Tantangan Integrasi Transportasi Publik Ibu Kota (1)
Selama tiga tahun terakhir ini, Pemprov DKI Jakarta telah mengembangkan sistem integrasi antarmoda angkutan umum.
Sistem integrasi angkutan umum Ibu Kota mendapat apresiasi positif dari publik Jabodetabek. Namun, frekuensi moda, waktu tunggu, dan lokasi yang nyaman masih butuh perbaikan. Warga pun belum sepenuhnya memanfaatkan moda integrasi yang disediakan pemerintah.
Saat ini wilayah Jabodetabek telah dilayani berbagai moda angkutan umum. Angkutan berbasis rel seperti MRT melayani jalur Lebak Bulus-Bundaran HI dan kereta komuter menghubungkan Bodetabek dengan Jakarta. Jangkauan angkutan itu dibantu oleh kehadiran bus Transjakarta, angkot, dan bajaj sebagai angkutan pengumpan dari lingkungan permukiman menuju stasiun/halte terdekat.
Sayangnya, antarmoda tersebut belum terkoneksi dengan baik. Masih perlu dibangun sistem integrasi antarmoda, yaitu satu bentuk manajemen sistem transportasi publik yang mengombinasikan dua atau lebih angkutan umum. Tujuannya agar pergerakan penumpang berkesinambungan, tepat waktu, dan ada pelayanan dari pintu ke pintu.
Bentuk integrasi moda berupa fisik dan sistem. Integrasi fisik berupa bangunan stasiun, serta trotoar dan rute angkutan. Bentuk integrasi sistem berupa institusi, tarif, penjadwalan, dan penegakan hukum.
Selama tiga tahun terakhir ini, Pemprov DKI Jakarta telah mengembangkan sistem integrasi antarmoda angkutan umum. Diawali pada April 2017, PT Transjakarta bekerja sama dengan angkot Koperasi Wahana Kalpika (KWK). Penumpang cukup menunjukkan kartu khusus ke sopir untuk bisa naik angkot KWK gratis. Kartu khusus integrasi tersebut dijual di sejumlah halte Transjakarta yang rutenya bersinggungan dengan rute integrasi angkot KWK. Kartu Sahabat KWK dijual dengan harga Rp 15.000 yang berlaku satu bulan.
Angkot berperan sebagai angkutan lingkungan ke-10 rute setelah penumpang turun dari Transjakarta. Angkot pengumpan ini beroperasi pada jam sibuk berangkat dan pulang kantor, yakni pukul 05-00-pukul 09.00 dan pukul 16.00-pukul 20.00.
Namun program Integrasi KWK-Transjakarta hanya berlaku hingga November 2017. Sistem manajemennya belum berjalan baik, seperti pembelian kartu yang hanya bisa dibeli pada awal bulan saja dan tidak tersedia pada halte yang ditentukan. Selain itu, angkot KWK juga sering terlambat.
Setelah itu, pada 14 Desember 2017, di era pemerintahan Gubernur Anies Baswedan-Sandiaga Uno, diluncurkan program OK OTrip. Ini adalah sistem transportasi terintegrasi dari rute, manajemen, dan pembayaran. Sistem pembayarannya berbeda dengan angkot KWK, yakni Rp 5.000 bisa digunakan untuk angkot dan bus Transjakarta, asalkan waktu perjalanannya kurang dari tiga jam. Alat pembayarannya menggunakan kartu OK Otrip yang bisa dibeli seharga Rp 40.000 dengan saldo Rp 20.000.
Selanjutnya, per 1 Oktober 2018 program OK OTrip berganti nama menjadi Jak Lingko. Sistem integrasinya sama dengan OK OTrip, hanya saja angkutan umum yang bergabung lebih banyak, bukan hanya angkot, melainkan juga ada bus Transjakarta. Hingga Juli 2019, sudah ada 800 mikrolet dan 3.305 bus Transjakarta yang telah terintegrasi dengan Program Jak Lingko ini.
Apresiasi positif
Berbagai upaya integrasi antarmoda selama dua tahun terakhir ini diapresiasi publik Jabodetabek. Sebanyak tiga perempat responden Jajak Pendapat Kompas, akhir Agustus 2019, menyebutkan, sistem pergantian angkutan umum yang ada sekarang ini telah berjalan baik.
Salah satu contohnya adalah kisah Bagus (30), karyawan swasta yang sepuluh tahun lebih tinggal di Singapura. Dia mau menggunakan angkutan umum saat berlibur di Jakarta selama tiga bulan. ”Transportasi di Jakarta sekarang tidak berbeda jauh dengan di Singapura, lumayan,” katanya saat ditanya pengalaman awal naik angkutan umum di Jakarta.
Bagus menyebutkan, meski waktu tunggu angkutan umum di Jakarta memang belum secepat Singapura, sebagai langkah awal sudah cukup bagus. Keberadaan moda umum dan sistem integrasinya membuat biaya transportasi Bagus selama liburan di Jakarta cukup murah. ”Dibandingkan saya harus naik taksi online setiap hari dari Bekasi, naik kereta komuter dan sambung dengan bus sangat murah,” tambahnya.
Aplikasi informasi angkutan umum Trafi cukup membantu Bagus untuk berpindah tempat menggunakan angkutan umum. Dia tak perlu lagi banyak bertanya pada orang lain untuk berpindah tempat di Jakarta.
Meski sistem integrasi transportasi publik sudah mendapat banyak dukungan dari mayoritas warga jajak pendapat, masih ada sejumlah kekurangan yang harus segera diperbaiki. Pertama mengenai perpindahan angkutan umum.
Hampir 40 persen responden menyebutkan tidak ingin ada perpindahan moda. Artinya, menginginkan sekali naik angkutan umum dari rumah menuju tempat aktivitas, seperti kalau menggunakan kendaraan pribadi. Namun, harapan ini tidak mungkin terwujud karena untuk mobilitas dari lingkungan permukiman menuju tempat aktivitas jika menggunakan angkutan umum, paling tidak akan melalui satu kali pergantian moda.
Harapan berganti satu kali moda diungkapkan oleh 38 persen responden. Kelompok responden tersebut menginginkan dua kali naik moda dari rumah menuju tempat aktivitasnya. Pergantian satu kali moda ini menjadi titik krusial orang mau menggunakan angkutan umum. Warga yang terbiasa menggunakan kendaraan pribadi memberi toleransi dua kali berganti moda, misal dari rumah ke halte/stasiun, kemudian berlanjut dari halte/stasiun tersebut menuju tempat aktivitas.
Jika sudah berganti tiga kali moda, orang akan memilih kembali menggunakan kendaraan pribadi ataupun ojek daring. Seperti Ariyani (40), karyawan swasta di Jakarta yang memilih naik ojek daring dari rumahnya di Klender, Jakarta Timur, menuju kantornya di Palmerah, Jakarta Barat. Rute Ariyani tersebut dilalui oleh jalur kereta komuter.
Jika menggunakan kereta, karyawan swasta tersebut harus berganti moda sebanyak lima kali. Dari rumahnya ke Stasiun Klender menggunakan ojek daring. Berlanjut menumpang KRL yang berhenti di Stasiun Manggarai. Perjalanannya dilanjutkan dengan kereta Bogor-Duri atau Bogor-Jatinegara yang transit di Stasiun Tanah Abang. Setelah itu, Ariyani harus menggunakan kereta lintas Serpong dari Tanah Abang dan berhenti di Stasiun Palmerah. Itu belum cukup, dia masih harus berjalan kaki menuju kantornya sejauh 300 meter.
Perjalanan berganti lima kali moda tersebut jelas melelahkan bagi Ariyani. Akhirnya Ariyani menjatuhkan pilihan pada ojek daring. Namun karena jarak rumah ke kantornya mencapai 22 kilometer, jarang ada ojek daring yang mau menjemputnya. Ariyani mengakalinya dengan dua kali memesan ojek daring.
Persoalan Ariyani terjawab dengan integrasi moda angkutan di mana indikator kinerja utama Rencana Induk Transportasi Jakarta (RITJ) menyebutkan, perpindahan moda sekali jalan maksimal adalah tiga kali. Perpindahan moda hingga lima kali seperti yang dialami Ariyani jelas menyalahi ketentuan dan menjauhkan warga Jakarta dari angkutan umum. (Bersambung) (M. Puteri Rosalina)