Satu bulan sejak laporan kejahatan seksual yang menimpa H (16), Polres Tangerang Selatan belum berhasil menangkap S, pelaku sekaligus ayah tiri korban. Polisi diminta untuk cepat menangkap pelaku kekerasan seksual itu.
Oleh
Aguido Adri
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Satu bulan sejak laporan kejahatan seksual yang menimpa H (16), Kepolisian Resor Tangerang Selatan belum berhasil menangkap S, pelaku sekaligus ayah tiri korban. Polisi diminta untuk cepat menangkap pelaku kekerasan seksual itu.
Tatapan mata H kosong, ia masih terlihat sedih dan sesekali tidak menunjukkan respons terhadap apa pun yang ada sekelilingnya. Pengalaman pahit membuatnya trauma. Semua berawal ketika ibunya meninggal karena sakit. H hanya tinggal berdua bersama ayah tirinya di wilayah Ciputat, Tangerang Selatan. Saat itu, H berumur 12 tahun dan masih duduk di kelas V sekolah dasar.
Belum lepas rasa duka ditinggal ibu, kesedihan dan penderitaan H semakin bertambah karena mendapat kekerasan seksual oleh ayah tirinya. Ancaman mengunakan pisau membuat perilaku bejat S tak terbongkar hingga H berusia 16 tahun dan hamil dua kali.
Kehamilan pertama saat H berusia 14 tahun. Namun, ia keguguran karena tidak tahu jika dirinya hamil. Awal tahun 2019, H hamil kembali hingga melahirkan anak perempuan.
Kelahiran tersebut membuat nenek dan bibi H kaget dan curiga. Sang nenek pun meminta H bercerita. Saat itulah terungkap bahwa H hamil karena mengalami kekerasan seksual oleh ayah tirinya.
Sang nenek pun melaporkan peristiwa tersebut ke Polres Tangerang Selatan agar polisi segera menangkap dan menghukum pelaku. Namun, sebulan setelah laporan masuk, polisi belum berhasil menangkap S.
”Sampai saat ini pelaku belum ditangkap. Saya mohon polisi serius dan mengerahkan tenaga menangkap S. Cucu saya trauma dan ketakutan,” kata sang nenek, Kamis (14/11/2019).
Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Tangerang Selatan Ajun Komisaris Muharram Wibisono mengatakan, belum ditangkapnya S karena pelaku diduga berpindah-pindah tempat tinggal. Pelaku diketahui seorang pemulung.
”Kami terus menyelidiki persembunyian pelaku. Kami terus berusaha mencari,” kata Muharram.
Menanggapi kasus kekerasan seksual yang menimpa H, Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi mengatakan, H harus mendapat perlindungan, perhatian, dan pendampingan dari Pemerintah Kota Tangerang Selatan.
”Permasalahan ini sudah dibahas di tingkat pemkot yang akan berkoordinasi dengan polres. Perlu upaya pencegahan aksi kekerasan seksual terhadap anak-anak dengan memberdayakan anggota satgas perlindungan anak sehingga tidak ada lagi kasus serupa,” kata Seto yang juga akan terus memantau perkembangan proses penyelidikan polisi.
Orang terdekat
Kasus kekerasan dan kejahatan seksual menjadi persoalan serius dalam rumah tangga di Indonesia. Situasi ini menunjukkan anak Indonesia sangat rentan dieksploitasi. Ironisnya, ancaman eksploitasi terhadap anak sering kali dilakukan orangtua dan orang terdekat yang seharusnya jadi benteng perlindungan pertama.
Komisioner Bidang Trafficking dan Eksploitasi Komisi Perlindungan Anak Indonesia Ai Maryati Solihah mengatakan, kasus kejahatan seksual yang dilakukan orangtua kepada anak atau inses selama tahun 2019 cukup tinggi. Kasus kejahatan itu tidak hanya dilakukan ayah kepada anaknya, tetapi juga dilakukan ibu kandung.
”Ini menjadi pemicu bagi kita semua untuk menguatkan dan mengoptimalkan sistem perlindungan anak di Indonesia dari level keluarga. Sebab, yang harus kita hadapi malah orang-orang terdekat yang semestinya memberikan perlindungan kepada anak-anak,” ucapnya.
Menurut Maryati, penyebab anak rentan menjadi korban kejahatan seksual, terutama di keluarga, dipicu banyak faktor. Salah satunya adalah ketidaktahuan anak terhadap organ reproduksinya sehingga rawan menjadi korban pelecehan, kekerasan, dan kejahatan seksual.
Ketidaktahuan itu terjadi karena pendidikan reproduksi di keluarga selama ini tidak berjalan. Hal ini menjadi pekerjaan rumah seluruh keluarga di Indonesia.
”Kalau anak memiliki pemahaman reproduksi yang baik, dia akan memproteksi diri dalam memperlakukan tubuhnya,” katanya.
Kedudukan korban dan pelaku tidak setara sehingga pelaku menyalahgunakan posisinya yang lebih kuat untuk menyerang dan menggunakan korban demi kepentingan pelaku.
Selain itu, menurut Maryati, keretakan hubungan dalam keluarga juga berpengaruh signifikan terhadap anak karena salah satu hak dasar anak adalah hak pengasuhan. Ketika hak itu tak terpenuhi akibat keretakan hubungan antarorangtua, anak kehilangan figur ayah ataupun ibu.
Meski Indonesia memiliki banyak peraturan perlindungan anak, kata Maryati, hal itu tak cukup untuk menyelesaikan persoalan kekerasan dan kejahatan seksual terhadap anak Indonesia. Hal yang diperlukan adalah membangun sistem dukungan komunitas.
”Sistem dukungan komunitas itu menyangkut undang-undang, orangtua, pemerintah, sekolah, dan masyarakat harus bergerak. Kemudian ekonomi, yakni penciptaan lapangan kerja, agar orangtua punya penghasilan,” ujarnya.
Menurut psikolog dari Yayasan Pulih, Gisella Tani Pratiwi, kekerasan seksual terjadi karena adanya ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dan korban. Ketimpangan itu bisa terjadi karena aspek sosial, jender, ekonomi, dan usia. ”Kedudukan korban dan pelaku tidak setara sehingga pelaku menyalahgunakan posisinya yang lebih kuat untuk menyerang dan menggunakan korban demi kepentingan pelaku,” kata Gisella.
Kekerasan seksual kepada anak dapat membawa beragam dampak terhadap pola pikir, emosi, dan perilakunya. ”Kebanyakan merasa bingung, tidak aman, dan cemas. Banyak juga yang merasa dirinya tidak lagi berharga dan mungkin berkembang menjadi gangguan psikologis yang lebih serius, seperti PTSD (post traumatic syndrome disorder),” ujarnya (Kompas, 21/10/2019).