mendukung penyediaan layanan dasar, serta memperkuat penyebaran informasi.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — ASEAN masih menyoroti isu keamanan di Rakhine, Myanmar. Perdamaian di wilayah itu penting agar proses repatriasi pengungsi Rohingya bisa berhasil.
Direktur Jenderal Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar Negeri Jose Antonio Morato Tavares mengatakan, meskipun upaya repatriasi telah berulang kali dilakukan, pengungsi masih enggan kembali. Hingga kini, baru 500 pengungsi dari sekitar 1 juta pengungsi yang ada di Bangladesh kembali ke Rakhine.
”Salah satu faktor penyebabnya adalah keamanan. Diseminasi informasi harus terus dilakukan untuk membangun rasa percaya pengungsi untuk kembali,” kata Jose, dalam ”ASEAN Diplomatic Gathering: Update from the Region”, di Jakarta, Kamis (14/11/2019).
Menurut dia, fokus ASEAN saat ini adalah membantu Myanmar merepatriasi para pengungsi di Bangladesh secepat mungkin. Proses repatriasi dipastikan akan berlangsung atas tiga prinsip, yakni aman, sukarela, dan bermartabat.
Jose melanjutkan, Sekretariat ASEAN juga akan segera membentuk tim pendukung ad hoc. Tim ini berfungsi mengimplementasi rekomendasi-rekomendasi yang tertera dalam penilaian kebutuhan awal (PNA) repatriasi dari tim ASEAN-ERAT.
Hasil PNA menyebutkan, ASEAN dapat membantu dan mempercepat proses repatriasi dalam tiga bidang, yaitu meningkatkan kapasitas pusat penerimaan dan transit, mendukung penyediaan layanan dasar, serta memperkuat penyebaran informasi. ASEAN-ERAT juga merekomendasikan ASEAN membantu menangani pembangunan kapasitas dan kohesi sosial di area relokasi.
”Tim ini dibentuk guna mempercepat proses repatriasi yang gagal, kemarin. Ada beberapa unsur yang bisa bergabung. Kami masih menunggu Sekretariat ASEAN merancang tim ini,” ujar Jose.
Perwakilan Tetap Myanmar untuk ASEAN U Min Lwin menyampaikan, masalah keamanan bukan satu-satunya faktor penyebab repatriasi menjadi tantangan. ”Kami siap kembali, tetapi ada elemen lain agar proses lancar dan saya tidak bisa menjawab mengenai itu,” ucapnya.
Mengenai tim pendukung ad hoc, lanjutnya, Myanmar menyambut upaya yang telah dilakukan ASEAN. Tim ini diperlukan untuk mendukung proses repatriasi. Sebagai negara penerima, Myanmar juga telah bersiap-siap menerima pengungsi dengan membangun pusat transit dan penerimaan serta menyediakan akomodasi.
Pada Agustus 2017, sekitar 750.000 warga Rohingya melarikan diri dari Rakhine, Myanmar, akibat persekusi. Eksodus ini terjadi setelah ratusan ribu warga lainnya lebih dulu meninggalkan Myanmar beberapa tahun sebelumnya.
Persekusi terjadi akibat warga Rohingya dianggap sebagai imigran ilegal. Akibatnya, mereka tidak diakui sebagai warga negara Myanmar sehingga tidak memperoleh akses pendidikan, kesehatan, dan perlindungan hukum.
Pengungsi Rohingya akhirnya tinggal tersebar di berbagai negara, antara lain Bangladesh, Indonesia, Malaysia, dan Pakistan. Sekitar 1 juta pengungsi berada di Cox’s Bazar, Bangladesh.
Bangladesh dan Myanmar menandatangani perjanjian repatriasi pada November 2017. Keberadaan pengungsi mulai meresahkan warga lokal dan memengaruhi dinamika masyarakat Bangladesh.
Kewarganegaraan
Jose melanjutkan, ASEAN terus berkomitmen membantu Myanmar. ”Ada banyak masalah (mengenai isu Rohingya), tetapi tidak bisa ditangani sekaligus. Masalah kewarganegaraan, misalnya, itu akan memakan waktu lama,” katanya.
Lwin menyampaikan, proses membuat warga Rohingya menjadi warga negara tidak mudah. Berdasarkan Hukum Kewarganegaraan 1982, warga Rohingya tidak bisa serta merta dianggap sebagai warga negara Myanmar meskipun mereka telah tinggal lama di negara itu.
”Mereka tidak dianggap sebagai masyarakat pribumi (indigenous). Negara lain memiliki hukum sendiri mengenai kewarganegaraan, termasuk Myanmar,” ujar Lwin.
Selain itu, Pemerintah Myanmar meragukan data bahwa ada sekitar 1 juta pengungsi Rohingya di Bangladesh. Myanmar menghitung Rakhine memiliki sekitar 1 juta penduduk sebelum eksodus terjadi. Warga yang keluar diperkirakan hanya sekitar 500.000 orang.
Oleh karena itu, lanjutnya, tidak mungkin jumlah pengungsi di Bangladesh bisa mencapai 1 juta orang. Jumlah itu kemungkinan bertambah karena ada pengungsi lain yang bergabung dalam kamp pengungsi Cox’s Bazar.
”Kami harus hati-hati untuk menerima para pengungsi yang kembali. Kami hanya menerima orang yang betul-betul meninggalkan Myanmar. Kami bukan negara kaya sehingga tidak bisa menerima orang datang begitu saja,” tuturnya.