Presiden Jokowi mengingatkan para pejabat daerah untuk mendukung agenda strategis nasional. Salah satunya dengan mengubah mental koruptif dan lamban bekerja
Oleh
Laksana Agung Saputra
·3 menit baca
BOGOR, KOMPAS—Presiden Joko Widodo mempersoalkan mental koruptif dan budaya kerja lamban aparatur negara di pusat dan daerah. Mental tersebut telah merugikan rakyat sekaligus menggembosi potensi maju bangsa. Untuk itu, reformasi dan perubahan paradigma secara besar-besaran menjadi keniscayaan.
Gugatan tersebut disampaikan Presiden saat memberikan arahan kepada 2.693 pejabat daerah pada Rapat Koordinasi Nasional Pemerintah Pusat dan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah di Bogor, Jawa Barat, Rabu (13/11/2019). Pejabat daerah yang dimaksud adalah gubernur, bupati, wali kota, sekretaris daerah, pimpinan DPRD, serta pimpinan lembaga vertikal di tingkat kabupaten dan kota serta provinsi dari kejaksaan, kepolisian, TNI, dan pengadilan.
Dalam kesempatan itu Presiden mengingatkan semua aparatur negara agar memahami sekaligus mendukung agenda strategis bangsa lima tahun ke depan, yaitu penciptaan lapangan kerja melalui peningkatan investasi dan ekspor. Selama ini, menurut Presiden, hambatan utama untuk melaksanakan agenda strategis bangsa justru berada di kalangan aparatur negara sendiri, termasuk aparatur di daerah.
Hambatan utama untuk melaksanakan agenda strategis bangsa justru berada di kalangan aparatur negara sendiri.
Hambatan itu berupa banyaknya produksi peraturan, ruwetnya perizinan, lambannya eksekusi program, dan minimnya kepastian hukum. Persoalan ini berkelindan dengan mental buruk aparatur negara, seperti budaya ingin dilayani ketimbang melayani, serta nafsu meraup keuntungan pribadi dengan menyalahgunakan kewenangan melalui pungutan liar, pemerasan, dan korupsi.
Presiden juga menyoroti lambannya eksekusi program pemerintah. Hingga November ini, misalnya, masih terdapat paket pekerjaan senilai Rp 31 triliun yang berada dalam tahap lelang elektronik. Padahal, model eksekusi yang menumpuk pada akhir tahun akan menyebabkan kualitas hasil pengerjaan buruk dan pertumbuhan ekonomi tidak maksimal.
”Ini konstruksi lho. Kayak gini masih diteruskan. Mau jadi apa barang itu. Kalau ada jembatan ambruk, ada SD ambruk, gedung SMP ambruk, ya enggak kaget saya,” kata Presiden. Ia pun mempertanyakan mengapa lelang tidak dilakukan sejak Januari sehingga pengerjaan proyek bisa selesai Agustus atau September.
Regulasi
Saat ini, menurut Presiden, banyak aturan dan ruwetnya perizinan. Ini kontraproduktif dengan kebutuhan masa kini yang mensyaratkan fleksibilitas dan kecepatan kerja aparatur negara. Indonesia dinilai memiliki terlalu banyak aturan, padahal sebenarnya yang harus dijaga adalah kepastian hukum.
”Semua diatur, malah kita kejerat sendiri. Hati-hati. Stop itu. Saya tahu kalau buat perda (peraturan daerah), itu pasti ada kunker (kunjungan kerja), ada studi banding. Saya ngerti, saya ngerti. Tapi, stop. Dan di kunker itu ada apanya, saya juga ngerti. Di studi banding itu ada apanya, saya juga ngerti. Saya ini orang lapangan, jadi ngerti betul kayak gitu-gitu itu. Sudahlah, stop. Apalagi perda-perda yang justru meruwetkan dan membebani masyarakat. Stop,” tutur Presiden.
Presiden pun meminta penegak hukum mengedepankan upaya preventif dan tidak mengkriminalisasi kebijakan. ”Jangan ada kebijakan dikriminalisasi,” kata Presiden.
Saya ini orang lapangan, jadi ngerti betul kayak gitu-gitu itu. Sudahlah, stop.
Presiden meminta semua aparatur negara di pusat dan daerah mendukung agenda strategis bangsa. ”Sekali lagi, cipta lapangan kerja adalah agenda besar bangsa kita. Meningkatkan ekspor, menurunkan impor, juga agenda besar bangsa kita. Jangan pernah ada yang bermain-main di area ini. Saya sudah wanti-wanti betul. Di area ini, kalau masih ada yang main-main, saya gigit sendiri,” kata Presiden.
Sementara itu, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyatakan, pemerintah daerah berperan penting menyukseskan agenda strategis bangsa. Agenda tersebut mesti diakomodasi dalam program dan anggaran di daerah.
”Hampir semua persoalan menyangkut daerah. Apalagi di era otonomi daerah, bentuk otonomi daerah memberi keleluasaan pemimpin daerah mengembangkan program. Akan tetapi, sebagai sistem kenegaraan dan pemerintahan, daerah juga harus mengakomodasi rencana besar nasional,” tutur Tito.