Kepercayaan Warga pada KPK Menurun Karena Opini yang Melemahkan Lembaga Itu
Kepercayaan warga terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi makin turun seiring dengan gencarnya opini yang melemahkan lembaga tersebut. Sebagian responden survei tidak percaya bahwa KPK bekerja untuk rakyat.
Oleh
SHARON PATRICIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Meski tetap menjadi lembaga terpercaya di Indonesia, hasil Lingkaran Survei Indonesia Denny JA menunjukkan adanya penurunan kepercayaan sebesar tiga persen kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Hasil ini memperjelas bahwa Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi melemahkan lembaga antirasuah.
Hasil survei LSI Denny JA menunjukkan, dari 1.200 responden di 34 provinsi dengan metode wawancara langsung, 89 persen percaya KPK bekerja untuk kepentingan rakyat. Hasil ini sebelum pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan. Namun pasca pilpres, mereka yang percaya bahwa KPK bekerja untuk rakyat cenderung menurun. Meski memang masih cukup tinggi, yaitu sebesar 85,7 persen. Sementara mereka yang kurang percaya terhadap KPK cenderung naik dari 6,5 persen pra pilpres menjadi 8,2 persen pasca pilpres.
Peneliti LSI Denny JA, Adjie Alfaraby menilai penurunan kepercayaan masyarakat terhadap KPK dipengaruhi opini publik yang menyerang lembaga tersebut. Mereka menilai KPK tebang pilih dalam mengungkap dan menyelesaikan kasus.
Selain itu, UU KPK juga dinilai berpengaruh terhadap penurunan kepercayaan. Meski demikian, memang kepercayaan masyarakat di atas 80 persen masih dapat dikatakan tinggi. “Yang menjadi catatan penting kami, turunnya kepercayaan bagi lembaga negara akan berimpilkasi pula pada rendahnya legitimasi dan tingginya antipati publik terhadap kebijakan yang diputuskan,” ujar Adjie.
Ketua Wadah Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Yudi Purnomo menyampaikan, adanya penurunan kepercayaan semakin memperkuat argumentasi upaya pelemahan KPK melalui revisi Undang-Undang (UU) KPK yang berlaku sejak 17 Oktober 2019. Khsusnya dengan kehadiran 26 poin pelemahan dalam UU KPK baru.
“Jelas ini menjadi momok menakutkan bagi masyarakat yang ingin Indonesia bebas dari korupsi dan tak ingin koruptor dengan bebasnya mengkorupsi uang rakyat,” ujar Yudi dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas, Kamis (14/11/2019).
Yudi menilai, revisi UU KPK sangat aneh. Sebab, survei LSI Denny JA sebelum pilpres menunjukkan kinerja KPK dalam memberantas korupsi mendapat kepercayaan masyarakat hingga 89 persen.
Saat ini, kinerja KPK menjadi terhambat dengan UU KPK baru karena belum adanya Dewan Pengawas yang berwenang mengizinkan atau tidaknya penggeledahan, penyitaan dan penyadapan. Dewas pun akan dilantik bersamaan dengan Komisioner KPK baru pada 21 Desember 2019.
Untuk itu, sebelum UU KPK baru benar-benar berlaku penuh, kata Yudi, Presiden Joko Widodo masih memiliki kesempatan untuk menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Langkah koreksi ini dinilai dapat menyelamatkan KPK dalam memberantas korupsi.
“Kami percaya bahwa Presiden akan mengeluarkan perppu apalagi dalam pidato beliau dibeberapa kesempatan menyampaikan akan mengandalkan KPK dalam memberantas korupsi di negeri ini sehingga investor bisa masuk ke Indonesia karena kepercayaan tinggi tidak akan ada penghambat investasi yaitu korupsi dan suap ketika investor berinvestasi di Indonesia,” ujar Yudi.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Tama S Langkun menyampaikan, perppu harus segera diterbitkan. Sebab, telah terjadi kegentingan, salah satunya karena dengan UU KPK baru, Komisioner KPK terpilih, Nurul Ghufron (45) tidak mencapai usia minimum.
Dalam Pasal 29e UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, dikatakan, untuk dapat diangkat sebagai pimpinan KPK harus memenuhi persyaratan sebagai berikut, salah satunya berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan.
“Sejak revisi UU KPK terjadi, kami jelas meragukan, sangat ngeri karena memangkas ruang gerak KPK. Revisi ini kan sebenarnya bukan bergantung pada orang tetapi pada sistem karena yang “dihajar” dalam revisi UU KPK itu bukan orangnya tetapi sistemnya,” ujar Tama. Dengan begitu, siapapun dan bagaimana pun baiknya orang tersebut, jelas upaya pemberantasan korupsi tetap akan terhambat. Maka, perppu tetap diharapkan untuk terbit dalam upaya menyelamatkan pemberantsan korupsi.