Korban First Travel Kecewa pada Putusan Pengadilan soal Penyitaan Aset
Korban penipuan layanan umrah First Travel kecewa dengan putusan pengadilan yang meminta aset perusahaan itu diserahkan ke negara. Menurut korban, aset itu tidak layak diserahkan ke negara.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Korban penipuan lembaga penyedia layanan umrah First Travel (FT) menyayangkan keputusan pengadilan yang menyita aset First Travel untuk negara. Penyitaan itu dianggap tidak adil bagi mereka.
Menurut Asro Kamal Rokan, salah seorang korban FT, keputusan pengadilan yang menyerahkan seluruh harta FT ke negara sangat menyakitkan. ”Kami yang dirugikan, mengapa negara yang diuntungkan? Kami tidak dapat menerimanya. Semestinya hasil lelang diperuntukkan bagi jemaah,” kata Asro Kamal Rokan, di Jakarta, Jumat (15/11/2019).
Asro beserta 14 anggota keluarganya dirugikan Rp 160 juta. Total kerugian akibat tindakan penipuan FT mencapai Rp 905,33 miliar dari total 63.310 calon jemaah umrah yang gagal berangkat.
Asro menambahkan, negara seharusnya melindungi rakyat, bukan justru mengambil keuntungan dari kasus itu. ”Negara seharusnya malu dan menolak menerima dana dari keringat jemaah,” katanya.
Pada Rabu (30/5/2018), majelis hakim Pengadilan Negeri Depok dalam agenda pembacaan vonis terdakwa menyatakan, seluruh aset First Travel (FT) yang menjadi barang bukti dirampas untuk negara. Majelis hakim berpendapat akan terjadi ketidakpastian hukum jika aset dikembalikan kepada calon jemaah yang merupakan korban (Kompas.com, 11/5/2019).
Kuasa hukum jemaah FT, TM Luthfi Yazid, juga menyoroti pernyataan Kepala Kejaksaan Negeri Depok Yudi Triadi, beberapa waktu lalu. Menurut Luthfi, Kejaksaan Negeri Depok akan melelang barang bukti dan sitaan. Lalu, uang hasil lelang diserahkan ke negara. Yudi pun, kata Luthfi, meminta korban FT mengikhlaskan uang tersebut.
Luthfi menilai pernyataan tersebut menunjukkan kejaksaan tidak peka terhadap kasus ini. Hasil sitaan tersebut merupakan uang jemaah, bukan hasil korupsi. ”Andaikan uang hasil korupsi adalah benar jika dirampas dan diserahkan kepada negara! Namun, ini uang jemaah. Jadi, kalau aset FT kemudian dilelang oleh Kajari dan diserahkan kepada negara, ini namanya ilegal,” katanya.
Semestinya, dia melanjutkan, kejaksaan membantu untuk mencarikan solusi agar uang jemaah dapat dikembalikan atau mereka dapat diberangkatkan ke Tanah Suci. Ditambah lagi, katanya, Kementerian Agama sudah mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 589 Tahun 2017 yang mewajibkan uang jemaah dikembalikan seluruhnya atau jemaah harus diberangkatkan. Namun, hingga kini, keputusan menteri ini belum terlaksana. Ia pun berharap menteri agama yang baru, Fachrul Razi, bisa menyelesaikan persoalan ini.
Menurut dia, salah satu solusi yang bisa ditempuh adalah pemerintah bisa menalangi atau mengembalikan uang jemaah. Atau pemerintah juga bisa memberangkatkan jemaah untuk umrah ke Tanah Suci.
Pada Juli 2017, Satuan Tugas Penanganan Dugaan Tindakan Melawan Hukum di Bidang Penghimpunan Dana Masyarakat dan Pengelolaan Investasi menghentikan kegiatan pendaftaran umrah baru untuk program promo FT. Biaya umrah program promo Rp 14,3 juta. Padahal, sesuai data Kementerian Agama, biaya umrah 1.600 dollar Amerika Serikat (AS) per orang atau Rp 22 juta. Program promo itu disubsidi dari program lain. Namun, ada kelebihan jumlah peserta program promo sehingga pihak yang harus disubsidi melebihi alokasi.
Berselang beberapa hari setelah penghentian program promo FT itu, Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama mencabut izin FT sebagai penyelenggara perjalanan ibadah umrah.
Pengadilan Negeri Depok pun sudah menjatuhkan vonis terhadap tiga terdakwa, yaitu Direktur Utama First Travel Andika Surachman, Direktur Anniesa Hasibuan, dan Direktur Keuangan sekaligus Komisaris First Travel Siti Nuraida Hasibuan alias Kiki. Andika dan Anniesa dihukum masing-masing 20 tahun dan 18 tahun penjara serta denda Rp 10 miliar. Sementara Kiki dijatuhi hukuman 15 tahun penjara dan denda Rp 5 miliar.