Puluhan tahun Sumarsono (72) menggeluti besi dan baja bekas. Bahan-bahan keras ia taklukan dan ia ubah menjadi karya seni yang indah. Sebagian karya yang lahir dari tangannya telah mengembara hingga manca negara.
Oleh
Defri Werdiono
·5 menit baca
Bengkel kerja milik Sumarsono yang akrab disapa Ono Gaf atau Ono di pinggir Jalan Halmahera, kawasan Pasar Comboran, Kota Malang, Jawa Timur, bagai gudang berisi tumpukan besi bekas. Namun, jika diperhatikan beberapa tumpukan besi tersebut telah dirangkai dalam aneka bentuk seperti burung dan robot. Ada pula besi rongkosan yang dirangkai dalam bentuk abstrak. Sebagian telah selesai dirangkai, sebagian baru setengah jadi.
Siang itu, Sabtu (2/11/2019), Ono sedang istirahat di bengkelnya. Karat, gemuk, dan aroma besi bekas menempel di lengan dan pakaian yang ia kenakan. Bercak darah kering masih melekat di sela-sela jemarinya akibat luka gores ketika bekerja. Maklum, hampir tidak ada bahan yang lembut, semuanya keras dan berat. Bahan-bahan itu mesti ia "taklukkan" dengan las dan gerinda.
Tentu saja ini bukan pekerjaan ringan. Ono mesti mengerahkan pikiran dan tenaganya untuk membentuk besi dan baja jadi karya yang indah. Namun, pekerjaan keras itu juga menempa tubuhnya. Kini, di usia ke-72, Ono masih mampu mengangkat besi dan baja berbobot puluhan kilogram.
Kalau di luar negeri ada sekitar 25 buah, seperti Afrika Selatan, Inggris, dan Jerman.
Tak ada rongsokan besi atau baja khusus yang digunakan oleh Ono. Ia bisa menggunakan besi dan baja bekas apa saja mulai onderdil kendaraan, alat pertanian, hingga peralatan rumah tangga. Benda-benda itu ia peroleh dari pasar besi bekas di Malang, Pasuruan, Blitar, hingga Bali. Saat ini, ia memiliki persediaan enam ton besi dan baja bekas yang menunggu untuk ia ubah menjadi karya seni.
Karya-karya Ono terpajang di sejumlah tempat. Salah satunya patung kura-kura berbobot 10 ton dan tinggi tiga meter yang kini dipasang di salah satu rumah makan di Kota Batu. Pembuatan patung itu memakan waktu lima bulan. Sebagian karyanya juga dipasang di luar negeri seperti Australia, Inggris, Jerman, dan Afrika. Salah satunya adalah patung
“Banyak, kalau dijumlah ada ribuan yang sudah saya hasilkan. Kalau di luar negeri ada sekitar 25 buah, seperti Afrika Selatan, Inggris, dan Jerman. Di Malang ada beberapa dokter yang memiliki karya saya,” tutur “Man of Steel” itu juga mengaku karyanya tersebar di sejumlah negara.
Seniman nyentrik ini juga pernah membuat patung burung emu yang mirip burung onta di Perth, Australia, tahun 2014. Untuk membuat patung itu, ia berkolaborasi dengan seniman asal Negeri Kanguru itu dan seniman asal Selandia Baru. Konsep karya dibuat oleh Ono, sedangkan dua seniman yang bermitra dengannya menyuplai bahan baku.
Pertengahan 2019, Ono berkolaborasi dengan seorang seniman asal Inggris Michelle Laing (34) di Malang. Hasilnya sebuah patung manusia kontemporer dan burung berbahan metal bekas. Sayangnya, salah satu karya ini lenyap disikat maling. “Patung setinggi dua meter itu dicuri orang beberapa bulan lalu. Tempatnya, ya di workshop ini. Mungkin pelakunya beberapa orang dan mengerti seni,” ujar lelaki tua berambut panjang itu.
Saat ini Ono tengah sibuk membuat rentetan karya Abstrak. Ada seorang kurator yang menawarkan kepadanya untuk menyelenggarakan pameran di Galeri Nasional. Saat ini, ia telah mengumpulkan sekitar 50 karya yang ditaruh di rumah dan bengkel kerjanya.
Waktu yang dibutuhkan Ono untuk membuat karya tidak tentu. Ada patung yang selesai dalam hitungan jam namun ada pula yang butuh waktu lebih dari satu tahun. “Saya tidak bisa dikejar waktu. Saya ingin memiliki kebebasan dan berkreasi,” tutur lelaki yang pernah menggelar pameran tunggal di Konsulat Jenderal Amerika di Surabaya tahun 1975 dan 1976 itu.
Memikirkan besi
Ono mengaku belajar membuat patung, sketsa, dan gambar secara otodidak sejak remaja. Ia tidak tahu dari mana darah seni mengalir di tubuhnya karena ayahnya Abdul Gafur adalah seorang penjahit jas, sedangkan ibunya, Sri Bana, menekuni bordir.
Lingkungan tempat tinggal Ono ketika kecil di daerah Kidul Pasar (Malang) dekat dengan pasar barang rongsokan besi dan baja bekas. Tidak heran ia akrab dengan barang-barang seperti itu.
Saat masih duduk di bangku Sekolah Rakyat, Ono mulai belajar membuat perkakas pertanian mulai sabit, pisau, dan cangkul pada seorang pande besi yang juga tetangganya. Ia juga belajar cara mengelas besi di sebuah bengkel mobil Eropa milik tetangga lainnya. “Sejak kecil saya membantu keduanya. Banyak pengaruh dari situ yang saya dapatkan,” tuturnya.
Ono lantas mulai berkreasi membuat benda-benda dari paku yang dilindaskan pada roda kereta api. Tak ada bentuk khusus yang ingin ia buat. “Saya bebas saja berekspresi. Jadi bentuknya masih abstrak. Paku yang sudah pipih saya rangkai dengan cara saya panaskan di bara (pande),” ucapnya.
Ketika melihat besi dan baja bekas, seolah saya berbicara dengan benda itu
Seiring waktu, ia makin matang. Ia sanggup "menyulap" rongsokan besi menjadi benda-benda yang tampak hidup dan bernyawa meski bentuknya abstrak. Ia lantas menceritakan bagaimana caranya bekerja. “Ketika melihat besi dan baja bekas, seolah saya berbicara dengan benda itu. Karakter dan bentuk besi atau baja itu harus cocok dengan imajinasi saya. Karena saya memikirkan besi ini hidup dua kali. Pertama, tadinya besi ini bagian kendaraan yang bisa jalan (hidup) kemudian rusak (mati). Nah, sekarang besi itu saya bentuk lagi dalam wujud seni (hidup lagi),” katanya.
Di usianya yang makin tua, Ono masih memiliki tekad untuk terus berkarya. Buat dia, tak ada batas usia untuk berkarya.