Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sepakat melanjutkan pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sepakat melanjutkan pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Bahkan, sejumlah anggota Komisi VIII mendukung melanjutkan pembahasan RUU tersebut agar segera disahkan menjadi undang-undang.
Kesepakatan untuk melanjutkan proses legislasi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual disampaikan Ketua Komisi VIII DPR Yandri Susanto saat membacakan kesimpulan Rapat Kerja Komisi VIII DPR dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Rabu (13/11/2019), di Ruang Rapat Komisi VIII DPR, kompleks Parlemen Senayan, Jakarta.
Rapat kerja yang dipimpin Ketua Komisi VIII Yandri Susanto tersebut dihadiri hampir semua (sekitar 40 orang) anggota Komisi VIII DPR dari sembilan fraksi. Selain Yandri, empat unsur pimpinan komisi juga hadir. Menteri PPPA I Gusti Ayu Bintang Darwawati hadir didampingi Sekretaris Menteri Pribudiarta Sitepu, Deputi Perlindungan Hak Perempuan Vennetia R Dannes, Deputi Tumbuh Kembang Anak Lenny N Rosalin, Deputi Perlindungan Anak Nahar, Deputi Bidang Kesetaraan Jender Agustina Erni, dan staf ahli menteri.
Kesepakatan untuk melanjutkan pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tersebut disambut gembira oleh Menteri PPPA, dan siap menindaklanjuti hal tersebut. “Pembahasan tidak akan mengulang kembali, Cuma mencari persepsi yang sama, kemudian ranah, gongnya seperti apa, supaya tidak rancu, tidak bias. Kayaknya tidak akan mulai dari nol,” kata Bintang seusai raker.
Pembahasan tidak akan mengulang kembali, Cuma mencari persepsi yang sama, kemudian ranah, gongnya seperti apa, supaya tidak rancu, tidak bias. Kayaknya tidak akan mulai dari nol.
Kelanjutan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, menjadi salah satu agenda raker di Komisi VIII DPR, selain pembahasan evaluasi program dan anggaran tahun 2019, rencana program tahun 2020, dan isu aktual lainnya.
Darurat kekerasan seksual
Zainul Arifin dari Fraksi Partai Gerindra mengungkapkan fraksinya sejak DPR periode lalu mendorong agar RUU Penghapusan Kekerasan Seksual masuk program legislasi nasional dan segera disahkan menjadi UU. “Kondisinya sudah darurat dan penanganan tindak pidana kekerasan seksual saat ini sangat membutuhkan aturan ini dari segi perlindungan korban, prioritas utama adalah perlindungan korban,” ujarnya.
Hal yang sama juga disampaikan Delmeria dari Fraksi Partai Nasdem dan Maman Imanul Haq dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, yang berharap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual bisa disahkan menjadi UU.
Pada awal paparan kepada DPR, Bintang juga menyampaikan perkembangan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, yakni hingga rapat terakhir 25 September 2019 (rapat panitia kerja DPR dan pemerintah) disepakati untuk pembentukan tim perumus (timus) dan menyepakati substansi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual meliputi pencegahan, perlindungan, dan rehabilitasi.
Pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual akan dilakukan sesuai Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 12/2011 tentang Peraturan Pembentukan Perundang-undangan.
“Pembahasan lebih lanjut mengenai RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sesuai dengan ketentuan pasal 71 a UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Penyelesaian RUU Penghapusan Kekerasan Seksual akan di-carry-over pada masa periode DPR yang baru tahun 2019-2024,” kata Bintang.
Vennetia R Danes menambahkan bahwa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual akan menjawab semua tantangan-tantangan ke depan terutama pengaturan tentang kekerasan seksual di Indonesia dari segi pencegahan, perlindungan terhadap korban maupun penanganan, rehabilitasi dan lain-lain. Karena semua itu bisa dicakup di dalam RUU tersebut.
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual akan menjawab semua tantangan-tantangan ke depan terutama pengaturan tentang kekerasan seksual di Indonesia.
“Pengaturan dalam KUHP itu sangat terbatas dan sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan jaman. Agar lebih komprehensif dalam menanggulangi kekerasan seksual, berdasarkan hasil penelitian panjang yang dilakukan terhadap korban kekerasan seksual, kita butuh sekali undang-undang penghapusan kekerasan seksual,“ kata Vennetia.
Berbagai persoalan
Selain RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, dalam raker tersebut, sejumlah anggota Komisi VIII juga memaparkan berbagai persoalan terkait perempuan dan anak, seperti maraknya perkawinan anak, pekerja anak, perundungan, kekerasan seksual, perdagangan anak, serta anak yang terjerat penggunaan gawai yang berlebihan.
Bintang mengakui, lima tantangan KPPPA yang dihadapi dalam lima tahun ke depan adalah tingginya kekerasan terhadap perempuan dan anak, perkawinan anak, dan pekerja anak. Selain itu, rendahnya tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan serta peran keluarga dalam pengasuhan anak.
Di akhir raker, Komisi VIII juga meminta KPPPA meningkatkan koordinasi dan kerjasama dengan kementerian/lembaga agar program-program KPPPA tepat sasaran dalam menyelesaikan berbagai masalah perempuan dan anak.