Dua dekade berlalu dan Maria Catarina Sumarsih masih mencari keadilan bagi putra sulungnya, Bernardus Realino Norma Irawan atau Wawan yang menjadi salah satu dari 17 orang tewas saat Tragedi Semanggi I, November 1998.
Oleh
Riana Afifah Ibrahim)
·3 menit baca
Sudah 21 tahun Maria Catarina Sumarsih mencari keadilan bagi putra sulungnya, Bernardus Realino Norma Irawan atau Wawan. Wawan menjadi salah satu dari 17 orang yang tewas saat Tragedi Semanggi I, 11-13 November 1998. Meski memakan banyak korban, pelakunya belum juga terungkap hingga hari ini.
Sebuah tempat kecil di Matalokal, Kawasan Blok M, Jakarta Selatan, disulap menjadi museum kecil selama 12-13 November 2019 ini untuk memajang foto dan memorabilia tentang Tragedi Semanggi I. Barang-barang pribadi korban turut dipajang. Di sudut berdekatan dengan pintu masuk, kaus oblong putih yang dipakai Wawan terakhir kali dipajang. Puisi-puisinya berisikan kegetiran tentang kondisi negara dan harapan perubahan Indonesia ke arah yang lebih baik bersanding dengan kenangan milik Sigit Prasetyo, korban lain. Di dinding bagian dalam terpasang rangkaian komik tentang Tragedi Semanggi I dan kemuraman para keluarga yang ditinggalkan.
Kehilanganmu secara fisik tidak mengendurkan semangat ibu untuk berjuang, melanjutkan semangatmu.
Di tengah lalu lalang anak muda yang keluar masuk ruangan untuk mencoba menilik sejarah yang belum tuntas di ruangan itu, Sumarsih turut hadir. Suratnya untuk Wawan pun ikut ditampilkan. ”Kehilanganmu secara fisik tidak mengendurkan semangat ibu untuk berjuang, melanjutkan semangatmu. Berbagai cara ibu lakukan bersama keluarga korban dari berbagai kasus, dan para sahabatmu. Apa kamu tahu Kamisan, Wan? Sejak 2007, Ibu melakukan aksi bersama ibu-ibu lainnya di depan Istana Presiden, berpayung hitam, berbaju hitam untuk mengingatkan kasusmu dan banyak kasus lainnya yang belum selesai. Sudah 13 tahun Kamisan berjalan, negara masih diam tidak memberi jawaban.”
Ada juga surat ibunda Sigit, Sumartini. ”Ini ibu, Git, Ku harap kamu masih mengingatku sebaik aku mengingatmu di usia lanjutku kini. Sayangnya, negara tampak memang ingin lupa, Nak. Perjuanganku mengingatmu, perjuangan kawan-kawanmu menolak lupa, dan orang-orang yang merawat memori diredam, dibungkam, dan dibuat bisu. Namun, sama seperti Sigitku, aku akan terus mengingat, menolak lupa bahwa perjuangan memang butuh kedisiplinan, kecerdasan, dan kekuatan hati agar terkristalisasi.”
Membicarakan kasus pelanggaran HAM masa lalu memang seperti berbicara pada dinding tebal di negeri ini. Puri Kencana Putri dari Amnesty International menyampaikan, harapan sempat muncul di era Presiden Joko Widodo saat ada pembentukan tim baru untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu pada 2015. Namun, penuntasannya tak mudah. Berkas penyelidikan kasus tersebut hanya bolak-balik dari Komnas HAM ke Kejaksaan Agung.
”Terakhir dikembalikan ke Komnas HAM pada 27 November 2018 oleh kejaksaan. Dikembalikan lagi, kepada Jaksa Agung pada Januari 2019 dan hingga kini belum ada respons dari Kejaksaan Agung,” kata Puri.
Perjuangan menolak lupa ini memang belum akan usai. Berkaca pada kisah para ibu yang juga melakukan gerakan di Plaza de Mayo, Argentina, setidaknya butuh waktu 29 tahun sampai akhirnya pintu keadilan terbuka. Apakah Sumarsih dan keluarga korban harus menghabiskan selama itu?