Menuntaskan persoalan hak dan kesehatan reproduksi perempuan akan berkontribusi besar dalam pengurangan kemiskinan global, serta tercapainya target pembangunan berkelanjutan.
Oleh
M Zaid Wahyudi dari Nairobi, Kenya
·3 menit baca
Menuntaskan persoalan hak dan kesehatan reproduksi perempuan akan berkontribusi besar dalam pengurangan kemiskinan global, serta tercapainya target pembangunan berkelanjutan.
NAIROBI, KOMPAS — Pelaksanaan Program Aksi Konferensi Kependudukan dan Pembangunan Internasional (ICPD) di Kairo, Mesir pada 1994 membawa banyak kemajuan bagi perempuan. Namun, hingga 25 tahun program aksi itu berjalan, masih banyak perempuan di dunia belum terpenuhi hak-hak kesehatan reproduksi dan seksualnya.
ICPD Kairo 1994 berhasil menempatkan perempuan sebagai pusat pembangunan global. "Namun, visi ICPD masih jauh dari kenyataan," kata Direktur Eksekutif Badan Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA) Natalia Kanem dalam pembukaan Pertemuan Tingkat Tinggi Nairobi ICPD25 di Nairobi, Kenya, Selasa (12/11/2019).
ICPD Kairo 1994 berhasil menempatkan perempuan sebagai pusat pembangunan global. Namun, visi ICPD masih jauh dari kenyataan.
Pertemuan Tingkat Tinggi Nairobi ICPD25 digelar dalam rangka peringatan 25 tahun ICPD Kairo. Dalam pertemuan tersebut hadir sekitar 6.000 orang dari lebih 160 negara.
Saat ini, di seluruh dunia, 800 perempuan meninggal setiap hari akibat kehamilan dan persalinan walau sebenarnya bisa dicegah. Sebanyak 33.000 anak perempuan dipaksa menikah. Selain itu, 4 juta anak perempuan masih disunat (female genital mutilation) dengan alasan non medis dan 232 juta perempuan tak bisa mengakses layanan kontrasepsi meski mereka menginginkannya.
Untuk Indonesia, sekitar 5 juta perempuan yang ingin menggunakan kontrasepsi belum terlayani. Sebanyak 1-2 ibu meninggal setiap jamnya akibat hamil dan melahirkan. Sedangkan 1 dari 3 perempuan pernah mengalami kekerasan minimal sekali seumur hidupnya. Praktik kawin anak dan sunat perempuan juga menempatkan perempuan dalam bahaya.
"Sekarang waktunya menyelesaikan berbagai masalah yang belum tuntas," tambah Natalia.
Deputi Sekretaris Jenderal PBB Amina J Mohammed menambahkan menuntaskan berbagai persoalan yang masih dihadapi perempuan penting untuk memastikan tidak ada seorangpun yang tertinggal dalam pembangunan. "Tercapainya agenda ICPD akan berkontribusi besar dalam pencapaian Target Pembangunan Berkelanjutan (SDG) 2030," katanya.
Menuntaskan berbagai persoalan yang masih dihadapi perempuan penting untuk memastikan tidak ada seorangpun yang tertinggal dalam pembangunan.
Menjaga kesehatan dan terpenuhinya hak-hak perempuan juga penting bagi bangsa. Presiden Kenya, Uhuru Kenyatta mengatakan perempuan adalah penjaga kesehatan keluarga karena mereka memiliki kekuatan dan pengaruh yang besar untuk menjaga kesehatan anak-anak mereka dan melestarikan generasi.
"Pemberdayaan perempuan sejatinya adalah pemberdayaan keluarga, masyarakat, bangsa, dan dunia," tambahnya.
Untuk mengakhiri kematian ibu melahirkan, kebutuhan penggunaan kontrasepsi yang tak terlayani serta kekerasan berbasis jender dan praktik-praktik berbahaya bagi perempuan hingga 10 tahun kedepan saat target SDG harus dicapai, studi UNFPA dan beberapa universitas menunjukkan, dunia butuh dana sebesar 264 miliar dollar Amerika Serikat atau sekitar Rp 3.700 triliun.
Mengumpulkan dana sebesar itu memang tidak mudah. Namun dana itu lebih kecil dibanding berbagai kebutuhan dunia untuk membiayai berbagai operasi militer. Dampak kerugian bagi dunia atas tidak terpenuhinya hak dan kesehatan reproduksi dan seksual itu justru jauh lebih besar dibanding investasi yang diperlukan tersebut.
"Beban kemiskinan dunia sebagian besar ditanggung oleh perempuan dan anak perempuan," tambah Amina. Karena itu, menuntaskan persoalan hak dan kesehatan reproduksi perempuan akan berkontribusi besar dalam pengurangan kemiskinan global.
Beban kemiskinan dunia sebagian besar ditanggung oleh perempuan dan anak perempuan.
Komitmen Indonesia
Sementara itu, Indonesia dalam Pertemuan Tingkat Tinggi Nairobi itu juga berkomitmen untuk menjalankan agenda ICPD dan mewujudkan \'three-zero\' pada 2030 yaitu menurunkan kematian ibu yang bisa dicegah, menuntaskan persoalan keinginan warga yang ingin menggunakan kontrasepsi tapi tak terlayani dan menuntaskan kekerasan berbasis gender, seperti pernikahan anak.
Meski demikian, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Hasto Wardoyo selaku Ketua Delegasi RI mengatakan Indonesia belum bisa berkomitmen secara penuh dengan seluruh upaya untuk mewujudkan \'three-zero\'.
Untuk mengatasi kesenjangan penggunaan kontrasepsi, jika dunia mendesak pemberian akses kontrasepsi menyeluruh bagi semua, termasuk remaja, Indonesia hanya mewujudkannya bagi pasangan usia subur saja. Demikian pula dalam persoalan aborsi, Indonesia hanya membolehkan dilakukan untuk alasan tertentu, seperti pertimbangan medis, korban perkosaan, atau kehamilan yang berusia kurang dari 40 hari.
"Komitmen Indonesia untuk mewujudkan \'three-zero\' sejalan dengan nilai dan kearifan lokal serta hukum nasional yang berlaku," kata Hasto.