Ketahanan kelompok NIIS tidak bergantung pada satu pimpinan. Ideolog bisa mati dan berganti tetapi tidak demikian dengan ideologi khilafah. Maka pergerakannya harus tetap diwaspadai
Oleh
sharon patricia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Nasional Penanggulangan Terorisme akan terus meningkatkan kewaspadaan terhadap teror yang dapat terjadi sewaktu-waktu. Terlebih setelah kematian pemimpin Negara Islam di Irak dan Suriah, Abu Bakr al-Baghdadi, dan teror bom bunuh diri di Markas Kepolisian Resor Kota Medan, Sumatera Utara.
Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Irfan Idris menyampaikan, tidak hanya oleh BNPT, tetapi semua lini masyarakat harus diwaspadai serangan aksi kejahatan yang dapat terjadi setiap saat. Sebab, tidak ada orang yang dapat membaca niat pelaku kejahatan.
Potensi terjadinya kejahatan selalu ada. Namun, kerja sama segenap komponen bangsa mutlak diwujudkan agar aksi kejahatan tidak mudah dilakukan oleh para pelaku anarkis.
”BNPT pun terus mengoordinasikan strategi kebijakan dan program penanggulangan terorisme untuk meningkatkan kewaspadaan,” ujar Irfan saat dihubungi Kompas, Kamis (14/11/2019).
Serangan aksi kejahatan yang dapat terjadi setiap saat harus diwaspadai oleh semua lini masyarakat. Sebab, tidak ada orang yang dapat membaca niat pelaku kejahatan.
Irfan menambahkan, upaya deradikalisasi yang ditujukan kepada orang yang terpapar, tersangka, terdakwa, terpidana, narapidana, hingga mantan napi teroris pun terus dilakukan. Deradikalisasi dilakukan dengan pembinaan, pendampingan, dan pemberdayaan.
Berkaca pada teror yang terjadi Rabu (13/11/2019) pagi, Tim Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri masih mendalami keterkaitan Rabbial Muslim Nasution (24) dengan jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Sumatera Utara. Rabial sebagai pelaku tunggal meledakkan dirinya di halaman Markas Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes) Medan sekitar pukul 08.35.
Dalam laporan Center for Strategic and International Studies berjudul ”The Current State of Terrorism in Indonesia: Vulnerable Groups, Networks, and Responses” (2018), JAD dikatakan sebagai salah satu organisasi teroris Indonesia paling aktif dan mengancam. Kelompok ini merupakan afiliasi dari Tauhid Wal Jihad, Jemaah Anshorut Tauhid (JAT), dan Front Pembela Islam Lamongan.
Kelompok JAD yang juga terafiliasi dengan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) dibentuk sejak 2015. Beberapa teror yang dilakukan JAD, yakni peledakan bom Thamrin (2016) dan Pengembangan Kampung Melayu (2017).
Sementara pada 2019, ada dua serangan teror oleh JAD, yaitu ledakan di pos polisi Kartasura, Sukoharjo, Jawa Tengah, Juni lalu. Kedua, serangan di Markas Kepolisian Sektor Wonokromo, Surabaya, Jawa Timur, pada 17 Agustus.
Belum lama ini, kematian al-Baghdadi juga disebut menjadi pemicu dari teror-teror yang terjadi. The Economist, dalam artikel berjudul ”Islamic State After the Death of Abu Bakr al-Baghdadi” (2 November 2019) menyebutkan, ”Khalifah” sudah mati, tetapi kelompok jihadisnya yang sangat keras akan tetap dan terus hidup.
Kematian al-Baghdadi pada 26 Oktober 2019 memang berpengaruh bagi kelompoknya, tetapi hal itu tidak akan lama. Kelompok ini pun tetap menjadi pemberontak di beberapa bagian di Suriah dan Irak.
Hal itu terjadi karena ketahanan kelompok NIIS tidak bergantung pada satu pemimpin. Mereka tetap memiliki birokrasi, semangat ideologis, dan kemampuan memanfaatkan sumber daya lokal.
”Ideologi bisa mati dan berganti, tetapi tidak demikian dengan ideologi khilafah. Maka, pergerakannya harus tetap diwaspadai,” kata Irfan.
Ideologi bisa mati dan berganti, tetapi tidak demikian dengan ideologi khilafah. Maka, pergerakannya harus tetap diwaspadai.
Pengamat intelijen dan terorisme Ridlwan Habib pun sependapat. Menurut dia, kelompok teroris akan tetap militan dan berpikir untuk melakukan teror yang dianggapnya sebagai jihad atau ”tindakan mulia” sekalipun pemimpinnya berganti.
Normalisasi
Ridlwan menyampaikan, memerangi terorisme artinya memerangi ideologi. Terminologi deradikalisasi pun dinilai rancu karena menimbulkan kontroversi dan rawan untuk disalahtafsirkan. Ada yang menganggap positif, ada pula yang menilainya negatif.
Untuk itu istilah yang lebih tepat adalah normalisasi kehidupan beragama. Normalisasi itu baik untuk pencegahan bagi yang berpotensi terpapar ataupun untuk pengobatan bagi yang sudah terpapar ideologi atau tafsir keagamaan yang keliru.
Pencegahan, kata Ridlwan, dapat dilakukan dengan perang terbuka ideologi. Langkah ini dapat dilakukan bersama pemerintah, organisasi masyarakat Islam, partai politik Islam, hingga menggaet para ustaz yang populer di media sosial.
”Ustaz yang populer di media sosial itulah yang harus ngomong ke masyarakat, ’awas loh ada teroris, JAD, ada kelompok penyimpang’. Omongan mereka jelas akan lebih didengar dan diikuti oleh masyarakat,” ujarnya.
Sementara bagi yang sudah terpapar, lanjut Ridlwan, pengobatan harus dilakukan dengan pendekatan psikologis humanis. Bukan dengan pendekatan agama, tetapi pendekatan kekeluargaan untuk menyadarkan bahwa dirinya membutuhkan manusia lain.
”Kalau didoktrin dengan agama, enggak akan bisa. Kami pun di Lapas Gunung Sindur tidak pakai dalil sama sekali, tetapi sama-sama belajar menghafal Al Quran, kemudian ada interaksi, makan bareng, barulah kita bisa menyadarkannya. Jadi, pendekatan kemanusiaan, bukan pemaksaan ideologi,” kata Ridlwan.