Gim ”The Last of Us” berusia enam tahun sejak diluncurkan untuk konsol Playstation 3 pada 2013, tetapi narasi yang dipunya membuatnya tetap relevan hingga kini, termasuk pesan yang dibawa kepada para pemain.
Oleh
Didit Putra Erlangga Rahardjo
·4 menit baca
Gim ”The Last of Us” adalah sebuah kesaksian bahwa narasi yang kuat dan penyajian yang apik membuatnya tetap relevan untuk dimainkan, bahkan enam tahun kemudian sejak diluncurkan pada 2013. Apabila analisis dilakukan melampaui mekanik permainan atau resolusi visual, permainan ini relevan hingga kini karena menyodorkan peringatan kepada manusia yang saat ini terimpit sejumlah masalah lingkungan.
Kisah permainan ini berputar mengelilingi dua tokoh utama, yakni Joel, pria yang kehilangan putrinya yang masih remaja, dan Ellie, remaja yang mengisi kekosongan tersebut. Di sekeliling mereka, kisah ”The Last of Us” disajikan dengan penuh kekerasan, darah, tragedi, pengkhianatan, dan rasa putus asa.
Mereka harus menghadapi manusia yang terinfeksi jamur Cordyceps sehingga kehilangan akal dan menjadi buas, tetapi lebih sering harus bertaruh nyawa menghadapi sesama manusia penyintas. Pada titik inilah, pemain akan menyadari bahwa manusia menjadi ancaman yang jauh lebih membahayakan ketimbang makhluk yang terinfeksi.
Joel dan Ellie dalam cerita permainan ini menempuh jarak sejauh 3.800 kilometer dari Boston, Massachusetts, ke Salt Lake City, Utah, untuk mencari obat untuk menangkal infeksi Cordyceps. Sepanjang jalan itulah dinamika hubungan keduanya berkembang dari sepenuhnya asing hingga Joel yang mengembangkan insting untuk melindungi Ellie bak putrinya sendiri.
Ellie menjadi incaran Firefly, milisi bersenjata, karena diyakini sebagai solusi dari infeksi jamur yang melanda dunia. Dia pernah tergigit, tetapi tidak menunjukkan gejala berubah menjadi makhluk terinfeksi, sementara orang biasa hanya membutuhkan dua hari untuk inkubasi dan membuatnya hilang kendali.
Dan, mereka yang memainkan gim ini tentu terusik dengan kisah yang dihadirkan sepanjang perjalanan dua orang itu. Perasaan putus asa karena harapan yang menipis dan guliran kisah yang berakhir tragis akan membuat gusar, terlebih pada pengujung permainan.
Satu hal lain yang mengusik, Joel dan Ellie ternyata lebih banyak menghadapi menusia penyintas ketimbang makhluk yang terinfeksi, memberikan pesan bahwa para manusialah yang seharusnya ditakuti daripada makhluk terinfeksi. Para manusia penyintas memangsa penyintas lain, dari merampok hartanya hingga memangsa secara pengertian harfiah.
Itulah mengapa penggambaran yang brutal pun dilakukan, seperti menggorok leher, menusuk, dan menembak ditampilkan secara gamblang untuk memberikan pesan bahwa kemanusiaan ikut berakhir bersama malapetaka dunia.
Gim ”The Last of Us” sendiri menjadi pengingat bahwa manusia akan meninggalkan kemanusiaannya begitu peradaban ambruk. Mereka akan kembali bertingkah layaknya hewan liar yang berkelompok dan saling memangsa. Saling curiga menjadi norma.
Hubungan Joel dan Ellie menjadi antitesis dari semua itu. Joel, yang di awal permainan terluka karena kehilangan putrinya, semula enggan harus membantu dan membawa Ellie. Seiring perjalanan, mereka kerap berkonflik hingga pada satu titik saling membuka diri bahwa mereka saling membutuhkan untuk bisa bertahan hidup.
Skenario terburuk
Hingga April 2018, gim ”The Last of Us” yang juga diboyong ke konsol Playstation 4 sudah terjual 17 juta keping dan meraih berbagai penghargaan sehingga didapuk sebagai ”gim video terbaik yang pernah dibuat”.
Naughty Dog, selaku studio pengembang permainan ini, mengumumkan kelanjutan kisah dari The Last of Us yang direncanakan rilis pada Mei 2020. Kini, gim menempatkan Ellie yang sudah beranjak dewasa sebagai tokoh utama.
Resep yang sama dipergunakan Naughty Dog untuk bagian kedua dari kisah ini, diawali dengan tragedi yang dilalui tokoh utama untuk memberinya motivasi dan konflik yang akan menggerakkan roda cerita. Mekanik permainan, yakni menyelinap (stealth game), masih dipertahankan dengan beberapa penyempurnaan untuk memberikan permainan yang makin kompleks.
Kompas memainkan ”The Last of Us Remastered” menggunakan konsol Playstation 4 Pro yang memungkinkan resolusi yang jauh lebih baik dari versi Playstation 3 atau opsi frame per detik (fps) tanpa mengorbankan performa. Fitur high dynamic range (HDR) membuat pencahayaan lebih dinamis dan membantu pemain untuk lebih terhanyut ke dalam permainan.
Pujian datang membanjir pada permainan ini muncul berkat kemampuan Bruce Straley sebagai pengarah permainan dan Neil Druckmann sebagai pengarah kreatif dalam menyodorkan pengalaman bermain lewat narasi, mekanisme permainan, dan musik. Mereka sukses menyajikan kisah Joel dan Ellie untuk bertahan hidup di tengah serbuan manusia yang terinfeksi jamur Cordyceps.
Sayangnya, kita harus menyadari bahwa karya fiksi ini seolah menjadi peringatan bagi umat manusia di bumi bahwa akhir dari peradaban mereka kian dekat. Masalah lingkungan, seperti iklim, sampah plastik, dan ancaman perang nuklir, pada satu titik akan menghantam titik kritis dan menunggu untuk meledak.
Kompas pernah menulis tentang kepunahan massal kehidupan yang menunggu manusia. Penyebabnya, emisi karbon dari aktivitas manusia yang memengaruhi iklim dan pengasaman lautan. Laporan itu menyebutkan, krisis iklim saat ini sudah setara dengan bencana yang disebabkan saat asteroid selebar 10 kilometer jatuh di Teluk Meksiko 66 juta tahun lalu. Bencana kala itu menyebabkan kepunahan 75 persen kehidupan di bumi, termasuk semua dinosaurus non-unggas.
Dan, yang terjebak di dalam malapetaka ini tidak lain adalah kita. Sebagian besar akan menjadi korban dan sisanya harus bertahan hidup dengan caranya sendiri. Karena begitu peradaban ambruk, manusia pun akan tercerai-berai dan bertahan hidup sesuai dengan caranya sendiri.
Permainan ini bisa menjadi gambaran bagaimana manusia akan bertindak dalam keadaan itu. Setidaknya bisa menjadi pengingat bahwa saat peradaban ambruk, kemanusiaan kita juga ikut terancam.