Menkeu: Pemda Bertanggung Jawab Mengembalikan Dana Desa Fiktif
Jika terbukti ada desa yang tidak sah, penyaluran dana desanya akan dibekukan. Namun, apabila sudah telanjur ditransfer, Kementerian Keuangan akan meminta kembali dana itu melalui pemerintah daerah.
Oleh
karina isna irawan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah daerah harus mengembalikan anggaran dana desa yang sudah disalurkan untuk desa-desa yang pembentukannya terbukti bermasalah. Pembuktian desa bermasalah menunggu verifikasi ulang oleh Kementerian Dalam Negeri dan audit Badan Pemeriksa Keuangan.
Dugaan adanya desa fiktif penerima alokasi dana desa salah satunya terungkap di Konawe, Sulawesi Tenggara. Ada 101 desa yang dibentuk berdasarkan tiga peraturan daerah (perda) yang diduga kuat bermasalah. Setiap desa rata-rata menerima dana desa Rp 700 juta tiap tahun sejak 2017.
”Jika terbukti ada desa yang tidak sah, penyaluran dana desanya akan dibekukan. Namun, apabila sudah telanjur ditransfer, kami akan meminta kembali melalui pemerintah daerah,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat menjadi pembicara kunci dalam Sosialisasi Transfer ke Daerah dan Dana Desa 2020, di Jakarta, Kamis (14/11/2019).
Jika terbukti ada desa yang tidak sah, penyaluran dana desanya akan dibekukan. Namun, apabila sudah telanjur ditransfer, kami akan meminta kembali melalui pemerintah daerah.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), alokasi dana desa terus meningkat dari Rp 20,8 triliun pada 2015 menjadi Rp 69,8 triliun pada 2019 dan Rp 72 triliun pada 2020 untuk sekitar 74.900 desa di Indonesia. Pada 2019, rata-rata setiap desa mendapatkan alokasi Rp 933,9 juta.
Menurut Sri Mulyani, alokasi dana desa yang meningkat setiap tahun membuka celah penyelewengan data dan anggaran. Saat ini, Kemenkeu bekerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri serta Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi untuk memperbarui data desa.
”Fenomena ini memperingatkan bahwa semua pihak harus berhati-hati. Dana desa yang langsung ditransfer ke daerah dan desa ternyata mulai memunculkan ’entrepreneur’,” kata Sri Mulyani.
Pemimpin daerah, lanjut Sri Mulyani, seharusnya turut mengawasi dana desa. Mereka harus mengetahui kondisi demografi desa di wilayahnya. Sebab, pengalokasian dana desa dari Kemenkeu berdasarkan data-data yang diperoleh dari pemerintah daerah melalui Kemendagri. Salah satu indikator desa fiktif adalah jumlah penduduk di bawah 1.000 orang.
Pemimpin daerah seharusnya turut mengawasi dana desa. Mereka harus mengetahui kondisi demografi desa di wilayahnya. Salah satu indikator desa fiktif adalah jumlah penduduk di bawah 1.000 orang.
Sebelumnya, KPK mengungkap dugaan pengalokasian dana desa ke desa-desa yang diduga fiktif. Dugaan adanya desa-desa fiktif penerimaan dana desa itu sudah diketahui Kemendagri dan Kementerian Keuangan. KPK menyampaikan ada 56 desa fiktif.
Di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, terungkap ada 117 desa yang dibentuk berdasarkan tiga perda yang terbit pada 2011-2014. Namun, perda-perda itu diduga bermasalah karena tidak tercantum di biro hukum daerah atau dikeluarkan setelah ada moratorium pembentukan desa oleh pemerintah. Enam belas desa tercatat dua kali di dua perda sehingga jumlah desa menjadi 101 (Kompas, 12/11/2019).
Kerugian negara
Penyaluran dana desa dari pusat ke daerah dilakukan secara bertahap melalui tiga termin, yaitu sebesar 20 persen pada Januari, 40 persen pada Maret, dan 40 persen pada Juli. Pencairan dana desa hanya bisa dilakukan apabila perangkat desa sudah melaporkan realisasi penyerapan anggaran termin sebelumnya.
”Kerugian negara akibat penyaluran dana desa ke desa-desa yang diduga fiktif menunggu audit Badan Pemeriksa Keuangan,” kata Sri Mulyani.
Pengelolaan dana desa dan alokasi dana desa ini sempat mendapat sorotan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dalam ikhtisar hasil pemeriksaan semester II-2018, BPK menemukan pembagian dan penyaluran dana desa oleh pemerintah kota/kabupaten yang tidak berdasarkan basis data terbaru.
Selain itu, pemerintah kota/kabupaten tidak melakukan perhitungan indeks kesulitan geografis sebagai salah satu variabel untuk menghitung pengalokasian dana desa. Akibatnya, alokasi anggaran per desa menjadi lebih besar atau lebih kecil dari yang seharusnya diterima oleh desa. Hal itu karena pemerintah tidak melakukan pemutakhiran data.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Na Endi Jaweng berpendapat, terungkapnya pengalokasian dana desa ke desa fiktif di Kabupaten Konawe dikhawatirkan adalah puncak gunung es. Ada kemungkinan jumlah desa fiktif lebih banyak karena lemahnya pengawasan.
”Evaluasi laporan penyerapan dana desa dari setiap daerah tidak berjalan. Verifikasi tidak jelas karena kasus sudah berjalan dua tahun anggaran,” ujar Robert.
Robert menambahkan, pengawasan dan pendataan desa menjadi kunci untuk mengatasi persoalan penyelewengan dana desa. Aparat di tingkat daerah harus berperan aktif karena kapasitas pemerintah pusat terbatas. Apalagi, penerima dana desa cukup banyak, yakni sekitar 74.900 desa.