Suporter Manchester City membangun loyalitasnya sejak mereka lahir. Mereka tidak silau dengan kemegahan klub tetangga, Manchester United, saat berjaya. Kini, loyalitas mereka mulai terbayar dengan prestasi City.
Oleh
Agung Setyahadi dari Milan, Italia
·4 menit baca
Lewat tengah malam, namun kehidupan baru dimulai di sebuah bar dekat Stasiun Milano Centrale. Bar yang biasanya dikunjungi tamu bersahaja itu berubah riuh. Puluhan suporter klub sepak bola Manchester City membanjiri bar yang biasanya tutup selepas tengah malam itu.
Mereka mengisi malam dengan mengobrol dan sesekali tertawa keras ditemani berbotol-botol ”air kata-kata”. Bahasa Inggris logat British menghangatkan malam yang dingin di Kota Milan, Italia, Selasa (5/11/2019). Di tengah keriuhan itu, Mark Turner meninggalkan rekan-rekannya yang masih asyik ngobrol. Matanya tertuju pada patung sepasang pria dan wanita berwarna emas yang menempel di tembok hotel seberang bar.
Keinginan Mark berfoto dengan sepasang patung itu membuka jalan perkenalan pada para suporter setia Manchester City itu. Setelah meminta difotokan menggunakan telepon pintarnya, Mark mengajak bergabung ke bar. Mereka sedang menghabiskan malam sebelum mendukung City melawan Atalanta pada laga penyisihan grup C Liga Champions di Stadion San Siro, Milan, Rabu malam atau Kamis (7/11) dini hari WIB. Atalanta menjamu City di San Siro karena Stadio Atleti Azzurri d\'Italia di Bergamo sedang dibangun ulang.
Mark datang ke Milan bersama 12 teman dekatnya. Di bar itu, mereka bergabung dengan kelompok suporter City lainnya. Usia mereka beragam, 30-an tahun seperti Mark, 50-an tahun seperti Alan Booth, hingga anak-anak muda di awal 20-an seperti putra Alan, Josh Booth. Mereka ramah dan bisa membahas apa saja, asal jangan tentang rival sekota City, Machester United.
”Apa?” ujar Chris dengan mimik wajah tak percaya, ketika ditanya pendapatnya tentang MU.
“Klub apa itu? Saya tak pernah mendengar ada klub itu,” ujar Chris disusul tawa keras suporter penghuni dua meja persegi di sudut bar.
Bagi mereka, hanya ada warna biru di Manchester, bukan merah. Mark bahkan tidak bertegur sapa dengan tetangganya yang mendukung Manchester United. ”Ya, ada, dan kami tidak pernah bertegur sapa,” ujar Mark dengan mimik serius.
Warisan keluarga
Militansi Mark, Chris, Alan, Josh, dan kawan-kawan dalam mendukung Manchester City merupakan proses panjang indoktrinasi keluarga. Mereka sejak kecil selalu diajak oleh ayah atau paman menonton langsung laga Manchester City. Proses mewariskan ”ideologi biru” itu sekaligus menanamkan prinsip loyalitas.
”Suporter itu harus loyal dan setia, selalu mendukung klub saat di atas maupun di bawah,” ujar Mark, yang sejak usia 5 tahun rutin diajak menonton langsung laga City.
Masa remaja menjadi masa yang sulit bagi Mark, karena Manchester City berada di kasta bawah dibandingkan Manchester United yang mendominasi Liga Inggris. Ujian loyalitas itu perlahan terbayar seiring kembalinya Manchester City ke Liga Primer Inggris musim 2002-2003.
Mark merasakan momen paling bahagia saat gol Sergio Aguero di menit ke-90+5 pada laga terakhir musim 2011-2012. Gol itu mengantar City menang 3-2 atas Queens Park Rangers dan juara Liga Inggris. City juara dengan keunggulan selisih gol atas MU.
”Saya ada di stadion waktu itu. Stadion seperti meledak, kami berteriak, menangis, karena sangat bahagia. Itu momen yang menakjubkan,” kenang Mark, yang kini berharap City mengangkat trofi Liga Champions.
Sejak dibeli oleh kelompok investor Abu Dhabi pada 2008, City semakin kuat. Bahkan kini performanya mengungguli MU yang tertatih-tatih di kompetisi domestik. ”Kini mereka yang di bawah, kami di atas. Dulu kami yang di bawah, tetapi kami tidak pernah berhenti mendukung Manchester City,” ujar Chris.
Saking cintanya Chris pada Manchester City, anaknya yang baru lahir pun sudah dia daftarkan sebagai suporter ”The Citizen”. Itu juga dilakukan oleh Mark pada dua putrinya. ”Semua yang ada di sini melakukan itu, dua putri saya juga sudah menjadi suporter City,” ujar Mark yang berprofesi sebagai desainer interior.
Alan dan Josh merupakan contoh nyata hasil indoktrinasi keluarga. Josh sejak kecil di ajak Alan mendukung City di setiap pertandingan. Kini Josh menjadi teman seperjalanan Alan ke berbagai negara mendukung City. Saking loyalnya, Alan dan Josh setiap musim mendapat prioritas membeli tiket semusim City. Hak istimewa itu diberikan pada suporter setia dengan catatan bagus dalam sportivitas.
”Saya sudah pergi ke mana-mana mendukung Manchester City,” ujar Alan sambil memamerkan foto-foto dirinya di tribune berbagai stadion, dari markas Ajax Amsterdam hingga kandang Real Madrid.
Untuk mendukung City berlaga di Liga Champions, yang bergulir di tengah pekan, banyak suporter setia itu yang izin tidak masuk kerja. Konsekuensinya, gaji mereka dipotong selama absen. Itu pilihan yang berat mengingat biaya hidup di Inggris tidak murah.
Namun, pengorbanan itu sudah menjadi tradisi mengakar sejak mereka lahir. Ayah, paman, tetangga, sahabat, melakukan itu turun-temurun. Bagi mereka, menjadi suporter ”Manchester Biru” adalah berkah. Itulah salah satu spirit moto City, superbia in proelia, yang mengungkit kebanggaan di setiap pertempuran.