”Saya tak ingat apa yang dirasakan ketika menarikan Sang Hyang Dedari ini. Saya mendapatkan kesempatan dua kali sebagai penari. Saya bersama teman-teman sebaya saat menari itu kerauhan (seperti kerasukan sehingga tidak sadarkan diri),” cerita Nyoman Setitiasih (23), anak dari perwakilan Dadya Kelod Kangin, Desa Geriana Kauh, Kabupatan Karangasem, Bali. Ia adalah salah satu anak generasi yang kembali memunculkan Tari Sang Hyang Dedari ini saat usia 9 tahun.
Sekitar 20 tahun terakhir, tarian sakral ini dihidupkan kembali oleh masyarakat setempat setelah sekian lama terhenti dan hampir punah. Tentunya tak mudah merekonstruksi tarian itu. Tak hanya tariannya, kidung atau nyanyian sebagai lagu pengiringnya memerlukan ekstra ketelitian mempelajari ulang.