Rencana pemerintah menaikkan dana bantuan politik parpol perlu diikuti sanksi yang lebih ketat. Partai didorong lebih transparan menggunakan dana dari negara ataupun dari pihak ketiga.
JAKARTA, KOMPAS —Wacana pemerintah menaikkan dana subsidi negara untuk partai politik atau parpol perlu diikuti pengaturan sistem pengawasan dan penegakan sanksi yang lebih ketat. Dua faktor ini akan ikut menentukan keseriusan parpol untuk berbenah menjadi lebih transparan sehingga bisa meminimalkan potensi korupsi politik.
Saat ini, partai pemilik kursi di DPR mendapat kucuran dana bantuan dari negara Rp 1.000 per perolehan suara. Belakangan, muncul wacana pemerintah meningkatkan dana bantuan untuk partai hingga Rp 6 triliun per 2023. Jika dibagi secara proporsional, jumlahnya Rp 48.000 per suara. Namun, pemerintah ingin sebelum hal itu dilakukan, parpol melakukan pembenahan internal.
Kajian Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) bersama peneliti politik dari Australia National University, Marcus Mietzner, pada 2016, menunjukkan, dalam praktik internasional, ketika negara memutuskan menyediakan subsidi dana yang besar untuk partai, langkah itu juga diikuti dengan sistem pengawasan yang ketat.
Bagi parpol yang menyalahgunakan atau memanipulasi dana bantuan negara perlu diberi sanksi tegas.
Sebagai sistem pengawasan, beberapa negara membentuk lembaga independen yang khusus mengawasi dana partai, hingga mengurusi aspek penegakan hukum dan menjatuhkan sanksi. Misalnya, Federal Election Commissiondi Amerika Serikat. Ada juga negara lain yang menyerahkan kewenangan pengawasan itu kepada lembaga yang sudah ada, seperti lembaga setingkat Mahkamah Konstitusi (Turki), atau Komisi Pemilihan Umum (Meksiko).
Menurut Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini, Rabu (13/11/2019), sanksi bagi parpol yang menyalahgunakan atau memanipulasi dana bantuan negara perlu diberi sanksi tegas, bahkan bisa saja hingga tidak boleh menjadi peserta pemilu.
Selain itu, jika ingin melakukan reformasi kelembagaan partai yang utuh, penggunaan dana negara itu juga harus diiringi transparansi terkait dengan penggunaan dana partai yang bukan berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yaitu sumbangan pihak ketiga dan iuran anggota.
Sanksi tegas
Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan menyampaikan, dalam naskah akademik revisi Undang-Undang Parpol yang disusun KPK dan dibahas bersama Kementerian Hukum dan HAM pada 24 Mei 2019, KPK mengusulkan sanksi pembekuan bahkan pembubaran partai yang terindikasi menerima aliran dana korupsi atau terlibat pencucian uang.
Pembubaran tetap melalui Mahkamah Konstitusi berlandaskan putusan pengadilan tindak pidana korupsi pada perkara terkait. ”Lewat revisi UU, rekomendasi ini semestinya masuk,” kata Pahala.
Peneliti Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, M Nurhasim, menuturkan, dalam revisi UU Parpol, perlu ada tambahan pengaturan terkait mekanisme pengawasan dan pemberian sanksi terhadap dana bantuan keuangan negara. Pertama, laporan pertanggungjawaban bantuan keuangan dari APBN/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) diumumkan secara terbuka dan dapat diakses publik. Kedua, keterlambatan laporan bantuan keuangan dikenai sanksi administratif berupa tidak diberikannya bantuan keuangan secara penuh pada tahun anggaran berjalan hingga laporan itu diperiksa BPK. Ketiga, penyalahgunaan bantuan anggaran dari APBN/APBD selain dikenai sanksi administratif, parpol bersangkutan dapat dianggap melakukan tindak pidana korporasi.
Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia mengatakan tidak masalah jika revisi UU Parpol, yang direncanakan masuk dalam Program Legislasi Nasional 2020, mengatur pengetatan mekanisme pengawasan dan sanksi bagi partai. Hal itu merupakan konsekuensi jika partai ingin mendapat dana bantuan yang lebih besar dari negara.