Dunia, termasuk Indonesia, hanya mempunyai waktu 10 tahun untuk mengakhiri kematian ibu, tak terlayaninya kebutuhan penggunaan kontrasepsi, dan kekerasan berbasis jender.
Oleh
M Zaid Wahyudi dari Nairobi, Kenya
·4 menit baca
NAIROBI, KOMPAS — Dunia, termasuk Indonesia, hanya mempunyai waktu 10 tahun untuk mengakhiri kematian ibu, tak terlayaninya kebutuhan penggunaan kontrasepsi, dan kekerasan berbasis jender. Terpenuhinya hak perempuan itu penting untuk mencapai target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) 2030 dan bonus demografi.
Pertemuan Tingkat Tinggi Nairobi dalam rangka 25 tahun Konferensi Kependudukan dan Pembangunan Internasional (ICPD) atau Nairobi Summit on ICPD25 ditutup pada Kamis (14/11/2019) di Nairobi, Kenya. Pertemuan ini untuk mengevaluasi pelaksanaan program aksi ICPD1994 di Kairo, Mesir, yang menjadi titik balik pembangunan yang menempatkan manusia sebagai pusatnya.
Komitmen Nairobi sudah dibuat, termasuk Indonesia, yang berfokus pada upaya mengakhiri three-zero, yaitu kematian ibu hamil dan melahirkan, kebutuhan untuk menggunakan kontrasepsi yang tak terlayani, serta kekerasan berbasis jender dan praktik-praktik berbahaya terhadap perempuan pada 2030. Itu berarti semua negara hanya punya 10 tahun untuk mewujudkannya.
”Waktu 10 tahun ke depan akan menjadi dekade untuk bertindak bersama yang hasilnya untuk perempuan dan anak perempuan,” kata Direktur Eksekutif Badan Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA) Natalia Kaneem saat menutup pertemuan yang dihadiri 9.500 anggota delegasi dari lebih 170 negara tersebut.
Waktu 10 tahun ke depan akan menjadi dekade untuk bertindak bersama yang hasilnya untuk perempuan dan anak perempuan.
Sepanjang pelaksanaan program aksi ICPD1994, banyak kemajuan yang dicapai dunia, khususnya dalam pemenuhan hak dan pemajuan perempuan. Namun, hingga kini, perempuan di seluruh dunia, khususnya di negara miskin dan berkembang, masih terbelenggu berbagai diskriminasi dan pelanggaran hak-hak mereka.
Di seluruh dunia, lebih dari 800 perempuan tiap hari meninggal karena hamil dan melahirkan, 232 juta perempuan tak bisa mengakses layanan kontrasepsi, 33.000 anak perempuan dipaksa kawin dan 4 juta anak perempuan disunat. Di Indonesia, ada 1-2 ibu meninggal karena melahirkan tiap jam, 5 juta orang tak bisa mengakses kontrasepsi, dan 1 dari 3 perempuan mengalami kekerasan minimal sekali seumur hidupnya.
Dengan angka sebesar itu, mewujudkan three-zero hanya dalam satu dekade tentu tidak mudah. Bahkan, untuk menjadikan kematian ibu nol, berdasar pengalaman negara maju, hampir dipastikan tidak mungkin terjadi karena kompleksnya persoalan medis. Namun, itu bukan berarti tidak bisa.
Dengan angka sebesar itu, mewujudkan three-zero hanya dalam satu dekade tentu tidak mudah.
”Harus ada strategi kuat untuk menjawab tantangan itu,” kata Direktur Eksekutif Forum Parlemen Indonesia untuk Kependudukan dan Pembangunan (IFPPD) Ermalena M Hasbullah, salah satu anggota Delegasi Indonesia untuk ICPD25.
Elitis
Salah satu persoalan dasar dalam menjawab tantangan itu di Indonesia adalah isu three-zero masih menjadi isu sebagian orang. Belum semua pemerintah dan anggota parlemen, baik di pusat maupun daerah, memahami isu tersebut. Padahal, untuk menyelesaikan three-zero butuh kerja bersama semua pihak dari pusat hingga daerah.
Ketidakpahaman pemerintah dan banyak anggota parlemen itu, lanjut Ermalena, membuat mereka sulit memberikan dukungan. ”Dengan wilayah Indonesia yang luas, peran pemerintah daerah dan DPRD harus dioptimalkan,” tuturnya.
Indonesia sebenarnya telah memiliki banyak undang-undang yang membantu mewujudkan hak-hak perempuan, khususnya hak kesehatan reproduksi dan seksual. Ada UU Kesehatan, UU Perlindungan Anak, UU Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, UU Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Nyatanya, banyaknya UU dan peraturan daerah belum memberikan perlindungan kepada perempuan karena pelaksanaannya lemah. Pengawasan juga belum optimal karena anggota parlemen kurang memahami isu terkait perempuan. Di sisi lain, banyak hal yang harus mereka kawal.
Banyaknya UU dan peraturan daerah belum memberikan perlindungan kepada perempuan karena pelaksanaannya lemah.
”Advokasi kepada pemerintah daerah, termasuk anggota DPRD, harus dilakukan,” kata Ermanela.
Situasi serupa juga terjadi dalam upaya menekan kematian ibu. Indonesia sebenarnya sudah memiliki program menurunkan kematian ibu sejak tahun 1970-an, tetapi hasilnya kalah jauh dibandingkan dengan negara-negara tetangga.
”Meski hampir 60 tahun program pengurangan kematian ibu hamil dan melahirkan berjalan, Indonesia baru mampu menurunkan setengahnya,” kata Direktur Rumah Sakit Pendidikan Universitas Indonesia Julianto Witjaksono yang juga anggota Delegasi Indonesia untuk ICPD25.
Faktor yang memengaruhi kematian ibu sangat banyak, mulai dari kesiapan fasilitas kesehatan, ketersediaan serta distribusi bidan dan dokter, pasokan obat-obatan, kemampuan bidan, sistem rujukan, ketersediaan pasokan darah, hingga kondisi geografis dan budaya masyarakat.
Untuk pembiayaan, saat ini ada Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat yang bisa dimanfaatkan ibu hamil untuk memeriksakan kandungan dan bersalin. Ada pula dana desa yang bisa digunakan untuk berbagai upaya promosi dan prevensi bagi ibu hamil ataupun anak balita.
Nyatanya, kematian ibu tetap tinggi. Banyak pemimpin daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, yang belum menganggap penting isu kematian ibu. Karena itu, insentif perlu diberikan bagi daerah yang mampu menekan kematian ibu secara nyata.
Julianto menambahkan, upaya menekan kematian ibu dalam lima tahun ke depan harusnya makin mudah karena masuk dalam visi dan misi Presiden Joko Widodo. Pencegahan kematian ibu harus dilakukan menyeluruh, termasuk membekali generasi muda pengetahuan tentang kesehatan reproduksi yang baik serta pencegahan kehamilan tak diinginkan.
Berbagai upaya menjaga dan menyelamatkan perempuan itu pada hakikatnya akan menyelamatkan kehidupan keluarga, masyarakat, dan bangsa. Karena itu, target SDGs 2030 akan sulit dicapai tanpa menuntaskan three-zero.
Demikian pula bonus demografi yang saat ini banyak dihadapi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, yang akan memasuki puncak bonus demografi pada 2021-2024. Keterlibatan perempuan di pasar kerja menjadi syarat tercapainya bonus. Namun, jika perempuan yang ada tidak sehat dan tidak produktif, bencana demografi pun menghadang.