Penebangan Pohon Timbulkan Kerugian Materi dan Nonmateri
Oleh
Helena F Nababan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS Upaya penggantian pepohonan di Jakarta menimbulkan banyak kerugian, baik kerugian materi juga nonmateri. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta diminta meninjau ulang penebangan pohon yang dilakukan tanpa kajian mendalam.
Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) Ahmad Safrudin, Rabu (13/11/2019), menjelaskan, revitalisasi pohon dengan menebang lalu mengganti dengan tanaman baru itu tidak sederhana.
Dengan menebang pohon begitu saja, lanjutnya, negara kehilangan aset penting berupa pohon-pohon yang bisa dihitung nilai rupiahnya. Penanaman bibit pohon saat ini dihitung Rp 200.000 per pohon. Lalu biaya pemeliharaan seperti pemupukan dan penyiraman, saat ini antara Rp 20.000-Rp 30.000 per bulan. "Ambil rata-rata per tahun sekitar Rp 300.000 per pohon untuk perawatan."
Untuk angsana berumur sekitar 30 tahun yang ditebang, nilainya Rp 300.000 x 30 tahun atau sekitar Rp 9 juta. Angka ini masih ditambah harga bibit Rp 200.000.
"Ya kurang lebih itu nilai aset satu pohon yang adalah aset negara, sekitar Rp 9 juta. Tinggal dikalikan jumlah pohon yang ditebang, itulah kerugian negara," jelas Ahmad.
Penebangan pohon juga menimbulkan kerugian lain. Utamanya nilai lingkungan. Satu pohon berumur setidaknya 12 tahun menghasilkan sekitar 2 kg oksigen sehari. Produksi oksigen ini bisa menghidupi dua orang.
Kalau sebatang pohon besar ditebang dengan dalih pohon itu diganti, maka pohon pengganti perlu minimal 12 tahun atau rata-rata 16 tahun untuk menggantikan fungsi pohon lawas. "Kalau di Jakarta waktu malam ada 10 juta jiwa, paling tidak harus ada 5 juta pohon agar warga bisa bernafas sehari semalaman," jelasnya.
Pohon, kata Ahmad, juga bisa menjerat polutan PM 2,5 dan PM 10 serta sulfur dioksida. Polutan dijerat di daun dan batang pohon, kemudian saat hujan luruh ke tanah.
Pohon pun mampu menyerap karbondioksida. Di siang hari, pohon perlu mengolah makanan. Pohon akan menyedot makanan dari akar dan di daun diolah melalui proses fotosintesis.
"Dari proses ini, pohon mengeluarkan oksigen. Di sisi lain, daun butuh bahan bakar dengan menyerap karbondioksida," jelasnya.
Kebutuhan karbondioksida untuk setiap pohon itu berbeda. Kalau angsana butuh 310 gram karbondioksida per jam. Pohon tabebuya hanya 25 gram per jam atau sepertigabelas dari angsana.
Dengan pohon ditebang, jelas Ahmad, dalam konteks perubahan iklim, penyerapan karbon monoksida tidak terjadi.
Sebagai aset negara karena ditanam dan dirawat dengan dana dari APBD, menebang pohon sama saja menghilangkan aset negara dan itu pidana kalau tidak ada alasan tertentu untuk menebang pohon.
"Dan untuk menghilangkan aset negara itu tidak mudah karena harus diketahui perbendaharaan negara meski pohon dibiayai dengan ABPD. Itu ada aturannya tentang aset negara," jelasnya.
Akademisi ekologi pohon dari Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung Ichsan Suwandhi menjelaskan, penebangan pohon pada dasarnya sah bila pohon sudah terlalu tua dan berbahaya bagi masyarakat. Akan tetapi, penebangan perlu direncanakan secara matang.
Untuk penebangan, ada fase regenerasi, yakni penggantian pohon dengan menanam pohon muda. Tujuannya agar tidak menimbulkan kerugian ekologis. Sebelum penebangan dilakukan, lanjut Ichsan, idealnya ada regenerasi dari pohon-pohon yang baru di dekat pohon yang akan diganti.
Penebangan pun bertahap. Menebang pohon secara spontan dan sporadis membuat areal menjadi sangat panas dan polutan tidak terserap.
"Penebangan yang tepat biasanya dilakukan setelah ada tanaman regenerator yang ditanam 2-5 tahun sebelum pohon besar ditebang," jelasnya.
Penebangan yang tepat biasanya dilakukan setelah ada tanaman regenerator yang ditanam 2-5 tahun sebelum pohon besar ditebang.
Satu pohon perkotaan, kata Ichsan, memiliki nilai ekologi, nilai sosial, dan estetika. Nilai-nilai ekologis pohon di jalur hijau di antaranya nilai peneduhan, nilai penurunan suhu, nilai serapan karbon, nilai serapan polutan, dan nilai pengaturan tata air.