Tempe bermartabat karena pangan berbahan baku kedelai ini merupakan sumber protein nabati yang baik.
Oleh
J Galuh Bimantara
·3 menit baca
”Kita bangsa besar, kita bukan bangsa tempe,” ucap presiden pertama RI Soekarno di masa silam. Ujaran tersebut kerap disalahpahami, membuat produk kuliner asli Indonesia bernama tempe acap kali direndahkan rakyatnya sendiri. Padahal, tempe sesungguhnya punya martabat tinggi.
Tempe bermartabat karena pangan berbahan baku kedelai ini merupakan sumber protein nabati yang baik. Proses fermentasi pada tempe membuat protein kedelai mudah diserap tubuh. Tempe juga cocok untuk penyandang diabetes karena seratnya yang tinggi membuat mudah kenyang.
Sari Bondan dari Lingkar Budaya Indonesia (LBI) menambahkan, dibanding sumber protein hewani, seperti daging sapi, tempe punya keunggulan. Selain tempe mudah didapat dan murah, risiko kesehatan dari mengonsumsi tempe lebih rendah dibanding daging. ”Khasiatnya seperti daging, tetapi lebih rendah risikonya. Contohnya, (risiko) darah tinggi (lebih rendah),” ucapnya, Kamis (14/11/2019).
Agar semakin banyak masyarakat yang mengetahui martabat tempe, LBI bekerja sama dengan Benteng Heritage dan Persaudaraan Peranakan Tionghoa Warga Indonesia (Pertiwi) menghelat Tempe Festival 2019, Sabtu (16/11/2019), di Roemah Boedaja Roemboer, Jalan Cilangkap Nomor 44, Pasar Lama, Tangerang. Acara dimulai pukul 10.00 dan selesai pukul 17.00.
Dalam festival ini, pengunjung akan mendapatkan edukasi tentang cara mengolah tempe secara benar agar khasiatnya bagi tubuh terjamin. ”Menggoreng itu cara yang salah. Raginya mati,” ujar Sari.
Jika penasaran bagaimana cara memasak dan mengonsumsi tempe yang tepat agar bisa berkontribusi pada kesehatan, datanglah ke Tempe Festival 2019 dan ikutilah diskusi dengan ilmu yang bakal dibagikan pegiat tempe, Sasmiyarsi Katoppo, istri mendiang wartawan legendaris Aristides Katoppo; dan chef asal Malaysia, Eek Kee Hoo. Eek Kee punya inovasi dalam menyajikan tempe di restorannya, yaitu menyediakan sushi tempe.
Dalam agenda itu, masyarakat yang hadir juga akan mendapat tambahan wawasan soal beragam kreasi mengolah tempe. Dipadukan dengan cara memasak khas negara manca pun tidak masalah, misalnya tempe bisa untuk dibuat jadi hamburger tempe, spageti tempe, hot dog tempe, dan canape tempe. Namun, karena tempat terbatas, Sari meminta masyarakat yang tertarik bergabung di diskusi untuk mendaftar terlebih dahulu melalui nomor telepon 0811854195 atau 0818770507.
Untuk menambah semarak, panitia menyiapkan lomba memasak tempe bagi pengunjung yang berminat. Bahan-bahan dan alat memasak sudah disiapkan. Untuk datang ke festival dan mengikuti lomba, pengunjung dibebaskan dari biaya apa pun.
Menurut Sari, sudah semestinya tempe berjaya sebagai sumber protein di rumahnya sendiri, termasuk untuk mengatasi permasalahan kurang gizi dan gizi buruk pada anak-anak Tanah Air. Di Quito, Ekuador, salah satu produsen tempe bahkan mempromosikan tempe sebagai Indonesian superfood.
Jika sudah demikian, makan tempe setiap hari tidak akan membuat malu. Predikat ”bangsa tempe” bakal membanggakan rakyat Indonesia suatu saat nanti.