Jalan Panjang Membangun Kilang Minyak
Produksi tambang minyak Indonesia masih kekurangan 700.000 barel per hari. Sementara pembangunan kilang terakhir dikerjakan seperempat abad lalu.
Tahukah Anda, kapan terakhir kali Indonesia membangun kilang? Cukup lama, yakni 25 tahun lalu. Produktivitas kilang yang ada sangat jauh dari harapan. Dengan kemampuan produksi bahan bakar minyak hanya 800.000 barel per hari, praktis masih ada kekurangan sekitar 700.000 barel per hari.
Alhasil, kekurangan pasokan bahan bakar tersebut harus diperoleh melalui impor. Tak ada yang salah dengan impor, sepanjang mampu memberikan nilai tambah yang produktif. Persoalannya, impor bahan bakar minyak (BBM) dan minyak mentah menekan neraca perdagangan Indonesia hingga defisit.
Pada periode Januari-September 2019, neraca perdagangan Indonesia defisit 1,945 miliar dollar AS. Defisit terutama akibat defisit di neraca migas sebesar 6,441 miliar dollar AS. Pada Januari-September 2018, defisit neraca migas lebih besar, yakni 9,453 miliar dollar AS.
Sejak 2004, Indonesia beralih status dari semula negara nett eksportir minyak atau pengekspor bersih minyak menjadi negara nett importir minyak atau pengimpor bersih minyak. Artinya, kendati Indonesia mengekspor minyak dan mengimpor minyak, perhitungan akhirnya, lebih besar impor daripada ekspor.
Penyebabnya adalah produksi minyak mentah di dalam negeri yang timpang dengan kebutuhan konsumsi BBM nasional. Produksi minyak mentah dalam negeri saat ini kurang dari 800.000 barel per hari atau hanya separuh dari kebutuhan harian nasional.
Kilang menjadi sangat penting untuk mengurangi komponen impor energi kita. Apabila kapasitas kilang yang tersedia cukup atau melebihi volume konsumsi BBM harian secara nasional, Indonesia hanya cukup mengimpor minyak mentah. Dari segi devisa akan ada penghematan.
Selain itu, impor minyak mentah dan BBM di masa lalu merupakan praktik subur bagi para pemburu rente yang dikenal sebagai mafia migas. Mereka (pemburu rente) mengambil untung dari setiap barel minyak mentah atau BBM yang diimpor.
Pertamina Trading Energy Ltd atau Petral, unit usaha PT Pertamina (Persero) di bidang impor migas, ditengarai sebagai salah satu sumber inefisiensi dalam pengadaan impor minyak.
Sejak dibubarkan pada akhir 2014—melalui rekomendasi Tim Reformasi Tata Kelola Migas yang diketuai Faisal Basri—Pertamina mengklaim ada efisiensi 30-40 sen dollar AS per barel dari minyak mentah dan BBM yang diimpor. Dengan kata lain, pada saat Petral masih beroperasi, ada pemborosan 30-40 sen dollar AS per barel dari volume minyak mentah dan BBM yang diimpor.
Jika dikalikan dengan 700.000 barel per hari, artinya ada inefisiensi (sedikitnya) Rp 1,07 triliun per tahun. Bukan angka yang sedikit.
Percepatan
Untuk menekan impor migas, pemerintah, lewat penunjukan kepada Pertamina, mengusung megaproyek yang disebut sebagai program pengembangan kilang (refinery development master plan/RDMP) dan pembangunan kilang baru (new grass root refinery/NGRR). Pemerintah juga menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 146 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Pembangunan dan Pengembangan Kilang Minyak di Dalam Negeri. Inti penerbitan regulasi ini untuk mempercepat pengembangan dan pembangunan kilang di Indonesia.
”Banyak yang tak suka saat mendengar Indonesia mau membangun kilang baru. Mereka khawatir bisnisnya terganggu lantaran impor BBM bakal berkurang,” kata Direktur Utama Pertamina 2017-2018 Elia Massa Manik dalam wawancara khusus dengan Kompas, saat ia masih menjabat.
Megaproyek kilang ini masuk dalam daftar proyek prioritas nasional. Ada empat proyek RDMP dan dua proyek pembangunan kilang baru. Keempat proyek RDMP tersebut adalah kilang Cilacap (Jawa Tengah), Balongan (Jawa Barat), Balikpapan (Kalimantan Timur), dan Dumai (Riau). Sementara dua kilang baru yang hendak dibangun adalah kilang Tuban (Jawa Timur) dan Bontang (Kalimantan Timur). Secara keseluruhan, investasi yang dibutuhkan untuk pembiayaan megaproyek ini berkisar Rp 500 triliun sampai Rp 600 triliun.
”Megaproyek ini akan meningkatkan kapasitas kilang Pertamina dari 1 juta barel per hari menjadi 2 juta barel per hari. Proyek ini dijadwalkan rampung pada 2026,” kata Direktur Megaproyek Pengolahan dan Petrokimia Pertamina Ignatius Tallulembang dalam sebuah paparan, pekan lalu, di Jakarta.
Ignatius menambahkan, kilang baru di Tuban dan Bontang akan berkapasitas masing-masing 300.000 barel per hari. Mutu produk BBM pada kilang program pengembangan ataupun kilang baru akan setara dengan euro-V atau beroktan tinggi. Selain itu, Pertamina juga menjanjikan seluruh kilang dalam program ini terintegrasi dengan produk petrokimia.
Dari sisi pemerintah, pembangunan kilang ingin dituntaskan lebih cepat. Kendati Pertamina menargetkan seluruh proyek peningkatan kapasitas kilang dan pembangunan kilang baru rampung pada 2026, menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, pihaknya berusaha agar realisasinya bisa lebih cepat. Pemerintah akan mendukung langkah Pertamina untuk mempercepat realisasi proyek ini. Namun, ia mengakui, dalam setiap proyek sudah ada tahapan-tahapan terukurnya.
”Kalau kita tidak punya kilang, kita akan sangat bergantung pada pasar jika ada kebutuhan bahan bakar minyak yang mendadak atau sewaktu-waktu. Membeli (bahan bakar minyak) dari pihak lain, mereka pula yang menikmati segala nilai tambahnya,” ujar Arifin.
Berdasarkan data Pertamina, akan ada penambahan dan penghematan devisa senilai 12 miliar dollar AS jika proyek pengembangan dan pembangunan kilang baru rampung. Selain itu, Pertamina juga menjanjikan serapan tenaga kerja 172.000 orang selama proyek berlangsung sampai beroperasinya kilang-kilang tersebut. Dari serapan tenaga kerja sebanyak itu, sekitar 50 persen di antaranya adalah sumber daya lokal.
Momentum
Menurut Wakil Ketua Komite Industri Hulu dan Petrokimia pada Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Achmad Widjaja, megaproyek kilang Pertamina adalah momentum memperkuat industri petrokimia di dalam negeri. Kilang-kilang tersebut seluruhnya harus terintegrasi dengan industri petrokimia. Selama ini, produk petrokimia dalam negeri masih bergantung pada swasta yang produksinya juga terbatas.
”Sekitar 5,5 juta ton per tahun produk petrokimia masih diimpor, sedangkan kemampuan dalam negeri hanya 3 juta ton per tahun. Jadi, megaproyek kilang Pertamina sekaligus momentum untuk menggairahkan industri petrokimia dalam negeri,” ujar Achmad.
Sekitar 5,5 juta ton per tahun produk petrokimia masih diimpor.
Bahan baku industri petrokimia dihasilkan dari, antara lain, hasil pengolahan minyak mentah pada kilang. Naftah, produk pengolahan minyak mentah di kilang, adalah bahan baku penting untuk plastik, serat ban, tekstil, detergen, dan obat-obatan.
Pemerintah sudah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 146 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Pembangunan dan Pengembangan Kilang Minyak di Dalam Negeri.
Dengan pertumbuhan penduduk dan aktivitas ekonomi yang menggeliat, konsumsi energi di Indonesia diperkirakan melonjak. Pertamina menghitung, kebutuhan BBM nasional pada 2025 akan melonjak menjadi 1,7 juta barel per hari, dari saat ini yang sekitar 1,5 juta barel per hari. Oleh karena itu, kebutuhan infrastruktur kilang adalah hal mutlak yang tak bisa ditawar.
Kilang tak melulu soal kecukupan pasokan bahan bakar. Lebih dari itu, membangun kilang adalah sebuah usaha panjang untuk membangun ketahanan energi. Selain itu, kilang juga mampu menaikkan nilai tambah yang manfaatnya akan dirasakan sendiri oleh Indonesia, bukan pihak pengekspor bahan bakar.