Revisi UU Pilkada Diajukan, Pilkada Langsung Dievaluasi
Komisi II DPR mengajukan revisi UU Pilkada untuk masuk dalam Prolegnas 2020. Mekanisme pilkada langsung kemungkinan termasuk dievaluasi. DPR diingatkan, memilih pemimpin daerah secara langsung telah menjadi komitmen.
JAKARTA, KOMPAS — Keinginan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengevaluasi pemilihan kepala daerah atau pilkada selaras dengan keinginan Komisi II DPR. Revisi Undang-Undang Pilkada diajukan Komisi II untuk masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional Prioritas 2020. Ada kemungkinan revisi termasuk mengembalikan mekanisme pilkada dari langsung oleh rakyat menjadi dipilih Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arwani Thomafi seusai diskusi bertajuk ”Akankah Pemilihan Kepala Daerah Dikembalikan ke DPRD?” di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (14/11/2019), mengatakan, evaluasi pilkada memang menjadi pembicaraan di Komisi II.
Sebagai tindak lanjut, revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada menjadi salah satu yang diusulkan Komisi II ke Badan Legislasi (Baleg) DPR agar masuk ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020.
Namun, dari sekian banyak Rancangan UU (RUU) yang diajukan, Komisi II hanya mendapatkan jatah dua sampai tiga RUU untuk masuk daftar Prolegnas 2020. Jadi, jika revisi UU Pilkada tak masuk dalam prioritas tahun depan, kata Arwani, akan diperjuangkan untuk masuk dalam daftar Prolegnas Prioritas 2020-2024.
”Kemungkinan (masuk Prolegnas 2020) itu masih terbuka, bisa saja dibahas. Revisi tidak hanya menyangkut satu atau dua pasal saja. (Materinya) terkait dengan keinginan kita menyederhanakan tahapan, membuat terobosan perbaikan pilkada langsung, dan mungkin ada keinginan kuat untuk bagaimana (mengubah) sistem pilkada itu sendiri,” ujarnya.
Baca juga: Komisi II Tolak Larangan Bekas Napi Korupsi Ikut Pilkada, KPU Maju Terus
Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia Tandjung menambahkan, Komisi II menargetkan untuk menuntaskan pembahasan RUU yang terkait sistem politik, termasuk kepemiluan hingga akhir 2020.
Pembahasan nantinya akan berlangsung dalam satu paket, contohnya paket revisi UU Pilkada akan bersamaan dengan revisi UU Pemerintahan Daerah dan UU Pemerintahan Desa. Sementara itu, paket revisi UU Pemilu akan bersamaan dengan revisi UU Partai Politik.
Ketua Baleg DPR dari Fraksi Partai Gerindra Supratman Andi Agtas membenarkan, Komisi II telah mengusulkan sejumlah RUU untuk masuk dalam Prolegnas 2020, salah satunya revisi UU Pilkada. Namun, usulan belum dilengkapi dengan naskah akademik dan draf RUU. Oleh karena itu, belum diketahui pula revisi bersifat terbatas atau menyeluruh.
”Belum ada keputusan apakah revisi UU Pilkada akan masuk dalam Prolegnas 2020. Komisi II mengusulkan untuk jangka menengah 2020-2024,” kata Supratman.
Sejumlah opsi
Arwani yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Umum PPP mengatakan, fraksinya sudah mengkaji mekanisme pilkada langsung sejak 2014. Hasil kajian menunjukkan bahwa sistem pemilihan tersebut lebih banyak memberikan kerugian, salah satunya terkait biaya politik yang tinggi. Oleh karena itu, PPP cenderung memilih mengubah pilkada langsung menjadi dipilih oleh DPRD.
Baca juga: Anggaran Pilkada 2020 Hampir Mencapai Rp 10 Triliun
”Kami ingin prinsip kedaulatan rakyat itu benar-benar akhirnya rakyat yang berdaulat. Kalau sekarang, bisa dirasakan yang berdaulat itu uang,” ujar Arwani.
Namun, menurut Doli, gagasan untuk mengubah keseluruhan pilkada menjadi tidak langsung terlalu tergesa-gesa. Namun, pilkada tidak langsung bisa saja dilakukan dengan mempertimbangkan titik berat otonomi daerah, dari segi keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan.
”Jika keterlibatan rakyat dalam pengambilan keputusan itu (lebih besar) di kabupaten/kota, kita tetapkan saja pilkada langsung di tingkat itu. Sementara di provinsi, karena merupakan kepanjangan tangan pemerintah pusat, mungkin tidak perlu dilaksanakan secara langsung,” kata Doli.
Pilihan lain, kata Doli, menentukan langsung atau tidaknya pilkada dengan pertimbangan indeks demokrasi dan efek demokrasi di suatu daerah. Pilkada langsung lebih cocok dilaksanakan di wilayah perkotaan yang masyarakatnya berpendidikan tinggi dan cenderung tak terpengaruh politik uang.
Ketua Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Agustin Teras Narang berpendapat, idealnya pilkada langsung hanya untuk pemilihan gubernur. Sebab, gubernur merupakan wakil pemerintah pusat di daerah sekaligus memiliki tugas membina pemerintah kota dan kabupaten.
Baca juga: Kelemahan di UU Pilkada Dapat Memicu Kekacauan
Pilkada langsung juga tak perlu diterapkan di semua level karena tingginya biaya politik. Biaya politik untuk berkontestasi dalam pilkada langsung di tingkat provinsi dan kabupaten/kota mencapai lebih dari Rp 300 miliar. ”Ke depan, kita menginginkan penghematan anggaran agar bisa fokus pada pengembangan sumber daya manusia,” ujar Teras.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yang pertama kali mewacanakan perlunya mengevaluasi pilkada. Salah satunya mengevaluasi mekanisme pilkada langsung. Alasannya biaya politik yang tinggi. Ini disampaikannya beberapa hari lalu seusai rapat dengan Komisi II DPR.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia Aditya Perdana mengatakan, sistem pemilihan langsung bukan faktor determinan terhadap biaya politik yang mahal. Hal itu juga dipengaruhi perilaku politisi yang terjebak dalam lingkaran setan politik uang, menganggap tak bisa mendapatkan dukungan tanpa uang.
Menurut dia, pilkada melalui DPRD memang memberikan keuntungan bagi politisi, yakni memberikan kepastian suara yang didapat melalui penghitungan perolehan suara partai di DPRD. Dengan begitu, sejumlah dana yang dikeluarkan hampir dipastikan bermanfaat. Hal itu berkebalikan dengan pilkada langsung yang tak bisa memberikan kepastian jumlah uang yang harus dikeluarkan, apalagi perolehan suara.
Akan tetapi, perlu diingat bahwa Indonesia telah berkomitmen untuk mengadakan pemilihan langsung, baik untuk memilih pejabat eksekutif maupun legislatif. Komitmen berdemokrasi yang telah dibangun selama 20 tahun ini tak boleh dirusak begitu saja.
”Komitmen ini yang semestinya dipertahankan. Suara rakyat itu merupakan yang utama, suara rakyat yang harusnya benar-benar diperhitungkan, bukan suara wakilnya di DPRD,” kata Aditya.
Baca juga: Saatnya Beralih ke Pemilu Elektronik?
Niat lama
Keinginan mengubah mekanisme pilkada dari langsung oleh rakyat menjadi dipilih oleh DPRD sudah mengemuka saat pembahasan RUU Pilkada pada 2014.
Saat itu, pemerintah mengusulkan gubernur dipilih DPRD dan bupati/wali kota dipilih langsung. Lalu, berubah menjadi gubernur yang dipilih langsung dan bupati/wali kota dipilih DPRD.
Kemudian dalam Rapat Paripurna DPR, 26 September 2014, diputuskan pemilihan gubernur dan bupati/wali kota seluruhnya oleh DPRD. Keputusan diambil dengan cara pemungutan suara.
Sebanyak 226 anggota DPR dari lima fraksi, yaitu Golkar, Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, dan Partai Persatuan Pembangunan, mendukung pilkada oleh DPRD. Adapun yang memilih pilkada langsung hanya 135 anggota DPR dari tiga fraksi, yaitu PDI-P, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Hanura. Sementara 124 anggota DPR dari Demokrat memilih walk out dengan alasan opsi pilkada langsung dengan 10 koreksi tidak diakomodasi dalam Rapat Paripurna DPR.
Alasan yang terkesan dicari-cari karena saat itu PDI-P, PKB, dan Hanura sebenarnya sudah mendukung opsi yang diajukan oleh Demokrat, Kompas (27/9/2014).
Solidnya kelima partai atau kala itu disebut Koalisi Merah Putih (KMP), koalisi partai politik pengusung calon presiden-wakil presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa di Pemilu Presiden 2014, mendukung pilkada oleh DPRD ditengarai bagian dari upaya KMP menguasai kursi kepala/wakil kepala daerah. KMP hendak dipermanenkan untuk tujuan tersebut.
Baca juga: Manajemen Pemilu di Negeri Padat Pemilih, India
Presiden saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono, yang juga Ketua Umum Demokrat, mengaku kecewa dengan hasil voting terkait RUU Pilkada. Protes publik atas perubahan mekanisme pilkada pun bermunculan dan meluas karena pemilihan oleh DPRD mencabut hak rakyat untuk memilih langsung pimpinan daerah mereka.
Baca juga: Berebut Tiket Pilkada di "Kandang Banteng"
Selang dua pekan setelah Rapat Paripurna DPR, Presiden Yudhoyono menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang membatalkan UU Pilkada yang di dalamnya mengatur pilkada oleh DPRD. Presiden menjelaskan dasar kegentingan memaksa yang dijadikan alasan dikeluarkannya perppu.
”Saya mendengarkan dengan saksama aspirasi rakyat yang sangat kuat untuk menolak pilkada tidak langsung. Padahal, saya berpandangan, setiap rancangan undang-undang yang disusun haruslah mendapatkan dukungan dari masyarakat Indonesia,” katanya, Kompas (3/10/2014).