Tanpa upaya pengendalian dari seluruh sektor, resistensi antibiotik diperkirakan menjadi pembunuh utama di dunia pada 2050. Tingkat kematian tertinggi diperkirakan terjadi di kawasan Asia, yakni 4,7 juta kematian.
Oleh
dionisia arlinta
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penggunaan antibiotik untuk melawan infeksi virus tidak efektif. Penggunaan yang tidak bijak tersebut justru dapat berisiko menimbulkan resistensi.
Akibatnya, pengobatan menjadi lebih lama, lebih sulit, dan butuh biaya yang lebih mahal. Kondisi ini perlu dipahami lebih baik oleh pasien dan tenaga kesehatan.
Pendiri Yayasan Orang Tua Peduli (YOP) Purnamawati Sujud mengatakan, penyakit yang disebabkan virus, seperti salesma (batuk-pilek), influenza, diare tanpa darah, dan mual-muntah, kerap diresepkan dengan antibiotik. Padahal, penyakit infeksi virus umumnya bisa sembuh sendiri tanpa pengobatan.
Tubuh memiliki mekanisme sendiri untuk melawan virus yang masuk ke dalam tubuh. Padahal, penggunaan antibiotik untuk penyakit infeksi virus merupakan salah satu bentuk penyalahgunaan antibiotik.
”Risiko resistensi antibiotik pun semakin meningkat,” kata Purnamawati dalam diskusi bertajuk ”Resistensi Antibiotik: Ancaman Bencana Kemanusiaan” di Jakarta, Kamis (14/11/2019).
Penyakit yang disebabkan virus, seperti salesma (batuk-pilek), influenza, diare tanpa darah, dan mual-muntah, kerap diresepkan dengan antibiotik. Padahal, penyakit infeksi virus umumnya bisa sembuh sendiri tanpa pengobatan.
Menurut Purnamawati, antibiotik lebih efektif digunakan untuk infeksi bakteri. Cara kerja antibiotik di dalam tubuh adalah dengan membasmi ataupun mempersulit pengembangbiakan bakteri.
Ketika seseorang mengonsumsi antibiotik, tidak semua bakteri akan mati. Sejumlah bakteri lain akan tetap bertahan dan bermutasi menjadi kebal terhadap antibiotik tersebut.
Untuk itulah penggunaan antibiotik yang berulang dan terlalu sering dapat meningkatkan resistensi antibiotik. ”Kondisi tubuh seseorang pun justru bisa semakin memburuk. Ancaman resistensi antibiotik sudah terjadi nyata saat ini, bukan di masa depan,” katanya.
Purnamawati menjelaskan, tanpa upaya pengendalian dari seluruh sektor di lingkup global, resistensi antibiotik (AMR) diperkirakan menjadi pembunuh utama di dunia pada 2050. Tingkat kematian tertinggi diperkirakan terjadi di kawasan Asia, yakni dengan 4,7 juta kematian.
Saat ini, kematian akibat resistensi antibiotik tercatat sekitar 58.000 orang di India, 38.000 orang di Thailand, 25.000 orang di Eropa, dan 23.000 di Amerika Serikat. Sudah banyak bakteri yang menjadi kebal dan tidak lagi mempan dengan antibiotik yang tersedia, sementara pengembangan antibiotik baru butuh waktu yang lama.
”Akses kita terhadap antibiotik sudah tidak ada lagi, beban penyakit infeksi semakin berat untuk ditanggung, dan layanan kesehatan kian mahal dengan hasil yang tidak efektif,” katanya.
Sudah banyak bakteri yang menjadi kebal dan tidak lagi mempan dengan antibiotik yang tersedia, sementara pengembangan antibiotik baru butuh waktu yang lama.
Keamanan pangan
Selain pada penggunaan yang tidak bijaksana pada manusia, resistensi antibiotik juga terjadi akibat keamanan pangan yang tidak terjamin pada hewan ternak, termasuk olahannya. Pemberian antibiotik yang tidak tepat pada hewan ternak, terutama ayam yang banyak dikonsumsi masyarakat, bisa mengancam keamanan pangan.
Pengurus Asosiasi Dokter Hewan Perunggasan Indonesia (ADHI), Wayan Wiryawan, mengatakan, peternak harus menerapkan praktik-praktik peternakan yang baik. Kesehatan hewan ternak harus terus terjaga dengan tidak bergantung pada penggunaan antibiotik.
Antibiotik hanya diperlukan untuk pengobatan ternak yang mengalami sakit akibat infeksi bakteri. Sekarang ini 60-70 persen peternakan skala menengah ke atas sudah terbatas dalam penggunaan antibiotik.
”Untuk itu, sertifikasi melalui NKV (nomor kontrol veteriner) harus semakin didorong. Sertifikasi ini menjadi penanda bahwa produk hewan yang dihasilkan sudah memenuhi syarat higienis dan sanitasi yang memenuhi kelayakan dasar jaminan keamanan produk hewan,” ujarnya.